Rabu, 01 Juni 2011

MANAJEMEN KELAS

Oleh : Subagio,M.Pd
(Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan)

Secara umum kesadaran masyarakat memang semakin bangkit bahwa tidak ada guru, tidak ada pendidikan, dan tidak ada proses pencerdasan. Dalam kerangka ini kehadiran guru sebagai agen utama proses pendidikan dan pembelajaran semakin diakui dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia.

Produk kerja guru menjadi simbol kemajuan peradaban. Mereka merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahakan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. Tugas utama itu akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau keterampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, sebutan “guru” mencakup : (1) guru itu sendiri, baik guru kelas, guru bidang studi, maupun guru bimbingan dan konseling atau guru bimbingan karier; (2) guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah; (3) guru dalam jabatan pengawas. Mereka ini merupakan tenaga profesional. Secara formal, untuk menjadi profesional guru dipersyaratkan memenuhi kualifikasi akademik minimum dan bersertifikat pendidik. Guru-guru yang memenuhi kriteria profesional inilah yang akan mampu menjalankan fungsi utamanya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Guru profesional dituntut memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kompetensi dimaksud adalah kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, atau akademik, dan sosial. Kompetensi pedagogik dan sosial berkaitan erat dengan bagaimana interaksi guru dan siswa dapat dikelola sehingga mampu mewujudkan proses pembelajaran yang efektif. Termasuk dalam ranah kompetensi ini adalah kemampuan guru dalam melaksanakan manajemen kelas yang kondusif untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran.

Dalam kamus Webster kata educator berarti educationist atau educationalist yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah pendidik, atau ahli pendidikan. Kata guru (bahasa Indonesia) merupakan padanan dari kata teacher (bahasa Inggris). Dalam Kamus Webster, kata teacher bermakna the person who teach, especially in school, atau guru adalah seseorang yang mengajar, khususnya di sekolah. Sebagai perbandingan atas “cakupan” sebutan guru ini, di Filipina, seperti tertuang dalam Republic Act 7784, kata guru (teachers) dalam makna luas adalah semua tenaga kependidikan yang menyelenggarakan tugas-tugas pembelajaran di kelas untuk beberapa mata pelajaran, termasuk paktik atau seni vokasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (elementary and secondary level). Istilah guru juga mencakup individu-individu yang melakukan tugas bimbingan dan konseling, supervisi pembelajaran di institusi pendidikan atau sekolah-sekolah negeri dan swasta, teknisi sekolah, urusan administratif. Guru juga bermakna lulusan pendidikan yang telah lulus ujian negara (government examination) untuk menjadi guru, meskipun belum secara aktual bekerja sebagai guru.
Pada setiap proses pembelajaran di kelas, guru dan siswa terlibat dalam proses edukasi yang khas. Interaksi guru dan siswa merupakan inti proses pembelajaran dengan isi kurikulum sebagai fokus transformasi pembelajaran itu berjalan efektif, moderat, atau tidak efektif.

Dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Bagi penulis, tugas guru yang lain adalah mengelola kelas.
Kata “manajemen” awalnya hanya sangat popular di dunia bisnis komersial. Di dunia pendidikan lebih di kenal istilah “administrasi” Karena itu, di lingkungan institusi pendidikan sangat popular istilah administrasi pendidikan, administrasi sekolah, dan adminstrasi kelas. Jika ditilik proses kerja atau fungsi organiknya, administrasi dan manajemen boleh dikatakan sama.

Istilah manajemen sudah begitu dikenal pada masyarakat yang berperadaban modern, demikian juga kata kelas. Terminologi manajemen kelas (classroom management) dibangun oleh dua kata, yaitu manajemen (management) dan kelas dalam makna ruang kelas (classroom). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) kelas didefinisikan sebagai ruang tempat belajar di sekolah. Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1986) mendefinisikan kelas (class) sebagai group of students taught together atau occation when this group meets to be taught. Dengan demikian, kelas merupakan sekelompok siswa yang belajar bersama atau suatu wahana ketika kelompok itu menjalani proses pembelajaran pada tempat dan waktu yang diformat secara formal. Classroom, oleh Hornby (1986) didefinisikan sebagai room where a class of pupils or students is taught atau ruang tempat sekelompok siswa belajar atau menjalani proses pembelajaran. Pada tataran paling awam, kelas bermakna “tingkatan” untuk menunjukkan status atau posisi siswa di sekolah tertentu, misalnya kelas I, kelas II, dan sebagainya.
Secara tradisional manajemen kelas didefinisikan sebagai setiap usaha guru untuk mempertahankan disiplin atau ketertiban kelas. Konsepsi ini dibangun atas dasar asumsi bahwa kelas yang disiplin, dimana siswa masuk tepat waktu, duduk di tempat yang ditentukan, patuh secara penuh terhadap guru, tidak melirik ke kiri dan ke kanan secara “liar”, menerima kehadiran guru secara patuh, tidak ada suara berisik, dan lain-lain merupakan faktor sukses kegiatan pembelajaran. Pola manajemen pembelajaran, karena itu dilakukan secara otoriter, yakni guru menjadi sentral dari semua perilaku interaksi pembelajaran itu.

Konsep modern memandang manajemen kelas sebagai proses mengorganisasikan segala sumber daya kelas bagi terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Sumber daya itu diorganisasikan untuk memecahkan aneka masalah yang menjadi kendala proses pembelajaran, sekaligus membangun situasi kelas yang kondusif secara terus-menerus. Tugas guru di sini adalah menciptakan, memperbaiki, dan memelihara situasi kelas yang cerdas. Situasi yang cerdas itulah yang mendukung siswa dapat mengukur, mengembangkan, dan memelihara stabilitas kemampuan, bakat, minat, dan energi yang dimilikinya untuk menjalankan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran. Secara lebih terperinci, J.M. Cooper (1977) merumuskan lima definisi mengenai manajemen kelas.
1. Manajemen kelas dipandang sebagai suatu proses untuk mengendalikan atau mengontrol perilaku siswa di dalam kelas. Definisi ini diwarnai oleh ancangan manajemen yang bersifat otoritatif, di mana guru melakukan tugas utama sebagai pencipta dan pemelihara suasana kelas agar tetap tertib. Pendekatan otoriter dalam manajemen kelas menjadikan siswa di dalam kelas sebagai ukuran keberhasilan dalam mengelola kelas.
2. Manajemen kelas merupakan upaya menciptakan kebebasan atau semangat egaliter bagi diri siswa. Konsepsi ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri siswa terdapat potensi untuk bebas dan tugas guru adalah memaksimalkan kebebasan itu. Inisiatif guru menciptakan kebebasan secara alami bagi siswanya adalah sah dan sejalan dengan kaidah dasar proses kemanusiaan bahwa dalam diri manusia ada naluri alami untuk tidak berada dalam ikatan hidup yang ketat.
3. Manajemen kelas dipandang sebagai suatu proses memodifikasi perilaku siswa (srudent behavioral modification). Kata lainnya, manajemen kelas merupakan proses mengubah perilaku siswa, dari perilaku yang mengalami deviasi atau penyimpangan ke perilaku tugas yang produktif (on task behavior), baik di dalam maupun di luar kelas dalam lingkup kampus sekolah. Perubahan perilaku siswa, karena itu, dimaksudkan agar tingkah laku mereka yang tidak diharapkan dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan.
4. Manajemen kelas dipandang sebagai proses menciptakan suasana sosioemosional yang positif di dalam kelas. Asumsi dasar pandangan ini adalah proses pembelajaran di kelas akan berkembang secara maksimal manakala iklim positif tercipta. Iklim positif itu tercipta manakala terjadi hubungan interpersonal yang kondusif antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Termasuk hubungan yang kondusif antara guru dengan tata usaha sekolah. Dalam makna luas hubungan itu mencakup interaksi yang kondusif antara warga sekolah dengan warga sekitar dan orang tua siswa.
5. Manajemen kelas dipandang sebagai upaya pemberdayaan (empowering) sebuah sistem sosial atau proses kelompok belajar siswa (group processess) sebagai intinya. Sistem sosial dimaksud bisa dipandang “bersahaja” dan bisa distrukturkan. Kata “bersahaja” bermakna bahwa siswa berada pada posisi dan memiliki status yang sama dengan rekan-rekannya. Kata ini juga bisa bermakna dalam kerangka proses pembelajaran, di mana siswa memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk belajar di kelas dengan memanfaatkan potensi yang ada. Kata “distrukturkan” mengandung makna bahwa di kelas itu ada ketua kelas, wakil ketua kelas, kelompok siswa menurut piket harian, dan lain-lain. Oleh karena itu, manajemen kelas dapat didefinisikan sebagai seperangkat kegiatan guru untuk menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif.

2 komentar:

  1. Terima kasih pak, saya copi ya buat makalah
    Sesekali kunjungi blog saya pak,dan ikuti he-he
    http://tugasmakalahanda.blogspot.com

    BalasHapus