Sabtu, 18 Desember 2010

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH

Oleh : Subagio,M.Pd. *)

Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 28 tahun 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah melengkapi peraturan sebelumnya yaitu UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang di antaranya mengatur bahwa penugasan menjadi kepala sekolah harus sesuai standar, karena kepala sekolah memegang peran penting, selain itu mutu pendidikan di sekolah bergantung pada kepala sekolahnya. Untuk itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan kepemimpinan standar sebagaimana diamanahkan dalam Permendiknas No. 13 tahun 2007.

Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah baik itu prestasi akademis dan non akademis, dibutuhkan kompetensi kepala sekolah yang sangat mumpuni. Dengan kompetensi tersebut apa yang dinginkan oleh masyarakat dan orangtua murid yakni tercapainya keberhasilan pendidikan di sekolah dapat terwujud, sehingga sekolah dengan apa yang dimiliki dapat berjalan dari berbagai bidang.

Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu. Memahami visi dan misi serta memiliki integritas yang baik saja belum cukup. Agar berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Apa saja kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah? Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002).(1) Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah.(2) Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf.(3) Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif. (4) Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat. (5) Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas.(6) Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.

Sebagai sebuah organisasi, sekolah merupakan lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang saling berkait dan menentukan, serta memiliki ciri tertentu yang tidak dimiliki organisasi lain. Berkembang tidaknya sekolah amat dipengaruhi oleh kepemimpinan dari kepala sekolah yang merupakan pejabat formal, manajer, pemimpin, pendidik, dan juga sebagai staf.

Sebagai pejabat formal, kepala sekolah diangkat melalui proses, prosedur, dan peraturan yang berlaku. Sebagai manajer, kepala sekolah merupakan seorang perencana, organisator, dan pengendali. Dalam hal ini kepala sekolah harus memerhatikan tiga hal, yaitu proses; pendayagunaan seluruh sumber organisasi; dan pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sebagai pemimpin, kepala sekolah harus mampu mendorong timbulnya kemauan yang kuat dengan penuh semangat dan percaya diri para guru, staf dan siswa dalam melaksanakan tugas masing-masing. Juga memberikan bimbingan dan pengarahan para guru, staf dan para siswa serta memberikan dorongan memacu dan berdiri di depan demi kemajuan dan memberikan inspirasi sekolah dalam mencapai tujuan.

Tuntutan masyarakat untuk mendapat pendidikan yang baik, murah dan berkualitas adalah tantangan yang harus dijawab dengan arif, akurat, informatif dan aplikatif oleh kepala sekolah. Namun harus pula dipahami, dapatkah sekolah yang berkualitas terkelola dengan dana minim? Jika ada sekolah yang kekurangan dana tetapi berkualitas, sungguh luar biasa kinerja kepala sekolah beserta seluruh jajarannya.

Secara teoritis seorang kepala sekolah dituntut untuk profesional agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan maksimal. Setidaknya ada 8 ( delapan ) kompetensi yang harus dimiliki seorang kepala sekolah untuk bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
1. memiliki rasa tanggung jawab yang besar atas terlaksananya seluruh kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan sekolah / pendidikan.
2. memiliki kemampuan untuk memotivasi orang untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan ikhlas.
3. memiliki rasa percaya diri, keteladanan yang tinggi dan kewibawaan.
4. dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah.
5. mampu membimbing, mengawasi dan membina bawahan (guru) sehingga masing-masing guru memperoleh tugas yang sesuai dengan keahliannya.
6. berjiwa besar, memiliki sifat ingin tahu dan memiliki pola pikir berorientasi jauh ke depan.
7. berani dan mampu mengatasi kesulitan.
8. selalu melakukan inovasi di segala hal. menjadi tuntutan yang perlu dimiliki oleh seorang kepala sekolah.

Delapan kompetensi di atas merupakan syarat ideal kepala sekolah dalam membangun pendidikan ditengah-tengah tuntutan jaman dan tuntutan masyarakat. Jika 8 kompetensi ideal tadi belum bisa terpenuhi, maka ideal minimal seorang kepala sekolah adalah memiliki idealisme untuk memajukan sekolah, memajukan profesionalisme guru, memajukan kreatifitas siswa dan membangun soft skill komunitas sekolah yang dipimpinnya.

Siapapun kepala sekolah yang memimpin suatu sekolah apabila mampu melakukan fungsi komunikasi yang baik dengan semua pihak, maka penilaian yang umum diberikan oleh guru, siswa, staf dan masyarakat sudah cukup untuk menyatakan bahwa kepala sekolah tersebut adalah kepala sekolah yang ideal.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah, setiap kepala sekolah harus memenuhi lima aspek kompetensi, yaitu kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Banyaknya kepala sekolah yang kurang memenuhi standar kompetensi ini tak terlepas dari proses rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah yang berlaku saat ini. Di sejumlah negara, , untuk menjadi kepala sekolah, seseorang harus menjalani training dengan minimal waktu yang ditentukan. Sebagai contoh di Malaysia, menetapkan 300 jam pelatihan untuk menjadi kepala sekolah, Singapura dengan standar 16 bulan pelatihan, dan Amerika, yang menetapkan lembaga pelatihan untuk mengeluarkan surat izin atau surat keterangan kompetensi.


*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan

Rabu, 15 Desember 2010

MEMBANGUN SEKOLAH YANG BERKUALITAS

Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Bukan semata sebuah keluhan, namun membangun sekolah yang berkualitas bukanlah pekerjaan ringan. Fenomena perwajahan pendidikan tanah air yang dihujani kritik serta protes bertubi-tubi dari tahun ke tahun menjadi petanda bahwa perjalanan untuk membangun sekolah yang berkualitas adalah sebuah perjalanan yang berat.
Semua elemen bangsa ini tentu saja menyepakati bahwa pendidikan kita memang pantas untuk ditingkatkan kualitasnya secara holistik. Gambaran kualitas secara hakekat tentu tidak hanya tercermin dari hasil Ujian Nasional (UN), jumlah siswa, infrastruktur pendidikan, sertifikasi guru, bahkan kemegahan gedung bangunan sekolah tersebut. Tetapi, kualitas lembaga pendidikan juga diukur dari bagaimana sekolah tersebut dikelola secara holistik
Dalam pengelolaan sekolah, kepala sekolah memegang peran yang dominan. Tanggung jawab yang berat ini menuntut adanya sinergitas multilini dengan jajarannya, serta dukungan komprehensif dari masyarakat, sehingga sebelum kegiatan belajar mengajar (KBM) untuk satu tahun pelajaran digelar seyogyanya perencanaan pembelajaran telah melewati perumusan yang matang, dimana dengan melibatkan tim pengembang kurikulum.
Sekarang ini, seiring dengan kemajuan dunia informasi dan teknologi masyarakat kita kian cerdas dalam menyikapi anggaran yang menjadi kebutuhan sekolah demi menciptakan sebuah pendidikan yang berkualitas untuk dinikmati putra-putrinya memang membutuhkan pengorbanan, baik moril, spiritual, maupun materiil.
Tanpa mengecilkan makna pendidikan gratis yang dihembuskan pemerintah pada tahapan inilah tujuan semua elemen bangsa ini untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas secara holistik adalah sebuah pekerjaan yang tidak ringan, serta tidak harus menjadi keluhan sebagaimana di awal tulisan ini.
Lima Kriteria Sekolah Berkualitas

Seperti telah sering kita baca dalam beberapa artikel di rubrik pendidikan terakhir, kondisi pendidikan atau situasi persekolahan saat ini mengalami banyak sekali tekanan dari berbagai pihak, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, sekolah belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi kelemahan mendasar seperti efektivitas manajemen dan relasi sekolah-masyarakat. Sedangkan secara eksternal, meskipun telah memiliki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam praktiknya masih terdapat kesalahan mendasar dalam menafsir masalah otonomi pendidikan, sistem pengujian hingga kebijakan pengembangan kurikulum yang selalu membuat pelaksana pendidikan bertambah bingung. Padahal menurut penelitian Elmore dan Fuhrman (2001), sebuah proses pendidikan akan baik dan berkualitas jika masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab internal sekolah mendapatkan prioritas terlebih dahulu untuk diselesaikan.

Belakangan ini, sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus dihadapi lembaga pendidikan, muncul sejumlah usaha untuk memperbarui konsep atau gagasan tentang apa yang disebut sebagai sekolah berkualitas. Salah satu konsep terkemuka dalam hal ini adalah lima prinsip pendidikan yang ditawarkan Peter Senge dalam The School That’s Learn (2003). Dirumuskan dalam rangka mengimbangi arus globalisasi yang meluas di bidang pendidikan, lima prinsip pendidikan ini menekankan pentingnya melihat sekolah dan atau proses pembelajaran sebagai suatu institusi pendidikan semacam perusahaan yang memerlukan kerja kelompok dan menuntut keahlian tertentu.
Secara ringkas kelima disiplin kolektif tersebut sebagai berikut. Pertama, penguasaan diri (personal mastery), merupakan praktik mengartikulasikan gambaran koheren dari pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah, hasil yang paling ingin kita dapatkan dalam hidup, di samping pengamatan nyata dari kehidupan sehari-hari. Ketika terakumulasi, ini bisa menghasilkan keinginan alami yang dapat meningkatkan kapasitas dalam membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dan menerima hasil lebih dari yang dipilih secara berkelompok. Setiap pengelola sekolah harus berlaku jujur dalam mengemukakan kelemahan dan kelebihan situasi terkini sekolahnya dan mendukung setiap aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari anak didik. Kedua, keberanian setiap pengelola sekolah untuk berbagi pandangan (shared vision), sebuah disiplin kolektif yang menekankan perhatian pada tujuan bersama. Sekelompok orang dengan tujuan yang sama dapat belajar untuk mempertahankan komitmen dalam suatu kelompok atau organisasi dengan mengembangkan pandangan yang sama tentang masa depan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip serta guiding practices yang mereka ciptakan bersama. Ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge adalah pembentukan mental (mental models), sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan dan persepsi, baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya. Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan terkini. Karena pembentukan mental dalam pendidikan sering kali tidak dapat didiskusikan, dan tersembunyi, maka kritik yang harus diperhatikan oleh sekolah yang belajar adalah bagaimana kita mampu mengembangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman. Selain itu, pengelola sekolah juga harus senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa. Keempat, bentuklah kelompok belajar (team learning), sebuah disiplin dalam interaksi kelompok. Melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion, sekelompok kecil orang dapat mentransformasikan pikiran kolektif mereka, belajar memobilisasi energi dan kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian dan kemampuan mereka lebih besar ketimbang jika bakat anggota kelompok digabungkan. Kelompok belajar dapat dikembangkan dalam kelas, antara guru dan orang tua murid, antaranggota komunitas, dan dalam kelompok utama yang mengejar perubahan sukses dalam sekolah. Kelima adalah disiplin kolektif tentang sistem berpikir (systems thinking). Dalam disiplin ini kita belajar memahami ketergantungan dan perubahan, sehingga kita dapat menghadapi dengan lebih aktif tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan dan teknik yang digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow, dan berbagai simulasi yang membantu siswa untuk memahami lebih dalam dari apa yang dipelajari.
Dengan dasar kelima disiplin kolektif di atas, setiap sekolah berkesempatan melakukan sebuah ‘uji-coba’ terapan terhadap lima prinsip dasar di atas bagi sebuah pengembangan institusi pendidikan (sekolah) yang mengutamakan pengembangan dan penjaminan mutu (quality assurance).
Enam syarat sekolah berkualitas
Pernahkan Anda membayangkan, apakah didalam benak siswa benar-benar ingin berprestasi atau sebaliknya? Apakah mereka datang ke sekolah dengan rasa senang atau sebaliknya? Tentu tidak gampang menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat. Tetapi mungkin ada cara untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat indikator-indikatornya. Kecenderungan tidak berkembangnya prestasi siswa di sekolah kita sangat penting untuk dicari penyebabnya. Apakah tidak mungkin justru sekolah yang menjadi penyebab siswa kurang berprestasi karena ‘budaya’ sekolah yang tidak kondusif?

Sekolah yang berkualitas tidak lahir dengan sendirinya. Juga tidak lahir semata-mata karena fasilitas yang lengkap. Sekolah yang berkualitas harus dibentuk dan direncanakan dengan baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Komitmen warga sekolah, stake holder, adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari terlahirnya sebuah sekolah yang berkualitas.
Glasser, dalam bukunya yang kedua, The Quality School Teacher memberi pesan kepada kita bahwa sedikitnya ada enam syarat yang harus dipenuhi sebuah sekolah agar menjadi sekolah berkualitas. Keenam syarat tersebut adalah:

1. Harus ada lingkungan kelas yang hangat dan mendukung.
Tanpa adanya jalinan yang akrab antara semua warga sekolah (guru, siswa, staf, dan karyawan lain) tidak bias dihasilkan tugas-tugas sekolah yang berkualitas, dan lebih dari semua itu harus terbangun saling percaya/kepercayaan.

2. Siswa harus selalu diminta (hanya) untuk melakukan hal-hal yang berguna.
Tidak boleh ada siswa yang diminta untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti mengingat atau menghafal (secara berlebihan). Apa pun yang mereka kerjakan, harus ada manfaatnya – secara praktis, estetis, intelektual, atau pun sosial.

3. Siswa selalu diminta untuk mengerjakannya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Ini berarti siswa harus diberi kesempatan yang memadai untuk dapat mengerjakan tugas-tugasnya agar pekerjaannya berkualitas. Mereka sebenarnya sudah biasa diberi tugas, tetapi bukan belajar, dan hampir tidak pernah berusaha melakukan pekerjaan yang berkualitas.

4. Siswa diajari dan diberi kesempatan mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri, kemudian diminta untuk meningkatkannya.
Mengevaluasi sendiri adalah hal yang paling sulit diterapkan, tetapi penting dilakukan untuk mencapai perbaikan yang konstan dalam usaha siswa menghasilkan pekerjaan berkualitas.

5. Pekerjaan yang berkualitas selalu terasa menyenangkan.
Sungguh menyedihkan melihat sangat sedikit siswa yang merasa nyaman dalam pelajaran-pelajaran mereka sekarang. Bukan hanya sisw a yang merasa senang jika mereka berhasil mengerjakan sesuatu dengan berkualitas, guru dan orangtua pun merasa senang memerhatikan prose situ.

6. Pekerjaan berkualitas tidak pernah bersifat merusak.
Tidak berkualitas namanya, jika meraih perasaan senang dengan cara memakai obat adiktif atau merugikan orang lain, makhluk hidup, benda milik orang lain, atau lingkungan.
Menjadi Kepala Sekolah Berkualitas
Banyak kepala sekolah yang hanya sekadar kepala sekolah. Namun, banyak pula kepala sekolah yang sangat bagus. Bagaimanakah ciri kepala sekolah yang sangat bagus? Ciri-ciri kepala sekolah yang memiliki kemampuan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen dengan sangat bagus sebagai berikut.

Dalam perencanaan meliputi (1) Kepala sekolah dapat menetapkan program-program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah, (3) Kepala sekolah dapat menyusun program kerja sekolah, dan (4) Kepala sekolah dapat merumuskan langkah-langkah pelaksanaan program.

Dalam pengorganisasian meliputi (1) Kepala sekolah dapat menempatkan guru sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam KBM, (2) Kepala sekolah dapat mengatur penggunaan sarana dan prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan siswa, guru dan personel lain sehingga terjalin kerjasama yang baik, (3) Kepala sekolah dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dan personel sekolah lainnya, (4) Kepala sekolah dapat mengatur kerjasama dengan pihak atau instansi lain untuk menyukseskan program-program sekolah.

Dalam penggerakan meliputi (1) Kepala sekolah dapat memotivasi guru sehingga guru merasa mampu dan yakin untuk melaksanakan program- program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat memimpin dan mengarahkan guru-guru dengan baik, (3) Kepala sekolah dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan profesionalisme sesuai dengan bidangnya, (4) Kepala sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan tujuan untuk pencapaian prestasi.

Dalam pengendalian meliputi (1)Kepala sekolah dapat mengevaluasi pelaksanaan program-program sekolah seperti yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan, (2) Kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja guru dan personel sekolah lainnya, (3) Kepala sekolah dapat memberikan penguatan terhadap keberhasilan yang telah dicapai oleh guru, (4) Kepala sekolah dapat memperbaiki kesalahan/kelemahan yang telah dibuat oleh guru dan personel lainnya.

Kepala sekolah memiliki peranan yang sangat kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan karena manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar dan proses pembelajaran.

Sekolah efektif dalam perspektif manajemen, manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Darling-Hammond, L (1992) menyatakan dimensi sekolah efektif meliputi : 1) layanan belajar bagi siswa, 2) pengelolaan dan layanan siswa, 3) sarana dan pra sarana sekolah, 4) program dan pembiayaan, 5) partisipasi masyarakat, dan 6) budaya sekolah.

Sekolah yang efektif berada dalam lapangan manajemen sekolah yang ciri/karakteristiknya menurut Edmonds (dalam Syafaruddin, 2002) meliputi (a) Kepala sekolah dan guru-guru memiliki komitmen dan perhatian yang tinggi terhadap perbaikan mutu pengajaran, (b) Guru-guru memiliki harapan yang tinggi untuk mendukung pencapaian prestasi siswa, (c) Iklim sekolah yang tidak kaku, sejuk tanpa tekanan dan kondusif dalam seluruh proses pengajaran, (d) Sekolah mempunyai pemahaman yang luas tentang fokus pengajaran dan mengusahakan keefektifan sekolah dengan mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan secara maksimal, (e) Sekolah efektif dapat menjamin kemajuan siswa yang dimonitor secara periodik.

Kamis, 09 Desember 2010

Motivasi dan Aspek-aspek Pembelajaran

Oleh : Subagio *)

Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Motivasi adalah kekuatan mental yang berupa keinginan, perhatian, kemauan, dan cita-cita yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Ada tiga komponen utama yang sangat berpengaruh dalam motivasi yaitu (i) kebutuhan, (ii) dorongan, (iii) tujuan. Kebutuhan akan terjadi apabila ada ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa yang diharapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan. Sedangkan tujuan adalah yang ingin dicapai oleh seorang individu dan tujuan tersebut akan mengarahkan perilaku yaitu perilaku belajar.
Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relative permanent dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ektrinsiknya adalah adanya penghargaan lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik.
Aspek-aspek yang terlibat dalam pembelajaran yang meliputi sikap guru, bahan pelajaran, media pembelajaran dan hasil belajar sangat mempengaruhi minat dan motivasi siswa dalam belajar. Sikap atau tingkah laku guru dijadikan model oleh siswa-siswanya. Para siswa meniru sikap atau tingkah laku guru, yang baik maupun yang buruk. Gaya guru dalam memberi pelajaran juga mempengaruhi suasana kelas dan kegiatan siswa dalam belajar.
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Beberapa prinsip yang menjadi landasan pengertian tersebut ialah : (1) Pembelajaran sebagai suatu usaha memperoleh perubahan perilaku. Prinsip ini bermakna bahwa prosees pembelajaran itu ialah adanya perubahan perilaku dalam diri individu. (2) Hasil pembelajaran ditandai dengan perubahan perilaku secara keseluruhan.(3) Pembelajaran merupakan suatu proses. Prinsip ini mengandung makna bahwa pembelajaran merupakan suatu aktifitas yang berkesinambungan.(4) Proses pembelajaran terjadi karena adanya sesuatu yang mendorong dan ada sustu tujuan yang ingin dicapai. (5) Pembelajaran merupakan suatu pengalaman.
Suatu proses pembelajaran akan berlangsung dengan efektif apabila informasi yang dipelajari dapat diingat dengan baik dan terhindar dari lupa. Mengingat adalah merupakan proses menerima, menyimpan, dan mengeluarkan kembali inforrmasi-informasi yang telah diterima melalui pengamatan, kemudian disimpan dalam pusat kesadaran (otak) setelah diberikan tafsiran.
Yang dimaksud dengan transfer dalam pembelajaran ialah pemindahan hasil pembelajaran dari suatu situasi kee situai lain. Transfer akan terjadi apabila terdapat kesamaan antara pembelajaran yang satu dengan situasi lainnya. Dalam proses pembelajaran kebutuhan merupakan sumber timbulnya motivasi. Kebutuhan (need) dapat diartikan sebagai suatu sitiasi kekurangan dalam diri inividu dan menunutut pemuasan agar dapat berfungsi secara efektif. Kebutuhan merupakan sumber timbulnya motivasi yang mendorong individu untuk berperilaku.
Dengan perilaku belajar yang efektif disertai proses mengajar yang tepat, maka proses belajar-mengajar diharapkan mampu menghasilkan manusia-manusia yang mempunyai karakteristik sebagai: (1) pribadi yang mandiri, (2) pelajar yang efektif, (3) pekerja yang produktif, (4) anggota masyarakat yang baik. Untuk mewujudkan kualitas manusia seperti itu, maka ada empat kulitas belajar yang harus dikembangkan dalam diri pada siswa, yiatu: (1) belajar untuk menjadi (learning to do), (2) belajar untuk belajar (learning to learn), (3) belajar untuk berbuat (learning to do), (4) belajar untuk hidup bersama (learning to live together)
Perilaku mengajar guru, guru dituntut arus mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar menjadi perilku belajar yang efektif dalam diri siwa. Guru juga di tuntut untuk menciptakan situasi belajar-mengajar yang kondusif. Guru tidak terbatas sebagai pengajar dalam arti penyampai pengetahuan, akan tetapi lebih meningkat sebagai perancang pengajaran, manajer pengajaran, pengevaluasi hasil belajar dan sebagai direktur belajar.
Dalam mewujudkan perilaku mengajar secara tepat, karakteristik pengajar yang diharapkan adalah: (1) Memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelaajaran yang diajarkannya. (2) Memiliki kecakapan untuk memperkirakan kepribadian ddan suasana hati secara tepat serta membuat kontak dengan kelompok secara tepat. (3) Memiliki kesabaran, keakraban, dan sensivitas yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar. (4) Memiliki pemikiran yang imajinatif (konseptual) dan praktis dalam usaha memberikan penjelasan kepada pesrta didik. (5) Memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya, baik isi maupun metode. (6) Memiliki sikap terbuka, luwes, dan eksperimental dam metode dan teknik.
Guru akan mengajar dengan baik apabila memiliki sikap dasar yang benar, sasaran yang benar, informasi faktual yang diperlukan, memahami macam-macam metoda dan teknik dan mengetahui bagaimana memilihnya, membantu siswa dalam merencanakan tindak lanjut
Perwujudan perilaku guru sebagai pengajar dan siswa sebagai pelajar akan nampak pada interaksi antar keduanya. Dalam interaksi ini terjadi proses saling mempengaruhi sehingga terjadi perubahan perilaku pada diri pelajar dalam bentuk tercapainya hasil belajar. Sekurang-kurangnya ada tiga hal dalam interaksi pelajar-pengajar yaitu proses belajar, metode mengajar, dan pola-pola interaksi. Model pembelajaran yang dipandang cukup komprehensif yang dikembangkan oleh Ernest Chang dan Don Simpson, “The circle of learning: individual and Group Process” menurut model ini, pembelajaran dapat berlangsung tidak hanya tanggung jawab individual, akan tetapi dapat dalam bentuk kolaboratif melalui proses kehidupan kelompok. Model ini mendasarkan atas paradigma hubungan antara aktivitas dan orientasi. Dalam proses berlangsungnya pembelajaran ada dua dimensi yaitu dimensi aktivitas pembelajaran dan dimensi orientasi proses. Hubungan dua dimensi itu menghasilkan empat pola pembelajaran yaitu: (1) traditional lectures atau ceramah tradisional, (2) self study atau belajar mandiri, (3) concurrent learning atau pembelajaran bersama, (4) colaborative learning atau pembelajaran kolaboratif.


*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan

Rabu, 08 Desember 2010

Motivasi di Dalam Kelas

Oleh Subagio *)
Guru memegang peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan motivasi di dalam diri siswa. Pemotivasian siswa ini justru merupakan salah satu tugas utama dan seni yang harus dikuasai guru dalam mengajar. Disini pula letaknya perbedaan seorang guru dengan guru lain dalam mengajar. Tidak jarang seorang guru dianggap sebagai guru favorit oleh siswa karena kemampuannya dalam memotivasi siswa. Karenanya, kemampuan guru memotivasi siswa merupakan salah satu kunci suksesnya dalam mengajar.
Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa pentingnya motivasi belajar adalah sebagai berikut : (1) Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses, dan hasil akhir; (2) Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan dengan teman sebaya; (3) Mengarahkan kegiatan belajar; (4) Membesarkan semangat belajar; (5) Menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja.
Motivasi belajar juga penting diketahui oleh seorang guru. Pengetahuan dan pemahaman tentang motivasi belajar pada siswa bermanfaat bagi guru, manfaat itu sebagai berikut : (1) Membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat siswa untuk belajar sampai berhasil; membangkitkan bila siswa tak bersemangat; meningkatkan, bila semangat belajarnya timbul tengelam; memelihara, bila semangatnya telah kuat untuk mencapai tujuan belajar (2) Mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa di dalam kelas (3) Meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam-macam peran seperti penasihat, fasilitator, instruktur, teman diskusi, penyemangat, pemberi hadiah, atau pendidik (4) Memberi peluang guru untuk “unjuk kerja” rekayasa pedagogis.
Denga memahami teori-teori tentang motivasi, maka guru dapat mengembangkan delapan jenis motivasi di dalam kelas, yaitu : (1) motivasi tugas, (2) motivasi aspirasi, (3) motivasi persaingan, (4) motivasi afiliasi, (5) motivasi kegagalan, (6) motivasi menghindar, (7) motivasi penguatan; dan (8) motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri.
Motivasi tugas adalah motivasi yang ditimbulkan oleh tugas- tugas yang ditetapkan bersama oleh guru, siswa sendiri, maupun yang dirancang oleh guru dan siswa secara bersama-sama. Siswa yang memilki moivasi tugas memperlihatkan keterlibatan dan ketekunan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas tugas belajar. Motivasi tugas hendaklah dibangun di dalam diri siswa dan ini dapat dilakukan oleh guru kalau dia mengetahui caranya.
Motivasi aspirasi yang tinggi tumbuh dengan subur kalau siswa memilki perasaan sukses. Perasaan gagal dapat menghancurkan aspirasi siswa dalam belajar. Oleh karena itu guru jangan menjadikan siswa selalu gagal, walaupun ini bukan bermakna guru harus menjadikan siswa sukses terus menerus. Suatu konsep yang harus ditanam oleh guru kepada siswa agar ia memiliki aspirasi yang tingi adalah bahwa kesuksesan atau kegagalan ditentukan oleh ‘usaha’, bukan kemampuan atau kecerdasan.
Persaingan yang sehat dapat menjadi motivasi yang kuat dalam belajar. Namun memupuk rasa persaingan yang berlebih-lebihan, di kalangan siswa dalam belajar dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat, karena siswa bukan menjadi giat belajar, tetapi dengan berbagai cara berusaha mengalahka siswa lain untuk mendapatkan status. Membangun persaingan dengan diri sendiri pada setiap siswa aka menimbulkan motivasi persaingan yang sehat dan berkesan dalam belajar.
Motivasi afiliasi adalah dorongan untuk melaksanakan kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya, karea ingin diterima dan diakui oleh orang lain. Siswa-siswa yang masih kecil berusaha meningkatkan usaha dan prestasi dalam belajar agar dia dapat diterima dan diakui oleh orang dewasa, yaitu guru dan ibu bapaknya. Namun para remaja lebih terdorong belajar untuk mendapatkan penerimaan da pengakuan dari rekan sebaya. Oleh karena itu, guru-guru yang mengajar siswa-siswa yang masih kecil hendaknya memberikan perhatian dan penghargaan yang penuh terhadap peningkatan usaha dan hasil belajar yang ditampilkan oleh siswa. Bagi siswa remaja, guru hendaknya dapat memanfaatkan kelompok untuk meningkatkan usaha dan prestasi belajar.
Kegagalan dapat mendorong usaha dan hasil belajar. Tetapi kegagalan yang berlebihan dapat menurunkan gairah dan hasil belajar. Siswa yang telah memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar jika mengalami kegagalan dapat menurunkan motivasinya itu. Demikian juga dengan siswa-siwa yang memiliki kecerdasan (IQ) rendah kalau mengalami kegagalan menyebabkan usaha dan hasil belajar mereka menjadi bertambah menurun. Tetapi kegagalan sangat bermakna untuk meningkatkan usaha dan hasil belajar siswa yang bermotivasi rendah dan yang memiliki kecerdasan tinggi.
Motivasi mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Disini motivasi adalah sangat penting. Seseorang yang motivasinya besar akan menampakkan minat, perhatian, konsentrasi penuh, ketekunan tinggi, serta berorientasi pada prestasi tanpa mengenal perasaan bosan, jenuh apalagi menyerah. Sebaliknya siswa yang rendah motivasinya akan terlihat acuh tak acuh, cepat bosan, mudah putus asa dan berusaha menghindar dari kegiatan, misalnya terdapat dua anak yang memiliki kemampuan sama dan memberikan peluang dan kondisi yang sama untuk mencapai prestasi belajar, kinerja dan hasil belajar yang dicapai oleh anak yang termotivasi akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak termotivasi. Motivasi akan mendorong siswa untuk lebih meningkatkan prestasi belajar siswa. Belajar tanpa motivasi sulit untuk mencapai keberhasilan secara optimal.
Motivasi penguatan dapat dilihat melalui grafik kemajuan belajar siswa. Guru hendaklah menjauhi pemahaman bahwa pemberian angka sebagai sumber utama untuk menimbulkan motivasi penguatan, karena menitik-beratkan pemberian angka dalam memotivasi siswa dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan akan menimbulkan kegagalan di dalam kelas.
Motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri sangat bermakna dalam meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Siswa-siswa ini menunjukkan tingkah laku yang mandiri dalam belajar dan mempunyai sistem nilai yang baik yang melatar-belakangi tingkah laku mereka itu. Pembentukan sistem nilai-nilai yang menjadi tanggung jawab guru pada setiap siswa, sehingga siswa-siswa memiliki motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri adalah sangat penting. Bagi siswa-siswa yang telah memiliki motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri, guru hanya perlu memberikan pelayanan yang sesuai dengan tuntutan aktivitas belajar mereka.
*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum

Rabu, 28 Juli 2010

PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

oleh : Subagio,M.Pd.

Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan pembaharuan. Sekolah seolah terus berpacu memunculkan dan mengejar keunggulannya masing-masing. Ditengah begitu semangatnya berbagai sekolah mengejar keunggulan teknologi, terbersit satu pertanyaan, ‘sebesar itu jugakah semangat kita untuk mengejar keunggulan karakter siswa-siswa kita?’
Pendidikan karakter tiba-tiba menjadi wacana hangat di dunia pendidikan lndonesia karena pendidikan merupakan proses yang paling bertanggungjawab dalam melahirkan warga negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang baik. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, dan tangguh; peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif dan lemah; itu mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah (Aan Hasanah, 2009).
Merujuk pada piramida terbalik Maslow, kini saatnya dunia pendidikan mengubah paradigma. Bukan lagi mengarahkan siswa untuk sekadar memiliki keterampilan mengerjakan soal-soal eksakta (IQ), melainkan mendorong siswa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya dan memiliki kebiasaan menemukan makna kehidupan.
Sekolah adalah tempat yang sangat strategis bahkan yang utama setelah keluarga untuk membentuk akhlak/karakter siswa. Bahkan seharusnya setiap sekolah menjadikan kualitas akhlak/ karakter sebagai salah satu Quality Assurance yang harus dimiliki oleh setiap lulusan sekolahnya. Tentunya kita semua berharap siswa-siswi yang dididik di sekolah kita menjadi hamba Allah yang beriman, sebagaimana pemerintah kita mencanangkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 3. "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab."
Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Membentuk karakter tidak semudah memberi nasihat, tidak semudah memberi instruksi, tetapi memerlukan kesabaran, pembiasaan dan pengulangan sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral.
Penanaman pendidikan karakter di sekolah harus mengacu konsep dari Kementerian Pendidikan Nasional. Kemendiknas telah merancang ‘grand design’ pembelajaran pendidikan karakter. Acuan yang telah ditetapkan Kemendiknas terkait pendidikan karakter adalah pengelompokan konfigurasi karakter, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa-karsa. Olah hati bermuara pada pengelolaan spiritual dan emosional, olah pikir bermuara pada pengelolaan intelektual, olah raga bermuara pada pengelolaan fisik, sedangkan olah rasa bermuara pada pengelolaan kreativitas, keempat konfigurasi penanaman pendidikan karakter tersebut harus terkandung dalam rancangan kegiatan pembelajaran, dan tidak boleh melenceng dari acuan Kemendiknas itu.
Apabila ada rancangan kegiatan pembelajaran yang tidak sesuai dengan acuan itu, akan mengacaukan dan membelokkan cita-cita besar penanaman pendidikan karakter terhadap siswa.
Proses selanjutnya untuk pengembangan pendidikan karakter adalah kemampuannya untuk melewati tiga tahapan penting, yakni pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Tiga tahapan ini tidak boleh diabaikan, pengembangan pendidikan karakter dalam suatu sistem pendidikan tetap harus selalu memperhatikan keterkaitan antar komponen karakter setiap siswa, terutama terkait perilakunya.
Menerapkan pendidikan karakter di sekolah, menurut Ratna Megawangi, Founder Indonesia Heritage Foundation, ada tiga tahap pembentukan karakter :
MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik
MORAL FEELING : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya.
MORAL ACTION : Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior
Dengan tiga tahapan ini, proses pembentukan karakter akan jauh dari kesan dan praktik doktrinasi yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan mencintai berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri.
Berikut adalah tips untuk sukses menerapkan pendidikan berbasis karakter di sekolah:
 Memiliki nilai-nilai yang dianut dan disampaikan kepada seluruh stake holder sekolah melalui berbagai media : buku panduan untuk orang tua (dan siswa), news untuk orang tua, pelatihan.
 Staf pengajar dan administrasi termasuk tenaga kebersihan dan keamanan mendiskusikan nilai-nilai yang dianut, Nilai-nilai ini merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang diyakini sekolah.
 Siswa dan guru mengembangkan nilai-nilai yang dianut di kelas masing-masing.
 Memberikan dilema-dilema dalam mengajarkan suatu nilai, misalnya tentang kejujuran.
 Pembiasaan penerapan nilai di setiap kesempatan
 Mendiskusikan masalah yang terjadi apabila ada pelanggaran
 Mendiskusikan masalah dengan orang tua apabila masalah dengan anak adalah masalah besar atau masalahnya tidak selesai
Dari semua komponen sekolah, yang paling berperan mensukseskan program pendidikan berbasis karakter di sekolah, adalah GURU. Tentunya diperlukan GURU BERKARAKTER untuk menghasilkan SISWA BERKARAKTER. Meski diperlukan kesabaran dan ketekunan, menghasilkan anak didik yang berakhlak dan berkarakter baik tentunya sangat membahagiakan, karena menjadi penyebab seseorang mendapatkan kebaikan itu lebih baik dari dunia dan seisinya!
Enam Pilar Pendidikan Karakter
Pendekatan pendidikan karakter tidak mengecualikan siapa pun. Itu sebabnya pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui - nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias budaya. Gunakan poin di bawah ini untuk membantu siswa memahami Enam Pilar.
1. Trustworthiness | Kepercayaan
Jujur • Jangan menipu, menjiplak atau mencuri • Jadilah handal - melakukan apa yang Anda katakan Anda akan melakukannya • Minta keberanian untuk melakukan hal yang benar • Bangun reputasi yang baik • Patuh - berdiri dengan keluarga, teman dan negara
2. Respect | Respect
Bersikap toleran terhadap perbedaan • Gunakan sopan santun, bukan bahasa yang buruk • Pertimbangkan perasaan orang lain • Jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain • Damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan
3. Responsibility | Tanggungjawab
Selalu lakukan yang terbaik • Gunakan kontrol diri • JDisiplin • Berpikirlah sebelum bertindak - mempertimbangkan konsekuensi • Bertanggung jawab atas pilihan Anda
4. Fairness | Keadilan
Bermain sesuai aturan • Ambil seperlunya dan berbagi • Berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain • Jangan mengambil keuntungan dari orang lain • Jangan menyalahkan orang lain sembarangan
5. Caring | Peduli
Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan Anda peduli • Ungkapkan rasa syukur • Maafkan orang lain • Membantu orang yang membutuhkan
6. Citizenship | Kewarganegaraan
Apakah anda berbagi untuk membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik Bekerja sama. Libatkan diri dalam urusan masyarakat. Stayinformed; suara. Jadilah tetangga yang baik. Taatilah hukum dan aturan. Hormati otoritas. Melindungi lingkungan hidup

*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum

Senin, 14 Juni 2010

KREATIVITAS DAN INOVASI DALAM MEMAJUKAN SEKOLAH

Oleh : Subagio *

Sistem dan program pendidikan di seluruh tingkatan, secara umum sudah membutuhkan revolusi alias perlu diubah total. Di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, kini sekolah cenderung tidak terarah karena kurikulum yang tidak serasi. Proses pembelajaran pun tidak kreatif dan tidak mendorong kreativitas anak didik. Di sisi lain, pengelolaan dalam materi pembelajaran kerap tumpang tindih sehingga mematikan prakarsa pelajar. Kemampuan guru-guru di bidang pedagogik, didaktik dan metodik juga sangat kurang, sehingga acapkali guru sama sekali tidak mempedulikan pengembangan kepribadian dan watak anak didiknya.
Pendidikan di Indonesia makin materialistis. Pendidikan kita juga terperangkap dalam keyakinan keliru, seolah-olah makin banyak mata ajaran yang dikuasai semakin terdidik seseorang. Kenyataan itu merupakan materialisme dikdaktis yang harus segera dihentikan. Lebih ironis lagi, pendidikan yang materialistis itu bersifat komersial. Tak berlebihan bila istilah penyelenggara sekolah kini sudah dapat diubah menjadi pengusaha sekolah.
Pendidikan memang membutuhkan biaya besar, tetapi biaya itu tidak perlu seluruhnya dibebankan kepada murid (orang tua/wali). Pemerintah sebagai pengayom masyarakat harus menjalankan asas subsidiaritas. Jika tidak, makin banyak anak jalanan, anak fakir miskin, anak telantar. Kecen-derungan itu tidak boleh diabaikan oleh masyarakat dan pemerintah.
Sebaiknya pendidikan dan persekolahan wajib dibebaskan dari etatisme (pengaruh dan pengaturan pemerintah yang berlebihan). Pendidikan juga perlu dibebaskan dari sentralisme (penyeragaman). Harus ada variasi kurikulum, serta dikembangkan otonomi pengelolaan pendidikan di berbagai kawasan. Otoritas ini memiliki wewenang penuh untuk mengatur pendidikan di wilayahnya.
Ada tiga persepsi yang kurang benar tentang pendidikan. Pertama, pendidikan hanya terjadi di sekolah. Kedua, tugas sekolah ialah mengajarkan pengetahuan. Ketiga, sekolah harus membuat siswa menjadi “manusia siap pakai”.Akibat negatif dari kesalahan pertama, pengetahuan tentang pendidikan keluarga tidak berkembang. Sistem pendidikan nonformal tidak berkembang dan kemampuan bangsa untuk belajar dari situasi pendidikan nonformal menjadi rendah.Sedangkan dampak kesalahan kedua, kemampuan siswa yang rendah untuk mempergunakan pengetahuan sebagai alat berpikir dan alat untuk memahami serta memecahkan masalah. Kepekaan siswa terhadap nilai-nilai terhadap norma juga sangat rendah, baik norma estetis maupun norma synnoetis (norma kehidupan sosial), atau pun norma etis.Kesalahan ketiga berakibat lulusan sekolah tidak cukup menguasai konsep-konsep dasar. Mereka terpaku kepada keterampilan yang bersifat terapan. Selain itu, tenaga kerja menjadi kurang retrainable. Persepsi yang sebaiknya, adalah bahwa pendidikan terjadi sebelum anak masuk sekolah dan sesudah anak tamat sekolah. Sekolah hanya suatu mata rantai dari suatu kegiatan nyata pendidikan yang luas, dinamis dan saling ber-sambungan. Tugas sekolah ialah mempersiapkan anak untuk mengarungi kehidupan, bukan hanya membuat siswa menjadi siap pakai. Untuk itu, tugas pokok sekolah bukan sekadar mengajarkan pengetahuan, melainkan me-mupuk kepekaan terhadap nilai-nilai.
Konsekuensinya, sekolah harus tahu jenis pendidikan yang telah dilalui anak di keluarga dan menilainya sejauh mana pendidikan keluarga itu dapat dipergunakan sebagai landasan untuk menyusun program pendidikan sekolah. Sekolah juga harus membimbing anak untuk menguasai kemampuan belajar, baik untuk situasi pendidikan formal, maupun situasi pendidikan nonformal dan informal. Tugas sekolah adalah melahirkan generasi yang menjadi bagian dari bangsa yang pandai belajar.
Para guru sebenarnya menyadari bahwa pelajaran yang memberi kesempatan mengembangkan kreativitas, sangat dibutuhkan anak. Akan tetapi mereka umumnya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana mengatasi keadaan itu. Kesulitan mereka terutama karena padatnya kurikulum pendidikan sehingga kreativitas anak terabaikan. Fakta menunjukkan minimnya waktu dan pelajaran yang bersifat untuk mengembangkan kreativitas pada sekolah formal, padahal di sisi lain menurut upaya memunculkan pribadi kreatif sangat dibutuhkan bagi anak dalam kehidupannya. Dengan demikian, para guru memiliki kesulitan bagaimana menanamkan dan menumbuhkan jiwa kreativitas kepada anak.
Diperlukan adanya pelatihan bagi guru dan penerbitan buku mengenai kreativitas, sebab guru pun membutuhkan tuntunan. Beberapa sekolah yang secara finansial memadai kini memang sudah mempunyai tenaga psikolog sosial dan lainnya, tetapi psikolog pendidikan belum ada, yang mendampingi para guru dan khususnya guru Bimbingan Konseling dalam membina siswa di sekolah. Namun sekolah-sekolah lainnya belum mampu ke arah rekruitmen seperti itu.
Dapat mengerti betapa sulitnya posisi guru, karena kurikulum pendidikan dasar dan menengah saat ini memang sangat luas. Tentu mereka tak memiliki waktu lagi untuk mengasah kreativitas siswa. Selain waktu, kreativitas membutuhkan ruang. “Bagaimana mungkin bisa dilakukan guru jika di ruang kelas diisi 40 atau lebih anak?”
Untuk bisa menanamkan kreativitas pada siswa, mestinya kurikulum memfokuskan pada hal dasar dan esensial, sehingga cukup waktu untuk mengasah kreativitas. Di luar itu harus pula diperhatikan, harus ada kurikulum yang berbeda karena anak memiliki perbedaan bakat dan minat.
Terdapat jalan agar siswa mendapat kesempatan mengasah daya kreativitasnya, yakni dengan meluangkan waktu untuk keperluan itu. Anak-anak jangan didesak untuk menerima hafalan yang sebenarnya tak menambah kecerdasannya. Dalam memberikan soal hendaknya jangan memberi peluang untuk satu jawaban saja. Guru dapat membuat pertanyaan yang menuntut pemikiran banyak gagasan dan janganlah membuat semuanya serba seragam, karena setiap anak memiliki pribadi berbeda. Upaya itu akan menumbuhkan hasil berupa kelancaran dalam berpikir.
Selanjutnya, faktor originalitas yang bisa dilakukan oleh guru dengan cara lebih luwes dalam menghargai gagasan unik, bahkan mendorong mereka mengutarakan pendapat lain dari yang lain. Terakhir, perlu elaborasi dengan memperkaya gagasan dengan uraian lebih rinci.
Empat unsur di atas sebaiknya masuk kurikulum sebab hal-hal itu yang menjadi dasar-dasar kreativitas. Selain berpikir kreatif, perlu pula bersikap kreatif dengan merangsang anak membuat sesuatu yang baru, membuat sesuatu yang imajinatif.
Pendidikan Wadah Pemberdayaan Civil Society
Di mata penulis, pendidikan dalam arti yang luas memegang peranan yang sangat strategis bagi setiap masyarakat dan kebudayaan. Bahkan kualitas suatu bangsa dapat diukur dari sejauh mana kualitas pendidikan yang diberlakukan. Jelaslah bangsa yang mempunyai pendidikan yang berkualitas akan mampu pula menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas secara menyeluruh. Lebih lanjut penulis mengatakan, pendidikan tidak hanya sebagai wadah bagi penyiapan SDM bermutu, melainkan juga menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat warga.
Di mana letak peranan pendidikan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat madani itu? Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui hak-hak serta kewajiban perorangan dalam masyarakat. Sebab, dalam suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban merupakan batu landasan dari masyarakat. Masyarakat demokrasi hanya ada apabila hak-hak dan kewajiban warga negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati.
Sudah barang tentu proses pendidikan dalam masyarakat demokratis mengakui adanya identitas masyarakat atau bangsa yang berbudaya. Dan pengembangan pribadi di dalam masyarakat yang berbudaya, baik lokal maupun nasional tidak terelakkan lagi dalam kehidupan global abad ke-21.
Di benak penulis, dalam interaksi antara perkembangan kepribadian dengan kebudayaannya, proses pengembangan pribadi manusia lebih mendasar, karena bukan sekadar menyerap unsur-unsur kebudayaan secara pasif, tetapi manusia itu merupakan makhluk yang dinamis. Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa, dan rasa secara keseluruhan merupakan sumber bagi perkembangan masyarakat warga. Di dalam proses yang dinamis itu terjadilah proses hominisasi dan proses humanisasi yang justru menjadi titik pijak bagi pemberdayaan civil society.
Apa yang diperlukan dalam membangun masyarakat madani Indonesia melalui pendidikan? Penulis mengatakan, untuk mengupayakan civil society, beberapa paradigma baru dalam pendidikan diperlukan. Paradigma baru itu adalah pendidikan, dari, oleh, dan bersama-sama masyarakat.
Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan haruslah mampu memberikan jawaban kepada kebutuhan masyarakat itu. Jadi, pendidikan bukan dituangkan dari atas, dari kepentingan pemerintah semata-mata, apalagi dari penguasa; tetapi pendidikan yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.
Pendidikan oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukanlah merupakan obyek pendidikan untuk melaksanakan kemauan negara atau suatu kelompok semata-mata tetapi partisipasi yang aktif dari masyarakat di mana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikan. Hal ini berarti masyarakat bukan sekadar penerima belas kasih dari penguasa, tetapi suatu sistem yang percaya kepada kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab atas pendidikan generasi mudanya.
Terkait dengan itu, pendidikan juga harus bersama-sama masyarakat, artinya, masyarakat diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Jadi, masyarakat bukan disubordinasikan oleh pemerintah.
Selain paradigma tersebut, pendidikan harus didasarkan pada kebudayaan nasional yang bertumpu pada kebudayaan lokal. Kebudayaan Nusantara yang merupakan silang budaya antarbangsa telah menampung unsur-unsur terbaik dari budaya luar dan menghasilkan kebudayaan Nusantara.
Unsur-unsur budaya lokal itu seharusnya dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan sehingga dapat memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya masyarakat madani yang berdaya. Di sini tugas pendidikan nasional bukan hanya sekadar menghayati dan mengembangkan kebudayaan lokal tetapi juga ikut membangun kebudayaan nasional itu.
Paradigma berikut adalah proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi. Pendidikan dalam pengertian ini perlu dijadikan upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup, dan makhluk yang mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesempatan untuk belajar bertanggung jawab mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral perlu ditumbuhkembangkan dalam pendidikan. Terkait dengan itu relevanlah budaya demokrasi dihidupkan dalam seluruh proses belajar mengajar. Dengan budaya seperti itu jiwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang secara baik.
Selain tiga paradigma di atas, desentralisasi manajemen pendidikan menjadi keharusan demi pemberdayaan masyarakat warga. Penulis menganalisis bahwa kesalahan yang terjadi dalam pemerintahan Orde Baru adalah pemberlakuan sistem dan praksis pendidikan nasional yang sifatnya sentralistik.
Model seperti itu sama sekali tidak bisa mengembangkan dan menumbuhkan potensi-potensi yang ada di dalam masyarakat, khususnya pengelola pendidikan. Dengan kata lain, sentralistik justru bertentangan dengan hakikat masyarakat madani. Atau tegasnya, hal itu memperlihatkan ketidakpercayaan pemerintah pada kemampuan rakyat sendiri.
Kini sudah waktunya memberlakukan sistem desentralisasi manajemen dalam pendidikan. Ini penting, karena desentralisasi memiliki sejumlah dampak positif, antara lain mengembangkan kebudayaan lokal, mengem-bangkan kebudayaan nasional sebagai benteng pertahanan menyaring pengaruh-pengaruh kebudayaan global yang negatif, serta akan mampu mengembangkan inisiatif untuk bereksperimen dan bersaing dalam pengembangan mutu pendidikan nasional menghadapi persaingan global, serta akan meningkatkan peran masyarakat swasta untuk mengembangkan ciri khasnya sebagai sumbangan bagi pemberdayaan civil society.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat warga merupakan elemen-elemen yang terkait dalam tatanan kehidupan bersama. Perhatian yang seimbang atas ketiga unsur itu dalam praksis pendidikan akan mampu menumbuhkan orang-orang yang berdaya dalam masyarakat.
*Penulis adalah Kepala SMPN 2 CIBEUREUM
Kab. Kuningan

Jumat, 04 Juni 2010

DICARI KEPALA SEKOLAH PROFESIONAL

oleh : Subagio,M.Pd.

Pada tingkat paling operasional, kepala sekolah adalah orang yang berada di garis terdepan yang mengkoordinasikan upaya meningkatkan pembelajaran yang bermutu. Kepala sekolah diangkat untuk menduduki jabatan yang bertanggung jawab mengkoordinasikan upaya bersama mencapai tujuan pendidikan pada level sekolah masing-masing
Dalam praktik di Indonesia, kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki kualifikasi menduduki jabatan itu. Tidak pernah ada orang yang bukan guru diangkat menjadi kepala sekolah. Jadi, seorang guru dapat berharap bahwa jika “beruntung” suatu saat kariernya akan berujung pada jabatan kepala sekolah. Biasanya guru yang dipandang baik dan cakap sebagai guru diangkat menjadi kepala sekolah. Dalam kenyataan, banyak di antaranya yang tadinya berkinerja sangat bagus sebagai guru, menjadi tumpul setelah menjadi kepala sekolah.
Kepala sekolah seharusnya merupakan jabatan yang istimewa. Untuk satu hal saja, jabatan kepala sekolah bukan sekadar jabatan manajer dengan segala macam sebutannya itu. Memang dalam artian sebagai pimpinan sebuah unit kerja, sebenarnya jabatan kepala sekolah tidak berbeda dari jabatan kemanajerialan lainnya. Setidaknya fungsinya sama, yaitu memaksimumkan pendayagunaan sumber daya yang tersedia secara produktif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bagi unit kerjanya. Dalam kadar tertentu, kepala sekolah sebagai pimpinan sebuah unit kerja, memainkan peran yang sama seperti halnya manajer unit kerja lainnya. Ia harus dapat memastikan bahwa sistem kerjanya berjalan lancar dan semua sumber daya yang diperlukan untuk mencapai hasil harus tersedia secukupnya dengan kualitas yang memadai. Namun, kepala sekolah mengelola sebuah lembaga yang sangat istimewa yaitu sekolah sebagai lembaga formal pendidikan yang akan sangat mewarnai masa depan anggota utamanya, peserta didik.
Tentu saja kepala sekolah bukan satu-satunya determinan bagi efektif tidaknya suatu sekolah karena masih banyak faktor lain yang perlu diperhitungkan. Ada guru yang dipandang sebagai faktor kunci yang berhadapan langsung dengan para peserta didik dan masih ada lagi sejumlah masukan instrumental dan masukan lingkungan yang mempengaruhi proses pembelajaran. Namun, kepala sekolah memainkan peran yang termasuk sangat menentukan. Misalnya, studi dengan pendekatan sosiologi tentang efektivitas sekolah menengah menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah memainkan peran yang sangat penting (Lightfoot, 1983; lihat juga telaahan mutakhir trends & issues manajemen pendidikan yang dikompilasi dalam ERIC, 2002). Kepala sekolah bukan manajer sebuah unit produksi yang hanya menghasilkan barang mati, seperti manajer pabrik yang menghasilkan sepatu, misalnya. Lebih dari para manajer lainnya, ia adalah pemimpin pendidikan yang bertanggung jawab menciptakan lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan anggotanya mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti itu memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya, bukan sekadar kompetensi kognitif. Kepala sekolah seharusnya berada di garda paling depan dalam hal peneladanan, pemotivasian, dan pemberdayaan itu. Apakah ini barang baru? Sama sekali tidak karena jauh sebelumnya Ki Hadjar Dewantara telah berujar dengan pernyataannya yang terkenal itu: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani.
Uraian singkat di atas telah menunjukkan betapa tidak ringannya tanggung jawab seseorang sebagai kepala sekolah. Sebenarnya pekerjaan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolahnya tidak pernah ringan. Sudah sekian lama birokrasi pemerintahan negara kita tidak banyak membantu kepala sekolah mengatasi kerumitan itu. Sudah sejak lama pula para kepala sekolah berhadapan dengan situasi di mana mereka lebih banyak tergantung pada konteks dan periferal pekerjaannya. Mereka sering berada pada posisi nirdaya dalam situasi ketika kepemimpinan mereka benar-benar diperlukan. Oleh sebab itu, diperlukan paradigma baru untuk menanggalkan ketergantungan yang selama ini telah memerangkap para kepala sekolah yang sebagian sebenarnya mungkin telah bekerja dengan serius. Manajemen berbasis sekolah (MBS) dipandang banyak pihak dapat memberi ruang gerak lebih longgar bagi kepala sekolah untuk meningkatkan mutu sekolahnya. Konsepnya bagus karena MBS adalah strategi untuk meningkatkan kem andirian para pengelola pendidikan dengan memindahkan wewenang pengambilan keputusan penting dari pemerintah pusat dan daerah ke level paling operasional, yaitu sekolah. Hasilnya masih belum jelas karena penerapannya ternyata juga masih harus menunggu kerelaan birokrasi pendidikan (daerah dan pusat) untuk mendelegasikan powernya.
Setiap jabatan menggambarkan status yang diemban pemegangnya. Status itu, pada gilirannya, menunjukkan peran yang harus dilakukan pejabatnya. Peran utama yang harus diemban oleh kepala sekolah yang membedakannya dari jabatan-jabatan kepala lainnya adalah peran sebagai pemimpin pendidikan. Kepemimpinan pendidikan mengacu pada kualitas tertentu yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat mengemban tanggung jawabnya secara berhasil. Apa saja kualitas itu? Pertama, kepala sekolah harus tahu persis apa yang ingin dicapainya (visi) dan bagaimana mencapainya (misi). Kedua, kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi untuk melaksanakan misi guna mewujudkan visi itu. Dan ketiga, kepala sekolah harus memiliki karakter tertentu yang menunjukkan integritasnya.
Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu. Memahami visi dan misi serta memiliki integritas yang baik saja belum cukup. Agar berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Apa saja kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah? Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002).(1) Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah.(2) Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf.(3) Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.(4) Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.(5) Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas.(6) Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.
Integritas adalah ketaatan pada nilai-nilai moral dan etika yang diyakini seseorang dan membentuk perilakunya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat. Ada ungkapan yang bagus untuk memahami pengertian integritas: integritas Anda tidak diukur dari kemampuan Anda menaklukkan puncak gunung, tetapi diri Anda sendiri. Setidaknya ada sejumlah ciri yang menggambarkan integritas kepala sekolah: dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali.
Dapat dipercaya (amanah). Seorang kepala sekolah haruslah orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu diperolehnya secara sukarela, tidak dengan meminta apalagi memaksa orang lain untuk mempercayainya. Kepala sekolah tidak perlu berpidato di depan para guru, murid, atau orang tua murid bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya. Perilakunya sehari-hari telah menyampaikan informasi yang akurat tentang keamanahan itu. Kepala sekolah yang dapat dipercaya memiliki kejujuran yang tidak diragukan.
Konsisten. Kepala sekolah yang konsisten dapat diandalkan. Kepala sekolah seperti ini tidak mencla-mencle, perbuatannya taat asas dengan perkataannya. Kepala sekolah seperti ini tidak bermuka banyak. Ia mengoperasionalkan kebijakan pendidikan secara tegas dan bijaksana, dan tidak perlu menjadi anggota bunglon sosial untuk mengamankan kebijakan itu.
Komit. Kepala sekolah yang komit, terikat secara emosional dan intelektual untuk mengabdikan diri sepenuhnya bagi kepentingan anak didiknya. Kepala sekolah seperti ini tahu persis bahwa tanggung jawabnya tidak mungkin dapat dipikulnya setengah-setengah. Pekerjaan sebagai kepala sekolah baginya bukan pekerjaan paruh waktu. Ia tidak boleh merangkap-rangkap pekerjaannya dengan pekerjaan lain, atau menjadi kepala sekolah di lebih dari satu tempat.
Bertanggung jawab. Kepala sekolah memiliki kewajiban sosial, hukum, dan moral dalam menjalankan perannya. Kepala sekolah yang berintegritas tidak akan menghindar apalagi lari dari tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang mengutamakan kepentingan anak didiknya sadar betul bahwa secara sosial, hukum, dan moral ia harus berperilaku yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara emosional terkendali. Kepala sekolah yang berkecerdasan emosi tinggi sangat menyadari pengaruh emosinya dan emosi orang lain terhadap proses pemikirannya dan interaksinya terhadap orang lain. Kepala sekolah seperti ini mampu mengaitkan emosi dengan penalaran, menggunakan emosi untuk memfasilitasi penalaran dan secara cerdas menalarkan emosi. Dengan kata lain, ia menyadari bahwa kemampuan kognitif seseorang diperkaya dengan emosi dan perlunya emosi dikelola secara kognitif.

Senin, 31 Mei 2010

TUGAS GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN

oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)

Tugas guru dalam profesinya bahwa guru sebagai pendidik dan sebagai pengajar. Akan tetapi dari kedua peran tersebut sehingga dapat terjadi karena pembelajaran yang dengan tujuan bahwa guru dapat menciptakan suasana yang dan situasi yang dapat diterima dalam belajar. Guru memainkan multi peran dalam proses pembelajaran yang menyelenggarakan dengan tugas yang amat bervariasi. Jika seorang guru telah berpegang dengan ketentuan dan amat bervariasi sehingga di dapatkan guru dapat mewujudkan suasana yang belajar dan mengajar. (1). Guru sebagai konservator (pemelihara) (2). Guru sebagai tramitor (penerus) (3). Guru sebagai transformator (penerjemah) (4). Guru sebagai perencana (planner) (5). Guru sebagai manajer proses pembelajaran (6). Guru Sebagai Pemandu (direktur). (7). Guru sebagai organisator (penyelenggara) (8). Guru sebagai komunikator (9). Guru sebagai fasilitator (10). Guru sebagai motivator (11). Sebagai penilai (evaluator)
Pemahaman atas tugas dan peran guru dalam penyelenggaraan system pembelajaran seyogianya menjadi kerangka dalam berfikir dalam bahasa tentang penerapan Kode Etik Guru sebagaimana mestinya.Kode Etik Guru Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya sesuai dengan AD/ART PGRI 1994
a. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia yang berjiwa pancasila.
b. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional
c. Guru dalam berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan bimbingan dan pembinaan
d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya untuk menunjang berhasilnya pembelajaran.
e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat seitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab terhadap pendidikan.
f. Guru secara pribadi dab bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan profesinya
g. Guru memelihara hubungan sejawat keprofesian, semangat, kekeluargaan dan kesetiakawanan social.
h. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi sebagai sarana perjuangan.
i. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Konsep Kinerja Guru
Akadum (1999:67) mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja yang secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sulistiyani dan Rosidah menyatakan kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya (Akadum, 1999:67). Secara definitif Bernandin dan Russell dalam (Akadum, 1999:67) juga mengemukakan kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan, serta waktu. Penilaian kinerja adalah menilai rasio hasil kerja nyata dari standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan setiap karyawan. (Hasibuan, 2005:87). Menurut Andrew F. Sikula dalam Hasibuan (2005), penilaian kinerja adalah evaluasi yang sistematis terhadap pekerjaan yang telah dilakukan oleh karyawan dan ditujukan untuk pengembangan.
Dale Yoder mendefinisikan penilaian kinerja sebagai prosedur yang formal dilakukan di dalam organisasi untuk mengevaluasi pegawai dan sumbangan serta kepentingan bagi pegawai (Hasibuan, 2005:25). Sedangkan menurut Siswanto (2003: 231) penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan manajemen atau penyelia. Penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian atau deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.
Berdasarkan pengertian tentang kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil atau taraf kesuksesan yang dicapai seseorang dalam bidang pekerjaannya menurut kriteria tertentu dan dievaluasi oleh orang-orang tertentu terutama atasan pegawai yang bersangkutan.

Kinerja (performance) merupakan aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepadanya. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab tersebut merupakan pengekspresian seluruh potensi dan kemampuan yang dimiliki seseorang serta menuntut adanya kepemilikan yang penuh dan menyeluruh. Dengan demikian, munculnya kinerja seseorang merupakan akibat dari adanya suatu pekerjaan atau tugas yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan profesi dan job deskcription individu yang bersangkutan. Sebutan guru dapat menunjukkan suatu profesi atau jabatan fungsional dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, atau seseorang yang menduduki dan melaksanakan tugas dalam bidang pendidikan dan pembelajaran. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia Pasal 39 ayat 3 dinyatakan bahwa pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menegah disebut guru. Sementara itu, tugas guru sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 ayat 2 adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa selain mengajar atau proses pembelajaran, guru juga mempunyai tugas melaksanakan pembimbingan maupun pelatihan pelatihan bahkan perlu melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sekitar.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, maka seorang guru harus mempunyai sejumlah kompetensi atau menguasai sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terkait dengan bidang tugasnya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dapat mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional. Kompetensi pedagogik adalah berkaitan dengan kemampuan mengelola pembelajaran, sedang kompetensi kepribadian adalah kemampuan pribadi yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan hubungan antar pribadi dan dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan, kompetensi professionaladalah kemampuan dalam penguasaan materi pembelajaran dan bidang keahliannya. Guru yang mempunyai kompetensi profesional akan terlihat dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya di sekolah/ madrasah tempat ia bekerja. Menurut Muhaimin (2001:63), mengemukakan bahwa seorang guru dikatakan telah mempunyai kemampuan profesional jika pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan jaman yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada jamannya dimasa yang akan datang.
Dalam konteks proses pembelajaran di kelas, guru yang mempunyai kemampuan professional berarti yang bersangkutan dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif. Menurut Davis dan Thomas, bahwa guru yang efektif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, mempunyai pengetahuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas yang mencakup (1) memiliki keterampilan interpersonal khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan terhadap peserta didik, dan ketulusan, (2) menjalin hubungan yang baik dengan peserta didik, (3) mampu menerima, mengakui dan memperhatikan peserta didik secara ikhlas, (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar, (5) mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerjasama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok peserta didik, (6) mampu melibatkan peserta didik dalam mengorganisir dan merencanakan kegiatan pembelajaran, (7) mampu mendengarkan peserta didik dan menghargai haknya untuk berbicara dalam setiap diskusi, (8) mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas. Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, yang mencakup (1) mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan menanggapi peserta didik yang tidak mempunyai perhatian, suka menyela, mengalihkan perhatian, dan mampu memberikan transisi substansi bahan
ajar dalam proses pembelajaran; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua peserta didik. Ketiga, mempunyai kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement), yang terdiri atas (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon peserta didik; (2) mampu memberikan respon yang bersifat membantu terhadap peserta didik yang lamban dalam belajar; (3) mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban peserta didik yang kurang memuaskan; (4) mampu memberikan bantuan profesional kepada peserta didik jika diperlukan. Keempat, mempunyai kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri yang mencakup (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; (2) mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pembelajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara berkelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pembelajaran yang relevan dalam (Suyanto, 2001:3) .
Kinerja guru adalah kemampuan dan usaha guru untuk melaksanakan tugas pembelajaran sebaik-baiknya dalam perencanaan program pengajaran, pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran. Kinerja guru yang dicapai harus berdasarkan standar kemampuan profesional selama melaksanakan kewajiban sebagai guru di sekolah.
Berkaitan dengan kinerja guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, terdapat Tugas Keprofesionalan Guru menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 pasal 20 (a) Tentang Guru dan Dosen yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Kinerja Guru yang baik tentunya tergambar pda penampilan mereka baik dari penampilan kemampuan akademik maupun kemampuan profesi menjadi guru artinya mampu mengelola pengajaran di dalam kelas dan mendidik siswa di luar kelas dengan sebaik-baiknya. Unsur-unsur yang perlu diadakan penilaian dalam proses penilaian kinerja guru menurut Siswanto dalam Lamatenggo (2001:34) adalah sebagai berikut :
1). Kesetiaan. Kesetiaan adalah tekad dan kesanggupan untuk menaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab.
2). Prestasi Kerja. Prestasi kerja adalah kinerja yang dicapai oleh seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
3). Tanggung Jawab. Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang tenaga kerja dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu serta berani membuat risiko atas keputusan yang diambilnya. Tanggung jawab dapat merupakan keharusan pada seorang karyawan untuk melakukan secara layak apa yang telah diwajibkan padanya. Menurut Westra dalam Akadum (1999:86) Untuk mengukur adanya tanggung jawab dapat dilihat dari: a). Kesanggupan dalam melaksanakan perintah dan kesanggupan kerja. b). Kemampuan menyelesaikan tugas dengan tepat dan benar. c). Melaksanakan tugas dan perintah yang diberikan sebaik-baiknya.
4). Ketaatan. Ketaatan adalah kesanggupan seseorang untuk menaati segala ketetapan, peraturan yang berlaku dan menaati perintah yang diberikan atasan yang berwenang.
5).Kejujuran. Kejujuran adalah ketulusan hati seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya.
6). Kerja Sama. Kerja sama adalah kemampuan tenaga kerja untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang telah ditetapkan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Kriteria adanya kerjasama dalam organisasi adalah:
a. Kesadaran karyawan bekerja dengan sejawat, atasan maupun bawahan.
b. Adanya kemauan untuk membantu dalam melaksanakan tugas.
c. Adanya kemauan untuk memberi dan menerima kritik dan saran.
d. Tindakan seseorang bila mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas.
7). Prakarsa. Prakarsa adalah kemampuan seseorang tenaga kerja untuk mengambil keputusan langkah-langkah atau melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dan bimbingan dari atasan..
8). Kepemimpinan. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kemampuan kepala sekolah dalam membina dan membimbing guru untuk melaksanakan KBM terutama kegiatan merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran mengarah pada tercapainya kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa terkait dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru
Kinerja Guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen sekolah baik kepala sekolah, fasilitas kerja, guru, karyawan, maupun anak didik. Menurut Pidarta bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya yaitu :1). Kepemimpinan kepala sekolah,2). Fasilitas kerja, 3). Harapan-harapan, dan 4.) Kepercayaan personalia sekolah. Dengan demikian nampaklah bahwa kepemimpinan kepala sekolah dan fasilitas kerja akan ikut menentukan baik buruknya kinerja guru (Lamatenggo, 2001:35)
Selain itu, tingkat kualitas kinerja guru di sekolah memang banyak faktor yang turut mempengaruhi, baik faktor internal guru yang bersangkutan maupun faktor yang berasal dari guru seperti fasilitas sekolah, peraturan dan kebijakan yang berlaku, kualitas manajerial dan kepemimpinan kepala sekolah, dan kondisi lingkungan lainnya. Tingkat kualitas kinerja guru ini selanjutnya akan turut menentukan kualitas lulusan yang dihasilkan serta pencapaian lulusan yang dihasilkan serta pencapaian keberhasilan sekolah secara keseluruhan (Lamatenggo, 2001:98) .
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru dalam pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya. Akadum (1999:16) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999:17) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggotanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)

Menurut Soetopo (1984:1) Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga tercapai tujuan dari kelompok itu yaitu tujuan bersama. Sedangkan menurut Handoko (1995:294) bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja mencapai sasaran. Sedangkan menurut Stoner Kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya (Handoko,1995:295). Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi manusia baik perorangan maupun kelompok (Thoha,2004:264).
Dari berbagai pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpian untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan kelompok.
Upaya untuk menilai sukses tidaknya pemimpin itu dilakukan antara lain dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas atau mutu perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya. Teori kesifatan atau sifat dikemukakan oleh beberapa ahli. Edwin mengemukakan teori mereka tentang teori kesifatan atau sifat kepemimpinan. Edwin mengemukakan 6 (enam) sifat kepemimpinan yaitu: 1) kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksana fungsi-fungsi dasar manajemen. 2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan sukses. 3) kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kreatif, dan daya piker. 4) ketegasan, atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat. 5) kepercayaan diri, atau pandangan pada diri sehingga mampu menghadapi masalah. 6) inisiatif, atau kemampuan untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru atau inofasi (Handoko,1995:297).
Berbagai teori kesifatan juga dikemukakan oleh Ordway Tead dan George R. Terry dalam Kartono (1992:37). Teori kesifatan menurut Ordway Tead adalah sebagaiberikut: 1) energi jasmaniah dan mental Yaitu mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan baik jasmani maupun mental untuk mengatasi semua permasalahan. 2) kesadaran akan tujuan dan arah, mengetahui arah dan tujuan organisasi, serta yakin akan manfaatnya. 3) antusiasme pekerjaan mempunyai tujuan yang bernilai, menyenangkan, memberikan sukses, dan dapat membangkitkan antusiasme bagi pimpinan maupun bawahan, 4) keramahan dan kecintaan
Dedikasi pemimpin bisa memotivasi bawahan untuk melakukan perbuatan yang menyenangkan semua pihak, sehingga dapat diarahkan untuk mencapai tujuan. 5) integritas. Pemimpin harus bersikap terbuka; merasa utuh bersatu, sejiwa dan seperasaan dengan anak buah sehingga bawahan menjadi lebih percaya dan hormat. 6) Penguasaan teknis. Setiap pemimpin harus menguasai satu atau beberapa kemahiran teknis agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin. 7) ketegasan dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang berhasil pasti dapat mengambil keputusan secara cepat, tegas dan tepat sebagai hasil dari kearifan dan pengalamannya. 8) kecerdasan. Orang yang cerdas akan mampu mengatasi masalah dalam waktu yang lebih cepat dan cara yang lebih efektif. 9) keterampilan mengajar Pemimpin yang baik adalah yang mampu menuntun, mendidik, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan anak buahnya untuk berbuat sesuatu. 10) kepercayaan Keberhasilan kepemimpinan didukung oleh kepercayaan anak buahnya, yaitu percaya bahwa pemimpin dengan anggota berjuang untuk mencapai tujuan.
Teori Kesifatan menurut George R. Terry adalah sebagai berikut: 1) kekuatan.
Kekuatan badaniah dan rokhaniah merupakan syarat yang pokok bagi pemimpin sehingga ia mempunyai daya tahan untuk menghadapi berbagai rintangan. 2) Stabilitas emosi. Pemimpin dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian lingkungan sosial yang rukun, damai, dan harmonis. 3) pengetahuan tentang relasi insane. Pemimpin memiliki pengetahuan tentang sifat, watak, dan perilaku bawahan agar bisa menilai kelebihan/kelemahan bawahan sesuai dengan tugas yang diberikan. 4) kejujuran. Pemimpin yang baik harus mempunyai kejujuran yang tinggi baik kepada diri sendiri maupun kepada bawahan. 5) obyektif. Pemimpin harus obyektif, mencari bukti-bukti yang nyata dan sebab musabab dari suatu kejadian dan memberikan alasan yang rasional atas penolakannya. 6) dorongan pribadi
Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin harus muncul dari dalam hati agar ikhlas memberikan pelayanan dan pengabdian kepada kepentingan umum. 7) keterampilan berkomunikasi. Pemimpin diharapkan mahir menulis dan berbicara, mudah menangkap maksud orang lain, mahir mengintegrasikan berbagai opini serta aliran yang berbeda-beda untuk mencapai kerukunan dan keseimbangan. 8) kemampuan mengajar. Pemimpin diharapkan juga menjadi guru yang baik, yang membawa orang belajar pada sasaran-sasaran tertentu untuk menambah pengetahuan, keterampilan agar bawahannya bisa mandiri, mau memberikan loyalitas dan partisipasinya. 9) Keterampilan social. Dia bersikap ramah, terbuka, mau menghargai pendapat orang lain, sehingga ia bisa memupuk kerjasama yang baik. 10) kecakapan teknis atau kecakapan manajerial (Kartono, 1992:25).
Penguasaan kecakapan teknis agar tercapai efektifitas kerja dan kesejahteraan.
Berdasarkan teori-teori tentang kesifatan atau sifat-sifat pemimpin diatas, dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat kepemimpinan kepala sekolah adalah : 1) kemampuan sebagai pengawas (supervisory ability) 2) kecerdasan. 3) Inisiatif. 4) energi jasmaniah dan mental. 5) kesadaran akan tujuan dan arah. 6) stabilitas emosi. 7) obyektif. 8) ketegasan dalam mengambil keputusan. 9) keterampilan berkomunikasi. 10) keterampilan mengajar. 11) keterampilan social. 12) pengetahuan tentang relasi insan.
Agar proses pengembangan para personalia pendidikan berjalan dengan baik, antara lain dibutuhkan kepemimpinan yang efektif. Ialah suatu kepemimpinan yang menghargai usaha para bawahan, yang memperlakukan mereka sesuai dengan bakat, kemampuan, dan minat masing-masing individu, yang memberi dorongan untuk berkembang dan mengarahkan diri ke arah tercapainya tujuan lembaga pendidikan.
Kepemimpinan yang efektif selalu memanfaatkan kerja sama dengan bawahan untuk mencapai cita-cita organisasi. Dengan cara seperti itu pemimpin akan banyak mendapat bantuan pikiran, semangat, dan tenaga dari bawahan yang akan menimbulkan semangat bersama dan rasa persatuan, sehingga akan memudahkan proses pendelegasian dan pemecahan masalah yang semuanya memajukan perencanaan pendidikan.

KETERAMPILAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH

oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)

Menurut Burhanudin (1990:530) mengatakan bahwa keterampilan sepadan dengan kata kecakapan, dan kepandaian yang disebut dengan skill. Sedangkan, manajerial merupakan kata sifat yang berhubungan dengan kepemimpinan dan pengelolaan. Dalam banyak kepustakaan, kata manajerial sering disebut sebagai asal kata dari management yang berarti melatih kuda atau secara harfiah diartikan sebagai to handle yang berarti mengurus, menangani, atau mengendalikan. Sedangkan, management merupakan kata benda yang dapat berarti pengelolaan, tata pimpinan atau ketatalaksanaan. Pada prinsipnya pengertian manajemen mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut: (1) ada tujuan yang ingin dicapai; (2) sebagai perpaduan ilmu dan seni; (3) merupakan proses yang sistematis, terkoordinasi, koperatif, dan terintegrasi dalam memanfaatkan unsur-unsurnya; (4) ada dua orang atau lebih yang bekerjasama dalam suatu organisasi; (5) didasarkan pada pembagian kerja, tugas dan tanggung jawab; (6) mencakup beberapa fungsi; (7) merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Manajemen merupakan suatu proses pengelolaan sumber daya yang ada mempunyai empat fungsi yaitu perencanaan, peng-organisasian, penggerakan, dan pengawasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Terry bahwa bahwa fungsi manajemen mencakup kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan yang dilakukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Tugas dan tanggung jawab kepala sekolah adalah merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi seluruh kegiatan sekolah, yang meliputi bidang proses belajar mengajar, administrasi kantor, administrasi siswa, administrasi pegawai, administrasi perlengkapan, administrasi keuangan, administrasi perpustakaan, dan administrasi hubungan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam rangka mencapai tujuan organisasional, kepala sekolah pada dasarnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan terhadap seluruh sumber daya yang ada dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah (Soetopo,1984: 14).
Perencanaan (Planning), merupakan keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Di dalam perencanaan ini dirumuskan dan ditetapkan seluruh aktivitas lembaga yang menyangkut apa yang harus dikerjakan, mengapa dikerjakan, di mana dikerjakan, kapan akan dikerjakan, siapa yang mengerjakan dan bagaimana hal tersebut dikerjakan. Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan dapat meliputi penetapan tujuan, penegakan strategi, dan pengembangan rencanauntuk mengkoordinasikan kegiatan. Kepala sekolah sebagai top manajemen di lembaga pendidikan Sekolah mempunyai tugas untuk membuat perencanaan, baik dalam bidang program pembelajaran dan kurikulum, kepegawaian, kesiswaan, keuangan maupun perlengkapan.
Pengorganisasian (organizing), menurut Terry bahwa pembagian pekerjaan yang direncanakan untuk diselesaikan oleh anggota kelompok pekerjaan, penentuan hubungan-hubungan pekerjaan di antara mereka dan pemberian lingkungan pekerjaan yang sepatutnya. Pengorganisasian merupakan salah satu fungsi manajemen yang perlu mendapatkan perhatian dari kepala sekolah. Fungsi ini perlu dilakukan untuk mewujudkan struktur organisasi sekolah, uraian tugas tiap bidang, wewenang dan tanggung jawab menjadi lebih jelas, dan penentuan sumber daya manusia dan materil yang diperlukan. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Robbins (2003:5), bahwa kegiatan yang dilakukan dalam pengorganisasian dapat mencakup (1) menetapkan tugas yang harus dikerjakan; (2) siapa yang mengerjakan; (3) bagaimana tugas itu dikelompokkan; (4) siapa melapor ke siapa; (5) di mana keputusan itu harus diambil (Thoha, 2004:15).
Penggerakan (actuating), adalah aktivitas untuk memberikan dorongan, pengarahan, dan pengaruh terhadap semua anggota kelompok agar mau bekerja secara sadar dan suka rela dalam rangka mencapai suatu tujuan yang ditetapkan sesuai dengan perencanaan dan pola organisasi. Masalah penggerakan ini pada dasarnya berkaitan erat dengan unsur manusia sehingga keberhasilannya juga ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah dalam berhubungan dengan para guru dan karyawannya. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan kepala sekolah dalam berkomunikasi, daya kreasi serta inisiatif yang tinggi dan mampu mendorong semangat dari para guru/ karyawannya. Untuk dapat menggerakan guru atau anggotanya agar mempunyai semangat dan gairah kerja yang tinggi, maka perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut: a). Memperlakukan para pegawai dengan sebaik-baiknya; b). Mendorong pertumbuhan dan pengem-bangan bakat dan kemampuan para pegawai tanpa menekan daya kreasinya; c). Menanamkan semangat para pegawai agar mau terus berusaha meningkatkan bakat dan kemampuannya; d). Menghargai setiap karya yang baik dan sempurna yang dihasilkan para pegawai; e). Menguasahan adanya keadilan dan bersikap bijaksana kepada setiap pegawai tanpa pilih kasih.; f). Memberikan kesempatan yang tepat bagi pengembangan pegawainya, baik kesempatan belajar maupun biaya yang cukup untuk tujuan tersebut; g). Memberikan motivasi untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki para pegawai melalui ide, gagasan dan hasil karyanya.
Pengawasan (controlling), dapat diartikan sebagai salah satu kegiatan untuk mengetahui realisasi perilaku personel dalam organisasi pendidikan dan apakah tingkat pencapaian tujuan pendidikan sesuai dengan yang dikehendaki, kemudian apakah perlu diadakan perbaikan.. Pengawasan dilakukan untuk mengumpulkan data tentang penyelenggaraan kerja sama antara guru, kepala sekolah, konselor, supervisor, dan petugas madrasah lainnya dalam institusi satuan pendidikan.
Pada dasarnya ada tiga langkah yang perlu ditempuh dalam melaksanakan pengawasan, yaitu (1) menetapkan alat ukur atau standar, (2) mengadakan penilaian atau evaluasi, dan (3) mengadakan tindakan perbaikan atau koreksi dan tindak lanjut. Oleh sebab itu, kegiatan pengawasan itu dimaksudkan untuk mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan pekerjaan, menilai proses dan hasil kegiatan dan sekaligus melakukan tindakan perbaikan.
Menurut Wahjosumidjo (2002:4) mengemukakan bahwa deskripsi tugas dan tanggung kepala sekolah dapat dilihat dari dua fungsi, yaitu kepala sekolah sebagai administrator dan sebagai supervisor. Kepala sekolah sebagai administrator di sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab atas seluruh proses manajerial yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan terhadap seluruh bidang garapan yang menjadi tanggung jawab sekolah . Bidang garapan manajemen tersebut dapat meliputi bidang personalia, siswa, tata usaha, kurikulum, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan masyarakat serta unit penunjang lainnya.
Sedangkan, kepala sekolah sebagai supervisor berkaitan dengan kegiatan–kegiatan pelayanan terhadap peningkatan kemampuan profesionalisme guru dalam rangka mencapai proses pembelajaran yang berkualitas. Untuk dapat melakukan tugas dan tanggung jawab tersebut, kepala sekolah perlu memiliki berbagai kemampuan yang diperlukan. Menurut Katz bahwa kemampuan manajerial itu meliputi technical skill (kemampuan teknik), human skill (kemampuan hubungan kemanusiaan), dan conceptual skill (kemampuan konseptual). Kemampuan teknik adalah kemampuan yang berhubungan erat dengan penggunaan alat-alat, prosedur, metode dan teknik dalam suatu aktivitas manajemen secara benar (working with things). Sedangkan, kemampuan hubungan kemanusiaan merupakan kemampuan untuk menciptakan dan membina hubungan baik, memahami dan mendorong orang lain sehingga mereka bekerja secara suka rela, tiada paksaan dan lebih produktif (working with people). Kemampuan konseptual adalah kemampuan mental untuk mengkoordinasikan, dan memadukan semua kepentingan serta kegiatan organisasi. Dengan kata lain, kemampuan konseptual ini terkait dengan kemampuan untuk membuat konsep (working with ideas) tentang berbagai hal dalam lembaga yang dipimpinnya (Wahjosumidjo (2002:14)
Seiring dengan perubahan paradigma desentralisasi pendidikan dan otonomisasi sekolah/madrasah dengan diberlakukannya suatu model manajemen school based management, maka kepala sekolah sebagai top manajemen di sekolah mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis. Bahkan menurut hasil studi dari Lipham disebutkan bahwa keberhasilan suatu sekolah (madrasah) sangat ditentukan oleh kemampuan kepala madrasah/sekolah dalam mengelola dan memimpin lembaganya.
Dalam kaitannya dengan pengem-bangan personalia di madrasah, menurut Wiles bahwa ada sejumlah keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan yaitu keterampilan dalam memimpin, menjalin hubungan kerja dengan sesama, menguasai kelompok, mengelola administrasi personalia, dan keterampilan dalam penilaian. Selain itu, seorang kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya hendaknya mempunyai tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan pesonal, kecerdasan profesional, dan kecerdasan manajerial. Kecerdasan personal adalah kemampuan, skil dan keterampilan untuk melakukan hubungan sosial dalam konteks tata hubungan profesional maupun sosial. Sedangkan, kecerdasan professional merupakan kecerdasan yang diperoleh melalui pendidikan yang berupa keahlian tertentu di bidangnya. Adapun kecerdasan manajerial adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan kerja sama dengan mengerjakan sesuatu melalui orang lain, baik kemampuan mencipta, membuat perencanaan, pengorganisasian, komunikasi, memberikan motivasi, maupun melakukan evaluasi (Sahertian,2000:18).

Senin, 05 April 2010

KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PEMIMPIN

Oleh : Subagio
Dalam mempelajari manajemen modern yang akan mendukung pelaksanaan tugas dan tanggungjawab perlu dipahami berbagai faktor yang mendasari kegiatan manusia dalam organisasi.
Menurut Drs. B. Suryo Subroto ( 2004 ) yang dimaksud organisasi adalah suatu bangunan lembaga yang merupakan hasil proses pembagian dan penyatuan usaha yang ditunjuka kearah tercapai suatu tujuan, sedangkan manajemen adalah penggunaan efektif sumber-sumber tenaga manusia dan bukan manusia serta bahan-bahan materiil lainnya dalam ranka mencapai tujuan yang telah ditentukan itu.
Dalam bidang pendidikan formal di sekolah yang dimaksud organisasi tidak lain adalah lembaga pendidikan yang berupa “sekolah” itu sendiri, kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan harus memahami pula langkah-langkah pokok organisasi dan manajemen, yaitu : tugas-tugas pokok atau kegiatan-kegiatan pokok yang harus dijalankan oleh setiap orang yang mempunyai tanggung jawab untuk memimpin organisasi atau bagian organisasi, sebagai bahan perbandingan perlu dikemukakan konsepsi-konsepsi yang dirumuskan oleh para ahli manajemen
1. Henry Fayol mengemukakan bahwa tugas-tugas pokok pimpinan itu setelah diterjemahkan terdiri atas : merencanakan ( to Plan ), mengorganisasikan ( to Organize ), menggerakan ( to Command ), mengkoordinasikan ( to Coordinate ), pengendalian ( to Control ).
2. Luther M. Gulik, mengemukakan konsepnya dalam POSDICORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgetting ).
3. George Terry: POAC ( Planning, Organizing, Actuiting, Controling ).
Manajemen Pendidikan merupakan proses pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.Proses pengendalian kegiatan kelompok tersebut mencangkup perencanaan ( Planning ), pengorganisasian ( Organizing), penggerakan ( Actuiting ), dan pengawasan ( Controling ) sebagai suatu proses untuk menjadika visi menjadi aksi.
Para ahli mengungkapkan manajemen pendidikan berdasarkan sudut pandang dan fokus yang berbeda sesuai konsep teoritis yang melandasinya . Knezhevich ( 1984 : 4 ) menyamakan artii manajemen pendidikan dengan administrasi pendidikan. Engkoswara ( 2001 : 2 ) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan dalam arti seluas-luasnya adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta didalam mencapai tujuan yang disepakati bersama.
Proses manajemen pendidikan memerlukan berbagai pendekatan untuk mencapai tujuan, diantaranya adalah pendekatan sistem dan pendekatan terpadu. Pendekatan sistem mempelajarii manajemen dari sudut sistem,sub sistem dan komponen sistem dengan penekanan pada interaksi antara komponen didalamnya. Sedangkan pendekatan manajemen terpadu dilandasi oleh norma dan keadan yang berlaku, menelaah ke masa silam, serta berorientasi ke masa depan secara cermat.
Manajemen pendidikan merupakan suatu sistem pengelolaan dan penataan sumber daya pendidikan, seperti tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat, kurikulum, dana ( keuangan) sarana dan prasarana pendidikan, tata laksana dan lingkungan pendidikan.
Paradigma baru manajemen pendidikan harus sejalan dengan semangat Undang-Undang tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Undang-Undang Sisdiknas), Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ( UUPD ) , Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, dan PP no. 25 tahun 2000 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu bersifat utuh mulai dari perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Perubahan Sistem Pendidikan Nasional dari Undang-undang nomor 2 tahun 1989 menjadi Undang-undang nomor 20 tahun 2003, merupakan upaya pembaruan pendidikan ke arah peningkatan mutu. Upaya peningkatan mutu pendidikan beralih menjadi tanggung jawab sekolah dengan pola Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Didalam MBS juga tersirat bahwa sekolah mendapat tugas untuk meningkatkan mutu pendidikan, oleh karena itu pelaksanaan MBS harus menggunakan pendekatan manajemen kualitas total ( total quality management ) sehingga MBS berubah menjadi MPMBS ( Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ) Didalam pelaksanaannya MPMBS akan menggunakan prinsip-prinsip manajemen jaminan mutu ( total quality assurance ) dan perencanaan stratejik ( strategic planning ), sehingga setiap sekolah akan berlomba dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan. Sejalan dengan dimulainya otonomi daerah di kota dan kabupaten, maka pemerintah memberikan otonomi pendidikan ke sekolah dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, melalui undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51 butir 1 yaitu : Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah “
Model SBM ( School Based Management ) atau Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia muncul akibat perubahan politik dan krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis sosial politik yang berdampak pada perubahan dalam manajemen pendidikan. SBM bertujuan memberdayakan sekolah dengan memberikan kewenangan ( deligation of authority ) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan ( quality continous improvement ). SBM sebagai hasil perubahan politik bertujuan pula mendesain pengelolaan sekolah dengan merubah sistem pengambilan keputusan yang semula menjadi wewenang pusat dipindahkan otonominya ke tingkat sekolah.
Sekolah merupakan suatu institusi penyelenggaraan pendidikan, tujuannya adalah tercapainya proses dan output ( keluaran ) yang dihasilkan bertumpu pada nilai-nilai dan transformasi kependidikan. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya diperlukan suatu kondisi yang bernuansa kependidikan, termasuk dalam pengelolaan.
Pengelolaan sekolah sangat kompleks dan khas, kompleks berkaitan dengan keterlibatan personal maupun kelompok baik secara internal maupun eksternal. Adapun khas, yakni tujuan yang ingin dicapai berkenaan dengan tuntutan kebutuhan terhadap pendidikan. Dengan demikian diperlukan manajerial sekolah yang dinamis selaras dengan perkembangan tuntutan masyarakat secara umum. Salah satu komponen strategis dalam manajemen sekolah adalah kepala sekolah. Dalam struktur organisasi sekolah negeri, kepala sekolah merupakan jabatan formal. Dalam rangka mencapai tujuan sekolah, maka kepala sekolah harus memenuhi kriteria kepemimpinan kependidikan.
Menghadapi kompleksitas pada jalur sekolah, diperlukan personal yang mempunyai kemampuan untuk meninimalkan kompleksitas masalah. Salah satu komponen personal yang menjadi tumpuan sekolah adalah kepala sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan, (a) memandang bahwa sumber daya yang ada guna menyediakan dorongan memadai bagi guru-guru, (b) mencurahkan banyak waktu untuk pengolahan dan koordinasi proses belajar mengajar, dan (c) berkomunikasi secara teratur dengan staf, orang tua, siswa dan anggota masyarakat di sekitarnya.
Pengelolaan sekolah pada dasarnya, proses manajemen yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan berkesinambungan. Secara umum proses tersebut, berkenaan dengan pembangunan sekolah, keuangan sekolah, personal sekolah, fasilitas dan proses belajar mengajar. Keseluruhan aspek itu, hakikatnya sangat ditentukan oleh karakteristik kemampuan kepemimpinan, komunikasi internal dan eksternal dalam mencapai tujuan sekolah.
Kepemimpinan kepala merupakan inti dari manajemen sekolah, memang demikianlah halnya menurut Siagian, Sondang P, ( 2003:6 )karena kepemimpinan merupakan motor penggerak dari semua sumber-sumber dan alat-alat ( resources ) yang tersedia bagi suatu organisasi. Resources ini digolongkan kepada dua golongan besar yakni : (1) human resources; (2) non human resources. Tugas dasar pemimpin adalah membentuk dan memelihara lingkungan dimana mausia bekerja sama dalam suatu kelompok yang terorganisir dengan baik, menyelesaikan tugas mencapai tujuan yang telah ditetapkan *****