Jumat, 03 Mei 2013

KETAHANMALANGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH (1)


Oleh : Subagio,M.Pd.

                Sekolah merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan proses belajar mengajar mempunyai fungsi dan tujuan sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 3, tentang sistem pendidikan nasional yaitu, “mengembangkan  kemampuan  dan  membentuk   watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,   bertujuan untuk mengembangkan  potensi peserta didik agar  menjadi  manusia beriman  dan  bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,  kreatif,  mandiri,   dan  menjadi  warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”  Makna yang terkandung dalam  fungsi  dan tujuan pendidikan di atas adalah untuk menciptakan sumberdaya manusia berkualitas yang memiliki pengetahuan tentang manajemen sekolah, berbudaya organisasi, dan memiliki ketahanmalangan dalam menghadapi hambatan, permasalah, dan kesulitan yang merupakan tantangan dalam pelaksanaan tugas. Melalui pendidikan, sikap dan keterampilan manusia dapat dikembangkan, wawasan berpikir   manusia   menjadi semakin terbuka.
    
                 Di bawah kepemimpinan  seorang   kepala   sekolah   yang   profesional, dapat mengembangkan diri peserta didik sesuai  dengan potensinya, sehingga akan meningkatnya pendidikan di  sekolah yang ia pimpin. Tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai pejabat formal, karena ditunjuk dan   diangkat   melalui   proses yang didasari atas kriteria-kriteria tertentu yang menjadi bahan pertimbangan untuk   pengangkatannya. Dari sisi  lain  kepala  sekolah berperan sebagai manajer, sebagai pemimpin, sebagai   pendidik, dan tak  kalah  pentingnya berperan sebagai staf. Berperan sebagai manajer adalah memimpin dan mengendalikan guru dan pegawai   serta   pendayagunaan   seluruh   sumberdaya    yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mengendalikan sekolah yang dipimpinannya, kepala sekolah perlu memiliki pengetahuan manajemen yaitu mampu merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan sekolah serta mendayagunakan semua potensi yang ada di sekolah tersebut.
                Sebagai  seorang  pemimpin  harus  mampu  memberikan  bimbingan, menuntun, mengarahkan, dan mendorong timbulnya kemauan yang penuh semangat, percaya diri kepada para guru, staf, dan siswa dalam melaksanakan tugas serta memberikan inspirasi dalam mencapai  tujuan.  Sedangkan tugas yang tak kalah pentingnya adalah sebagai pendidik, karena dalam Kepmendiknas No. 143/MPK/1990 dan Surat Keputusan Mendiknas No. 162/U/2003 dan ketentuan yang terbaru dengan Peraturan Mendiknas No. 13 tahun 2007 bahwa Kepala Sekolah adalah guru yang diberi tugas jabatan sebagai kepala sekolah dengan lama masa jabatan empat tahun untuk mengendalikan sekolah tersebut. Sebagai guru, ia berkewajiban melaksanakan tatap muka di kelas selama enam jam perminggu. Kepala sekolah sebagai staf, bahwa ia sebagai pejabat formal yang pengangkatan, pembinaan, dan   tanggungjawabnya terikat oleh serangkaian ketentuan dan prosedur. Ia  bertugas dan bertanggungjawab kepada atasannya.

                Kepala Sekolah sebagai pemimpin di sekolah seyogyanya  memiliki karakter atau ciri khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, dan kemampuan yang profesional,  memiliki pengetahuan tentang administrasi sekolah dan  memiliki   kompetensi   penyelia   sekolah.   Apabila   tahapan danpersyaratanpengangkatan kepala sekolah tidak dilaksanakan sebagaimana diharapkan maka akan terjadi gap atau kesenjangan dalam pelaksanaan tugas kepala sekolah. Akibat secara umum  belum   tercapainya  sosok  yang  berkarakter  dan  profesional.

                Tiga unsur pokok kepemimpinan dapat dikategorikan yaitu: a) kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relation concept);  b) kepemimpinan merupakan suatu proses; c)   kepemimpinan itu harus  membujuk  (inducing) orang   lain untuk mengambil tindakan. Batasan tersebut memberikan tiga kesamaan penting yaitu: a) kepemimpinan harus melibatkan orang lain; b) kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama antara pemimpin dan anggota kelompok; c) kemampuan untuk memengaruhi   bawahan   dengan   berbagai cara.   Jadi  kepemimpinan itu adalah proses  memengaruhi dan dipengaruhi antara yang memimpin dan dipimpin untuk mencapai suatu tujuan.
                Untuk memengaruhi orang lain seorang pemimpin harus memiliki kompetensi atau   kemampuan   dasar  tentang kepemimpinan. Seperti dikemukakan Griffin, ada tiga kompetensi  yang   harus   dimiliki   seorang   pemimpin  yaitu:   (1)   kemampuan mendiagnosis,   artinya   kemampuan   dari   kognitif yang dapat memahami situasi dan kondisi pada saat sekarang dan masa akan datang; (2) kemampuan mengadaptasi, artinya kemampuan seorang pemimpin menyesuaikan perilakunya dengan lingkungannya; dan (3) kemampuan mengkomunikasikan, adalah kemampuan seorang pemimpin menyampaikan pesan-pesan yang diterima dan pesan itu perlu dikomunikasikan dengan bawahan atau pengikutnya.
                Di samping itu, seorang pemimpin harus memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan anggota yang lain. Seperti dikemukakan Stogdill bahwa, pimpinan itu harus memiliki beberapa kelebihan: a) memiliki kapasitas yaitu kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara, kemampuan menilai, dan keaslian; b) memiliki prestasi (achivement) yaitu memiliki gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, perolehan   dalam   kegiatan-kegiatan   yang   unggul;   c)   memiliki tanggungjawab   yaitu   mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif,   dan  mempunyai   keinginan   untuk   keunggulan;   d)memiliki partisipasi, yaitu aktif, sosiobilitas tinggi, mampu bergaul, kooperatif,  mudah   menyesuaikan   diri,   memiliki   rasa   humor; e)   memiliki   status   meliputi   kedudukan   sosial   ekonomi   yang cukup, populer, dan tenar. Kelebihan-kelebihan tersebut dapat menimbulkan wibawa dan dipatuhi oleh pengikutnya. Tetapi tidak   semua   pemimpin   memiliki   keunggulan   yang   komplit, sudah pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Lagi pula yang  ditonjolkan beberapa kelebihan di atas, menampilkan sifat-sifat   pribadi seseorang saja.
                Aktivitas memimpin pada hakikatnya meliputi suatu hubungan antara seseorang dalam memengaruhi orang lain agar mereka mau bekerja ke arah pencapaian sasaran atau tujuan. Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin merupakan hubungan interaksi, dan pemimpin harus memengaruhi kelompoknya. Seorang pemimpin bukanlah cara memaksa (concoersive) untuk menarik pengikutnya      hingga mencapai prestasi, tetapi harus membujuk (inducing) orang-orang lain untuk mengambil  langkah  menuju   sasaran bersama.        
                Pemimpin di samping harus mengenali sifat-sifat individual para pengikutnya, juga harus mengetahui kualitas-kualitas apa yang akan merangsang mereka untuk bekerja dengan baik. Oleh      sebab itu pengaruh mempunyai arti penting dalam setiap usaha memimpin. Dengan demikian   kepemimpinan memengaruhi perfoma organisasi dengan para pengikutnya. Adapun cara untuk      memengaruhi   kelakuan   yaitu  menggunakan   alat-alat   untuk memengaruhi (influencer) kelakuan dan pihak yang dipengaruhi  (infuence)

                Kekuatan pemimpin dalam mempengaruhi bawahan timbul dari organisasi   yaitu   kekuatan   koersif (coursive power), penghargaan (reward power), kekuatan karena adanya pengesahan (legitimate power), dan faktor individual pemimpin yaitu kekuatan individu memiliki keahlian  (expert power) dan memiliki identitas yang dikagumi dan dihargai (referent fower). Kekuasaan (power) merupakan kemampuan untuk memengaruhi kelakuan yang dimiliki seseorang dalam situasi tertentu. Makin  besar    kekuasaan  seseorang  pemimpin, makin besar pula pengaruhnya. Otoritas (authority),yaitu kemampuan untuk memengaruhi kelakuan yang mendasari seluruh spectrum pengaruh. Dalam proses   memengaruhi   berusaha mengubah   sikap, perilaku, nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan, pikiran,  dan   tujuan  terhadap   orang-orang   yang   dipengaruhi   secara   sistematis.        
Memengaruhi dilakukan melalui proses komunikasi antara pemimpin dan pengikut. Agar berhasilnya proses memengaruhi seorang pemimpin harus memiliki: a) kredibilitas  dan  b) keterampilan negosiasi.  Kredibilitas adalah kualitas yang dimiliki seseorang yaitu kompeten, dipercaya atau jujur, kesamaan antara perbuatan dan perkataan, dan dinamis. Keterampilan bernegosiasi yaitu timbal balik antara pemimpin dan pengikut yang sering dalam waktu lama, dalam situasi berbeda, dan pendapat yang berbeda, atau konflik dalam mencapai kesepakatan. Munculnya konflik  disebabkan  faktor:  a)  sumberdaya  yang  langka,  b)batas tanggungjawab tidak jelas, c) gangguan komunikasi, d)bentrok keperibadian, c) perbedaan kekuasaan dan status, e)perbedaan tujuan. Konflik karena sistem sosial yang dipimpin oleh pemimpin, mereka menolak pemimpin dan membentuk kelompok sosial yang mempunyai tujuan, latar belakang budaya, pendidikan, kelas sosial yang berbeda. Hal ini terjadi jika norma-norma demokrasi tidak diterapkan. Konflik tersebut berkembang dan mengganggu proses kepemimpian karena: a) mengalihkan penggunaan sumber-sumberdaya, tenaga, pikiran, waktu, dan memperlemah produksi, b) mempersulit pemimpin menciptakan sinerji, c) memperlemah dayatahan kompetesi organiasi.
Dalam suatu perubahan terdapat tantangan yang akan mempersulit dalam pelaksanaan   memimpin. Disini seorang pemimpin harus memiliki ketahanmalangan dalam menghadapi konflik  internal organisasi. Konflik perlu ditangani dengan menggunakan cara: a) berkompetisi,  b)   menghindar,   c) berkompromi, d) mengakomodasi, e) berkolaborasi. Faktor-faktor yang memengaruhi sasaran agar tercapainya suatu keberhasilan, seorang pemimpin harus memiliki: a) pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang tinggi; b) memercayai kapasitas pemimpin; dan c) data dan informasi yang   digunakan  harus  akurat.

KETAHANMALANGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH (2)

Pengertian Ketahanmalangan (Adversity Quotient) Menurut Stoltz, ketahanmalangan merupakan terjemahan dari Adversity Quotient (AQ) adalah bagaimana seseorang merasa mampu menghadapi tantangan dengan kondisi-kondisi lain. Berarti ketahanmalangan adalah bagaimana seseorang memiliki dayatahan tinggi, atau tahan banting untuk menghadapi kesulitan, hambatan, tidak akan mengulangi kesalahan, dan akan menerima tanggung jawab untuk berbagai masalah. Dengan kata lain bahwa orang yang mempunyai kemampuan kontrol perasaan, terampil menyelesaikan berbagai masalah yang dibatasi oleh waktu dan tempat akan dilewati cepat dan efektif. Jadi ketahanmalangan (adversity quotient) sebagai ukuran tentang bagaimana seseorang memersepsikan tantangan-tantangan,dan seberapa tahan mereka menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Menurut Nelson, ketahanmalangan menggambarkan suatu ketahanan fisik, mental, spritual untuk mengatasi perubahan yang cepat. Juga merupakan ukuran dari kemauan seseorang untuk menguasai kemalangan, mereka dapat menguasai kemalangan dengan baik akan menjadi pemimpin sekarang dan masa depan. Selanjutnya Stoltz menyebutkan, situasi yang sulit tidak menciptakan halangan-halangan yang tidak dapat di atasi. Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan peluang, dan setiap peluang harus diterima. Perubahan merupakan bagian dari suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Ketika berhadapan dengan tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas-batas kemampuan mereka benar-benar teruji. Seperti dikemukakan Taylor, masalah yang tidak bisa diselesaikan tidak lebih dari ketidakmampuan seseorang mencari kemungkinan jalan keluar yang positif, yang bisa diraih dengan memfokuskan perhatian terhadap pemecahan masalah. Dengan kata lain masalah muncul karena ketidakmampuan seseorang menyadari adanya peluang. Masalah memiliki kemampuan untuk mengarahkan pikiran ke tahap instropeksi yang agung, dimana akan menerima inspirasi, kecerdasan, dan nilai-nilai personal. Tetapi ada juga masalah suatu yang menakutkan, dinding kegagalan yang tidak bisa ditebus, kekurangan dan kekalahan. Keyakinan dan keinginan akan menentukan jalan yang diambil. Jika masalah telah terpecahkan maka akan timbul peluang sehingga akan mengalir bakat dan kecerdasan. Menurut Kelly, kondisi yang sulit akan memberikan tantangan kepada manusia untuk membuat kehidupannya menjadi bahagia dan mereka harus menerima tanggungjawab untuk membuat pilihan-pilihan dan mengarahkan nasib mereka sendiri. Orang yang melepaskan diri dari tanggungjawab adalah sikap yang tidak jujur, di mana menunjukkan keyakinan yang buruk dan akhirnya akan hidup dalam kesengsaraan. Selanjutnya Papper dalam Stolz, adversity quotient merupakan ukuran dan sekaligus falsafah, karena adversity quotient menyatukan berbagai disiplin ilmu untuk riset psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi, yang meneliti untuk memberikan gambaran tentang bagaimana cara mendekati kesulitan. Sedangkan sebagai falsafah menyajikan sebuah cara untuk membingkai kembali kehidupan kita. Adversity Quotient merupakan logika untuk bergerak maju, menjadikan diri kita lebih tabah, gigih, memiliki pengendalian diri, dan memegang kendali ke mana kita akan pergi. Menurut Bryant, kesulitan (adversity) adalah segala rintangan baik fisik, emosional, situasional atau spritual yang dapat menghambat sepanjang perjalanan hidup, sebagai contoh: apabila seorang sedang menghadapi kesulitan hidup, misalnya sakit, patah hati atau amarah yang sulit dikontrol maka dia tidak boleh melarikan diri dari kenyataan tersebut. Kesulitan tidak dapat ditinggalkan hanya karena ingin lari, bagaimanapun juga sakitnya akibat dari kesulitan harus dihadapi. Seseorang dapat tumbuh dari kesulitan, belajar dari kesulitan dan bukan hanya sekedar jalan menembus kegelapan, tapi harus juga semakin kuat menghadapinya. Terus ingat bahwa kesulitan-kesulitan yang tidak bisa dihadapi dengan tabah bisa membuat seseorang menjadi lumpuh . Prinsip-Prinsip Ketahanmalangan Selanjutnya Kenney dalam Stolz menyebutkan bahwa prinsip ketahanmalangan adalah kemampuan seseorang untuk mengalahkan kesulitan menjadi peluang. Adversity Quotient merupakan suatu kajian yang mengambil manfaat dari tiga cabang ilmu pengetahunan yakni: psikologi kognitif, psikoneuromunologi, danneurofisiologi. Dengan mendasari ilmu pengetahuan tersebut adversity qoutient akan mampu untuk memberikan pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk menggapai kesuksesan yakni antara lain: a. Adversity Quotient memberi tahu sebarapa jauh mampu ketahanan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya. b. Adversity Quotient meramalkan siapa yang mampu mengatas kesulitan, dan siapa yang akan hancur. c. Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka, atau siapa yang akan gagal. d. Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan meyerah dan siapa yang akan bertahan. Sebenarnya Adversity Quotient adalah pengetahuan daya tahan seseorang yang biasa disebut ketahanmalangan, artinya bila orang tersebut gigih berarti dia mempunyai kemampuan secara pasti untuk mengatasi kesulitan,mengambil resiko dan siap menerima kegagalan. Secara konsisten kemampuan tersebut akan meningkat, berusaha, memecahkan setiap masalah sering dengan kegigihan dia akan menjadi lebih terampil dan mampu memberdayakan diri untuk mengatasi kemalangan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari timbul pertanyaan, mengapa orang mampu bertahan sementara ia mengalami kegagalan atau mengundurkan diri. Itulah sebabnya Stoltz, membagi tiga bentuk ketahanmalangan, yakni: 1. Adversity Quoetient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk untuk memahami dalam meningkatkan semua segi kesuksesan. 2. Adversity Quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon kita terhadap suatu kesulitan. 3. Adversity Quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar-dasar ilmiah untuk memperbaiki respon kita terhadap kesulitan yang akan berakibat memperbaiki efektivitas pribadi suatu profesional kita secara keseluruhan. Adversity Quotient menjelaskan dan mengukur kecenderungan seseorang untuk mendaki, berkemah dan mengajarkan kepada seseorang keterampilan-keterampian untuk mendaki. Stoltz menggolongkan tiga bentuk untuk memperesentasikan adversity quotient yakni golongan quitters mereka yang berhenti, golongan camprers adalah golongan yang berkemah, dan golongan climbers adalah golongan pendaki. Ketiga golongan tersebut adalah mengelompokkan orang-orang yang akan sukses, orang-orang yang gagal, ataupun orang-orang yang bertahan pada permukaan yang rata tanpa kehidupan yang fluktuatif. Golongan quitters adalah orang-orang menghentikan pendakian, mereka tidak ingin mendaki gunung lebih tinggi dan menolak kesempatan untuk mendaki gunung. Mereka mengabaikan, dan menutupi atau bahkan meninggalkan dorongan diri yang manusiawi untuk mendaki dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Golongan campers adalah golongan orang-orang yang tidak pergi jauh, kemudian berkata,” hanya sampai disini saja saya mau mendaki. Saya tidak mungkin akan lebih tinggi lagi, karena bosan, mereka mengakhiri pendakian dan mencapai tempat datar yang lebih nyaman, sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Sisi tipe ini adalah paling tidak dia telah menyambut apa yang ditawarkan gunung dan mempunyai keinginan untuk menaklukkannya, namun itu belum cukup untuk bisa menancapkan tiang bendera di puncak gunung. Pendakian mereka bisa saja mudah atau lebih banyak mengorbankan apa yang dipunyai dan juga bekerja rajin untuk sampai pada titik dimana saat ini mereka berhenti. Orang yang bertipe campers kemungkinan akan merasa dirinya sukses, karena mereka tidak melihat kemungkinan akan merasa dirinya sukses, karena mereka tidak melihat keuntungan yang signifikan apabila mereka meneruskan perjalanan yang tinggal sejenak. Mereka menganggap bahwa kesuksesan meraka adalah apa yang telah dicapai saat ini. Tentu saja ini merupakan pandangan yang keliru, karena mereka beranggapan bahwa perjalanan yang dicapai sebagai titik penilaian. Dengan demikian meskipun camprers telah berusaha mencapai tempat perkemahan, mereka tidak mungkin mempertahankan keberhasilan ini tanpa melanjutkan pendakian, karena yang dimaksud dengan pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang. Golongan ketiga yaitu type pendaki atau climbers, adalah mereka yang seumur hidup memberikan dedikasi tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan, dan kerugian, nasib baik atau buruk, dan ia terus mendaki. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisk atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya. Dalam dunia yang makin kompleks dan sulit, adversity quotient akan semakin lama semakin penting meningkatkan peranannya dalam kehidupan. Para manajer, wirausaha, guru, tenaga profesional lainnya, orangtua juga remaja semua mengalami tuntutan-tuntutan yang semakin besar. Adanya kesulitan yang serasa terus menerus menimpa dalam kehidupan mereka, akan mampu untuk memberikan tekanan yang pada akhirnya menimbulkan stress. Di dalam organisasi atau tempat kerja kesulitan juga terus menjadi topik sehari-hari. Orang merasa harus bergerak terus sehingga rasa aman karena mendapat gaji teratur, mempunyai pekerjaan jangka panjang, jaminan sosial dan uang pensiun telah lama hilang. Orang bisa saja mendapat surat pemberhentian dari Departement Human Resources karena perusahaan telah maju. Adapun yang bisa menjadi alasan bagi perusahaan untuk mengurangi pegawainya, rekayasa ulang, restrukrisasi, penyesuaian, penyusutan, revitalisasi, desentralisasi dan pernyataan-pernyataan sejenis telah menjadi momok bagi para pekerja. Akibatnya, segala hal dilakukan oleh pekerja untuk mempertahankan posisinya. Mereka meningkatkan pengetahuan, keterampilan-keterampilan yang sebelumnya tidak dimiliki. Hal ini dilakukan untuk tetap berada pada posisi yang tak tergusur oleh mereka yang lebih cekatan dan lebih muda. Lebih muda itu, penting karena mereka mempunyai energi yang lebih banyak. Banyak orang kemudian bersedia untuk bekerja dengan upah yang lebih rendah. Saat sekarang banyak perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lulusan-lulusan baru agar bisa menggaji dengan standar yang rendah. Sedangkan dari sisi pekerja, mereka tidak berkeberatan digaji rendah, karena didesak oleh makan. Mereka sudah ribuan kali melakukan antrian. Hampir semua perusahaan besar maupun kecil saat ini banyak menerima surat dalam sehari yang berisi lamaran pekerjaan. Dengan demikian persaingan yang semakin ketat. Demikian juga tentang guru tenaga pendidik masih banyak yang honor yang belum diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Selanjutnya dikatakan bahwa kesulitan, kesengsaraan atau kemalangan bukanlah alat untuk menuju kehidupan spritual, tetapi proses kehidupan spiritual yang akan menunjang untuk mempermudah mengatasi kemalangan menuju kebahagian abadi yang dijangkau dari ke dalaman jiwa manusia baik pria maupun wanita, sebagai akibat dari kemampuan pengendapan emosi dan kemampuan menata ulang lingkungannya, sehingga “Adversity” sering diartikan sebagai “kepribadian” yang kemudian dianggap sebagai alat efektif untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan meningkatkan diri melalui kemampuan menuju cara sukses untuk mengatasi kemalangan. Pengertian kesengsaraan atau kesulitan (adversity) menurut Hicks adalah perputaran kehidupan manusia yang akan selalu berulang, sehingga kesulitan merupakanpantulan cermin kehidupan keadaan yang buruk. Kondisi tersebut merupakan pengalaman yang dapat mendorong agar kehidupan berputar kembali menjadi lebih baik. Dalam perkembangan selanjutnya kesulitan dianggap sebagai prakiraan yang mengarah pada perbaikan nasib atau perbaikan keberuntungan. Seseorang cenderung untuk menghadapi kesulitan dengan melakukan berbagai cara, seperti melindungi diri sendiri atau hanya menunggu untuk perubahan nasib, sehingga sebagian besar orang mencoba untuk berupaya teguh kembali dari kesakitan akibat kesulitan tersebut. Ada berbagai cara untuk mengatasi kesulitan, di antaranya adalah mengontrol kehidupan diri. Melihat kelemahan diri agar tidak menjadi budak emosi yang akan mengakibatkan kehancuran. Meneliti penyebab utama kesulitan akibat kesulitan agar dapat lebih survive, atau dengan kata lain berhasil menemukan titik tolak yang berada dalam diri sendiri . Menurut Farber menjadi manusia seperti halnya “diamonds” yang memiliki berbagai sisi dalam menghadapi berbagai jalan kehidupan, ada saatnya manusia terhasut dalam pikiran yang paling sempit yang menjepi diri sendiri dan ada kalanya terang berderang menerangi diri yang membuat manusia bahagia. Ketika kesulitan dihadapi dengan kaku, justru akan menyebabkan meneteskan air mata atau sebaliknya, kesulitan akan membantu untuk mampu membangun diri ke atas, sehingga apabila seseorang mampu mengatasi kesulitan yang selalu hadir dalam kehidupan, maka pengalaman mengatasi kesulitan yang awalnya tega membunuh akan menjadi pancaran sinar yang indah yang akan membuat seseorang menjadi lebih kuat lahir maupun batin . Basis ketahanmalangan (adversity quotient) adalah kepastian, tingkat kesulitan yang terukur, atau pola dari bagaimana seseorang mampu merespon kesulitan. Adapun yang diukur adalah kepastian yang terdiri dari bakat khusus (talents), bakat umum (aptitudes), keterampilan (skill ), pengalaman (eksprience),pengetahuan (knowledge), dan kemauan ( Will). Secara teori kapasitas manusia merupakan suatu lingkaran . Adversity Quotient pada dasarnya bertujuan untuk menilai karyawan agar mencapai “best service” dan sukses di tempat kerja. Adversity Quotient mewujudkan dua komponen esensial yaitu, konsep praktek yang diambil dari teori-teori ilmiah dan aplikasi riel yang ada di dunia. Adapun yang diukur dalam Adversity Quotient adalah keefektifan pribadi dalam kerja tim,pembinaan hubungan keluarga pengorganisasian diri, hubungan komitmen budaya dan hubungan masyarakat. Dari pendapat-pendapat di atas, berarti ketahanmalangan dapat disimpulkan bahwa kemampuan seseorang yang menggambarkan ketahanan fisik, mental, dan spritual untuk dapat menguasai dan menghadapi segala tantangan, hambatan, dan permasalahan yang timbul agar seseorang mampu membuat kehidupannya menjadi berharga dan bertanggungjawab. Jadi kecakapan seseorang menghadapi berbagai hambatan yang ditemuinya, dan mengubahnya menjadi peluang agar menjadi berharga bagi dirinya sendiri. Pengaruh Ketahanmalangan Dalam menghadapi suatu tantangan,hambatan, dan kesulitan, seorang pemimpin harus percaya diri dan mempunyai sikap yang tegas. Bass dalam Locke, menyebutkan rasa percaya diri sebagai sikap tegas dan berkepala dingin dari para pemimpin dalam level yang lebih rendah atau manajer yang tidak berprestasi, dan para pemimpin harus percaya diri, mempunyai sikap tegas, dan memiliki keyakinan. Jika keputusan yang dibuat seorang pemimpin ternyata menunjukkan banyak kelemahan, kelemahan itu dapat digunakan untuk mempelajari kesalahan, agar sanggup membangun kembali kepercayaan. Suatu kegagalan perlu dijadikan pengalaman, karena kegagalan dapat dijadikan pelajaran untuk menghadapi masa yang akan datang. Seperti dikemukakan Mortell, kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantarkan kita untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda. Untuk meliwati saat-saat kritis yaitu kegagalan atau kesuksesan tergantung pada reaksi pemimpin itu sendiri terhadap masalah yang dihadapinya. Seperti dikemukakan Peale bahwa pemikiran positif adalah bagian anda berpikir tentang suatu problem, dan antusias adalah bagaimana merasakan suatu problem. Kedua hal ini menentukan bagaimana reaksi kita menghadapinya. Seiring dengan itu Maxwell mengungkapkan, perbedaan antara orang yang prestasinya biasa-biasa saja, dengan orang yang prestasinya luar biasa adalah bagaimana persepsi mereka tentang kegagalan serta bagaimana respons mereka terhadap kegagalan tersebut. Qulletle dalam Stoltz mengemukakan bahwa orang yang tahan banting tidak terlalu menderita terhadap akibat negatif yang berasal darikesulitan. Sifat tahan banting dalam diri manusia merujuk pada kemampuan menghadapi kondisi-kondisi kehidupan yang keras. Stoltz, melaksanakan riset selama 19 tahun dan penerapan selama 10 tahun merupakan terobosan penting dalam pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk mencari kesuksesan. Sehingga Stoltz mengatakan, suksesnya pekerjaan dalam kehidupan, ditentukan oleh ketahanmalangan (adversity qoutient atau AQ). Untuk tercapainya keberhasilan suatu pekerjaan, harus mengetahui dan memahami ketahananmalangan yang dibutuhkan yaitu: a) AQ memberi tahu seberapa jauh mampu bertahan menghadapi kesulitan dan mampu untuk mengatasinya, b) AQ meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan siapa yang akan hancur, c) AQ meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka, atau siapa yang akan gagal, d) meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan; e) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Dari ke empat kebutuhan untuk mencapai keberhasilan dalam suatu pekerjaan, adalah kemampuan menghadapi dan mengatasi kesulitan, menerima risiko, dan siap menerima kegagalan, pemimpin tersebut akan mampu memberdayakan dirinya guna mencapai keberhasilan. Pemimpin yang memiliki ketahanmalangan yang lebih tinggi akan memengaruhi dan meningkatnya kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih besar dari pada mereka yang memiliki ketahanmalangan rendah. Bentuk AQ ada tiga macam yaitu: a) AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan, b) AQ suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, c) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan yang dapat memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan perbuatan praktis merupakan suatu paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar untuk meningkatkan kemajuan dan kesuksesan. Jadi ketahanmalangan digunakan untuk: a. meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang mempunyai prestasi melebihi dari kinerja, b. untuk mengembangkan profesi ia mampu mengimbangi tuntutan klien yang terus meningkat, c. membantu para guru mengembangkan daya tahan dan keuletan dalam memberikan pelajaran yang mempunyai makna dan tujuan, d. mempersiapkan angkatan kerja dan pemimpin-pemimpin dalam memenuhi visi, e. mengembangkan staf pegawai dalam lingkungan kerja dan menuntut pegawai agar bekerja walaupun dengan sarana yang kurang, f. untuk membantu individu memerkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, dengan tetap berpegang pada prinsip. Faktor-faktor menuju Kesuksesan Faktor-faktor menuju kesuksesan banyak dipengaruhi oleh kemampuan kita mengendalikan serta cara kita merespon kesulitan. Faktor-faktor tersebut mencakup semua yang diperlukan untuk mendaki seperti dayasaing. Orang-orang yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan akan lebih tangkas dalam memelihara energi, lebih fokus dan mengumpulkan tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Maka yang bereaksi secara destruktif cenderung membuang energi. Mereka yang bereaksi secara destruktif cenderung kecolongan energi mudah berhenti berusaha. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan kegesitan dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan hidupnya. Produktifitas : dalam sejumlah penelitian yang dilakukan perusahaan-perusahaan terhadap orang yang merespon kesulitan secara destrukftif terlihat kurang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Juga ditemukan adanya konotasi yang kuat antara kinerja dan cara pegawai-pegawai merespon kesulitan. Berdasarkan program–program AQ yang diselenggarakan diseluruh dunia, jelas bahwa pemimpin perusahaan mempunyai persepsi bentuk orang-orang yang AQ nya tinggi. Secara dramatis unggul atas orang-orang yang AQ nya lebih sedikit kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk dari pada mereka yang kurang merespon kesulitan dengan baik. Kreativitas : inovasi pada pokoknya merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan; inovasi juga membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tak ada dapat menjadi ada. Menurut Barker, kreativitas juga muncul dari keputusasaan. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tak pasti. Apabila kita percaya bahwa apa yang kita lakukan tak membuat sesuatu perbedaan, bagaimana mungkin kita akan menjadi kreatif. Orang-orang yang tak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Motivasi : sebuah penelitian yang dilakukan dengan pengukuran AQ telah memberikan kesimpulan, bahwa tanpa kecuali baik berdasarkan pekerjaan harus mampu jangka panjang, mereka yang AQ nya tinggi dianggap sebagai orang-orang yang paling memiliki motivasi. Mengambil resiko: Dengan tak adanya kemampuan menangani kendali, maka tidak ada alasan untuk mengambil resiko, bahkan resiko-resiko sebenarnya tak masuk akal. Keyakinan bahwa apa yang dikerjakan tak ada faedahnya sama sekali, akan menghamburkan energi yang sebenarnya dibutuhkan untuk melompatkan ke bidang lain yang belum dikenal. Sebagaimana telah dibuktikan oleh Satterfield dan Seligman, orang-orang yang merespon kesulitan lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian. Ketekunan: Ketekunan merupakan inti pendakian dan AQ . Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha, bahkan manakala dihadapkan pada kemunduran- kemunduran atau kegagalan hanya sedikit sifat manusia yang bisa mendatangkan banyak hasil dibandingkan dengan ketekunan, terutama jika digabungkan dengan sedikit kreativitas. Seligman membuktikan bahwa para tenaga profesional, kader militer, mahasiswa dan lainnya orang yang merespon dengan baik sebuah kesulitan akan pulih dari kekalahan dan mampu terus bertahan. Mereka yang merespon dengan buruk ketika berhadapan dengan kesulitan akan mudah menyerah. AQ menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk lebih tekun. Bangunlah keberhasilan introspeksi: Sewaktu kita mengalami dari perubahan yang tiada henti, kemampuan kita untuk menghadapi ketidakpastian dan pijakan yang berubah semakin lama menjadi semakin penting. Batu-batu yang longsor, cuaca yang berubah, banjir yang tak terduga, dan gunung yang meletus, semuanya menantang pendaki atau climbers, agar bisa sukses kita harus secara efektif mengatasi dan membangun keberhasilan. Sukses Menjadi Pemimpin Melihat orang yang sukses menjadi pemimpin itu menurut Stoltz, tidak hanya mengandalkan Intelegensi Quotienst(IQ), atau Emosional Qoutienst(EQ) saja, tetapi harus dipengaruhi ketahanmalangan (Adversity Quoetionst). Kecerdasan atau intelegensi yang terukur secara ilmiah dipengaruhi oleh faktor- faktor keturunan sebagai faktor kesuksesan. Tetapi kenyataan keadaan dunia dewasa ini, dengan memiliki IQ tinggi belum tentu dapat mewujudkan potensinya. Dicontohkan seorang perakit bom, ia memiliki IQ tinggi dapat merakit bom berkekuatan tinggi, tetapi karena hanya dididik dengan pengembangan pikiran saja, sehingga kemampuan untuk bersosialisasi atau kecerdasan emosionalnya tidak berkembang, maka ia tidak dapat meraih kesuksesan atau tidak dapat menjadi pemimpin. Di sini IQ jelas gagal untuk mencapai kesuksesan. Diperkuat pendapat dari Cooper, bahwa intelektual cerdas sering kali bukanlah orang yang paling berhasil dalam bisnis maupun dalam kehidupan pribadi mereka. Lain halnya dengan Goleman memberikan bukti yang kuat dalam konsepnya, bahwa selain Intelegensi Quotienst, kita semua mempunyai Emosional Quotienst (EQ), yang merupakan tolok ukur hipotesis, mencerminkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan hati, sadar diri, bertahan, bergaul secara efektif dengan orang lain. Kecerdasan emosinal (EQ) adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya, saat menghadapi situasi yang menyenangkan atau menyakitkan. Selanjutnya aspek-aspek yang berkaitan dengan kepribadian adalah: a) kemampuan memahami dan memotivasi potensi dirinya, b) memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain, c) senang melihat bawahan sukses, d) asertif yaitu terampil menyampaikan suatu pikiran dan perasaan dengan baik kepada orang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam kehidupan, Emosional Quotienst lebih penting dari pada Intelegensi Quotiens. tetapi Stoltz sama halnya dengan Intelegensi Quotiens tidak setiap orang memanfaatkan Emosional Quotienst dan potensi mereka sepenuhnya, meskipun kecakapan-kecakapan itu mereka miliki. Karena Emosional Quotienst tidak mempunyai metode yang jelas untuk mempelajarinya, maka kecerdasan emosional tetap sulit dipahami. Zohar dan Marshall, melalui riset ilmiahnya tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan dalam Spiritual Quotienst (SQ) menyebutkan, tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (Intelegensi Quostionst) dan popularitas (Emosional Quotienst) seseorang tidak akan memberikan ketenangan dan kebahagian hidupnya. Ini berarti IQ dan EQ harus disertai dengan SQ. Oleh sebab itu, Hidayat menyebutkan rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidak-tidaknya tiga kecerdasan, yaitu: kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). tetapi Stoltz, mengemukakan sejumlah orang memiliki kepandaian (IQ) yang tinggi berikut segala kecerdasan emosional (EQ), namun gagal menunjukkan kemampuannya untuk bertahan dan menyerah. Hal ini berarti bukan IQ atau EQ yang menentukan suksesnya seseorang, tetapi keduanya menjadi satu peran. Timbul pertanyaan mengapa orang masih mampu bertahan, sementara yang lainnya mungkin sama-sama brilian dan pandai bergaul tetapi gagal dan ada yang menyerah? Menurut Stoltz, karena seseorang memiliki dan dipengaruhi ketahanmalangan atau Adversity Quotienst (AQ) yaitu tahan banting, tidak mudah menyerah terhadap tantangan-tantangan, hambatan, atau kesulitan yang dihadapi. Dalam menghadapi tantangan maka ketahanmalangan (AQ) merupakan tempat teratas dari kecerdasan kepandaian (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) untuk menuju kesuksesan dari seorang pemimpin. Menurut Zohar dan Marshall dalam Agustian, kecerdasan kepandaian (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) harus disertai dengan kecerdasan spritual (SQ). Ketiga kecerdasan seseorang (IQ, EQ, SQ), akan memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidupnya, tetapi menurut Stoltz harus memiliki ketahanmalangan (AQ). Apabila diperhatikan dari pendapat-pendapat di atas, maka penulis menggambarkan seseorang pemimpin itu perlu memiliki empat kecerdasan dalam dirinya, agar ia memperoleh kesuksesan. Seorang pemimpin harus memiliki IQ, EQ, SQ, dan AQ yang diperlukan untuk dapat memengaruhi di dalam perilaku orang lain. Apabila keempat kecerdasan tersebut dimiliki oleh seorang pemimpin, maka akan mendapatkan kesuksesan dalam menjalankan tugasnya. Banyak pemicu yang menjadi kehidupan makin sulit, pemicu pertama dalam kehidupan masyarakat, kedua di tempat kerja, dan ketiga di dalam individu itu sendiri sepanjang perjalan hidup yang penuh dengan bahaya. Kesulitan ini merupakan bagian hidup dimana-mana, nyata, dan tidak dapat dielakkan. Tetapi kesulitan itu bukan menghacurkan semangat. Untuk menciptakan perubahan harus memiliki keuletan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan. Tuntutan di atas para pemimpin agar khususnya kepala sekolah memiliki daya juang yang tinggi atau AQ yang tinggi yang akan mengalahkan orang lain. Martin Seligman dalam Stoltz, mengemukakan ketidakberdayaan dalam menghadapi kesulitan merupakan hambatan terhadap kemajuan. Sifat tahan banting menunjukkan kualitas kehidupan manusia secara keseluruhan. Ketidakpastian dan stres menunjukkan ketidak mampuan menghadapi tantangan, komitmen, dan tidak mampu mengendalikan emosi. Sewaktu kesulitan meningkat, semakin sedikit orang bertahan untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk mengimplementasikan strategi dan mengelola tantangan yang muncul, pemimpin memerlukan langkah untuk mengambil tindakan. Murphy mengungkapkan bahwa pemimpin yang efektif mengikuti proses terstruktur dengan amat hati-hati yang memfokuskan kekuatan atau energi, sambil menyoroti dan memperioritaskan peluang untuk mengangkat kesuksesan yang tinggi. Selanjutnya Murphy,mengatakan keadaan bergejolak dan kacau tidak perlu indentik dengan perselisihan, kesulitan, atau perasaan tidak puas. Pemimpin panutan walaupun tidak mengetahui bahwa waktu, tempat dari peristiwa krisis, dapat mempersiapkan diri untuk memahami, merencanakan,dan menyesuaikan diri terhadap krisis,termasuk ancaman-ancaman. Dalam menghadapi dunia baru, harus mengantisipasi cepat berpikir, menjangkau, membina ikatan, bertahan dengan pelanggan, atau pihak-pihak yang berkepentingan, agar dapat bertahan memimpin di tepi jurang kekacauan. Demikian juga menurut Yusuf Kalla, mengemukakan pemimpin perlu memiliki gaya kepemimpinan yang kuat di tengah perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan politik, dan masyarakat. Karena pada masa sekarang terjadi perubahan dalam sistem politik dari situasi otoriter menjadi sangat demokratis, sistem sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan ini mau tidak mau akan memengaruhi kerja pemerintah dan pemimpinnya. Selanjutnya Muhtar Pabottinggi peneliti LIPI, mengemukakan kepemimpinan akan kuat dan tegak dalam arti berwibawa,jika supremasi hukum ditegakkan, dan kedaulatan rakyat jika berdasarkan pada right, bukan might. Ini membuktikan seorang pemimpin harus memiliki ketahanmalangan dalam menghadapi kesulitan, permasalahan yang merupakan tantangan yang harus dihadapinya. Karakter adversity seseorang pemimpin menurut Hewitt, dapat dibangun dengan dipengaruhi beberapa hal yaitu: a) phsyical adversity, masa-masa sulit secara fisik misalnya kematian, luka, sakit dan sebagainya; b) miscomunication and deception atau miskomunikasi dan kecurangan dan ketidak jujuran; c) displacement atau salah penempatan; d) desire atau hasrat/keinginan, di mana tidak sesuai dengan keinginan/ kebutuhan; e) relationships atau hubungan, yang sering kali akibat hubungan masa sulit terdahulu. Selanjutnya dikemukakannya untuk pengembangan karier melalui adversity ada beberapa kunci yaitu: a) memahami para pelaku-pelaku, b) memutuskan mengubah keinginan para pelaku dan bagaimana yang diinginkan supaya tetap tidak berubah, c) jangan takut merubah situasi/kondisi, d) kombinasikan sesuatu sesuai dengan kesempatan. Dari karakteristik yang diuraikan di atas ciri-ciri seseorang sebagai pemimpin harus memiliki ketahanmalangan yaitu: 1) tidak menyalahkan orang lain atas kesusahan atau kemunduran yang dihadapi, 2) tidak menyalahkan diri sendiri, tidak memandang kemunduran-kemunduran yang terjadi sebagai cermin keburukan diri sendiri, 3) percaya bahwa masalah-masalah yang dihadapi itu memiliki ukuran dan durasi yang terbatas dan dapat diatasi. Sehingga adversity quotienst memengaruhi keefektipan pribadi dalam kerja tim, pembinaan hubungan, hubungan keluarga, pengorganisasian diri, hubungan komitmen, budaya, dan hubungan masyarakat. Uraian diatas menunjukkan ketahanmalangan (adversity) berpengaruh terhadap kekuatan individu seseorang pemimpin dalam menghadapi kesulitan, permasalahan, rintangan yang dihadapinya, baik datang dari diri sendiri, maupun dari luardirinya serta kecakapan untuk mengubah hambatan, tantangan, dan kesulitan menjadi suatu kesuksesan atau keberhasilan dalam karier hidupnya. Tanggapan terhadap kesulitan, pengendalian kesulitan, kesediaan menerima kesulitan, dan sejauhmana daya tahan menghadapi kesulitan, mempengaruhi kepemimpinan seseorang dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin. Bertitik tolak dari teori ketahanmalangan tersebut di atas dapat diartikan adalah kekuatan individu dalam upaya mengatasi hambatan, kesulitan, dan masalah yang merupakan tantangan dalam melakukan suatu pekerjaan, dan dijadikan peluang untuk meraih kesukses dalam pencapaian tujuan. Adapun indikator ketahanmalangan seorang kepala sekolah sebagai pemimpin adalah ketabahan, kegigihan, pengendalian diri, ketekunan, suka terhadap perubahan, dan penyelesaian terhadap masalah.

Sabtu, 02 Februari 2013

Pergeseran Paradigma Belajar Pada Kurikulum 2013

Pergeseran Paradigma Belajar Pada Kurikulum 2013 Oleh : Subagio,M.Pd. (Kepala SMP Negeri 2 Cibeureum Kab. Kuningan) Tema pengembangan kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Diakui dalam perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad 21, kini memang telah terjadi pergeseran baik ciri maupun model pembelajaran. Inilah yang diantisipasi pada kurikulum 2013. Posisi kurikulum 2013 yang terintegrasi sebagaimana tema pada pengembangan kurikulum 2013. Sudah barang tentu untuk mencapai tema itu, dibutuhkan proses pembelajaran yang mendukung kreativitas. Itu sebabnya perlu merumuskan kurikulum yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu, dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Pertanyaannya, pada pengembangan kurikulum 2013 ini, apa saja elemen kurikulum yang berubah? Ada empat standar dalam kurikulum yang mengalami perubahan, meliputi standar kompetensi lulusan, proses, isi, dan standar penilaian. Terhadap perubahan itulah maka rumusan standar kelulusan (SKL) pun berubah. Perubahan yang Diharapkan Pengembangan kurikulum¬¬ 2013, selain untuk memberi jawaban terhadap beberapa permasalahan yang melekat pa¬da kurikulum 2006, bertujuan ju¬ga untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan meng¬omunikasikan (mempresentasikan), apa yang di¬ per¬oleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelaj-aran. Dalam draft Pengembangan Kurikulum 20013 diisyaratkan bahwa proses pembelajaran yang dikehendaki adalah pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Disebutkan pula, bahwa proses pembelajaran yang dikehendaki adalah proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered active learning) dengan sifat pembelajaran yang kontekstual. (Pengembangan Kurikulum 20013, Bahan Uji Publik, Kemendikbud) Melalui pendekatan itu di¬harapkan siswa kita memiliki kom¬petensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang jauh lebih ba¬ik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Sedikitnya ada lima entitas, masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga kepe¬ndidikan, manajemen satuan pendidikan, Negara dan bangsa, serta masyarakat umum, yang diharapkan mengalami perubahan. Struktur Kurikulum 2013 Dalam teori kurikulum (Anita Lie, 2012) keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum --termasuk pembelajaran-- dan penilaian pembelajaran dan kurikulum. Struktur kurikulum dalam hal perumusan desain kurikulum, menjadi amat penting. Karena begitu struktur yang disiapkan tidak mengarah sekaligus menopang pada apa yang ingin dicapai dalam kurikulum, maka bisa dipastikan implementasinya pun akan kedodoran Hadirnya kurikulum baru bukan berarti kurikulum lama tidak bagus. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Pergeseran paradigma belajar abad 21 dan kerangka kompetensi abad 21 menjadi pijakan di dalam pengembangan kurikulum 2013. Alasan Ganti Kurikulum Salah satu alasan kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan kurikulum baru adalah kegagalan sejumlah sekolah dalam menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Menurut perwakilan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud Zulfikri Anas, hasil monitoring dan evaluasi Kemendikbud menunjukkan, banyak sekolah yang tidak mampu membuat KTSP. "Kalaupun mampu, ternyata kurikulum tersebut tidak dibuat oleh sekolah. Bahkan silabus dan bahan RPP tidak dibuat guru. Mereka bisa membelinya, jadi tidak bikin guru pintar," Oleh karena itu, dibutuhkan kurikulum baru untuk mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar. Bahkan, hasil survei pun menunjukkan masih banyak kualitas guru di Indonesia yang masih memprihatinkan, yakni hanya 35 persen yang sesuai kriteria pendidikan UU Guru dan Dosen. Ketidaksiapan para guru untuk menghadapi kurikulum tidak boleh dibiarkan. Sebab, sebagai seorang profesional mereka hendaknya terus-menerus belajar. "Guru kita pasti belum siap dan mampu setiap pergantian kurikulum. Tapi, ketidaksiapan ini jangan diproteksi. Saat seseorang sudah dinyatakan profesional di bidang apa pun, mereka harusnya tidak akan takut untuk belajar,". Dia menilai, ketidaksiapan guru dalam menghadapi pergantian kurikulum merupakan persoalan pemerintah daerah. "Kekurangan pelatihan guru salah pemda. Harusnya pemda mengalokasikan dana sesuai jumlah guru yang akan dilatih karena itu bukan tugas pemerintah pusat saja. Daerah harus ambil bagian dalam pelatihan guru,". Lebih lanjut Zulfikri mengimbau, pengembangan kurikulum di masa depan jangan hanya dilihat dari satu perspektif saja yang cenderung tidak benar. "Walaupun namanya kurikulum 2013, tetap merupakan kurikulum berbasis kompetensi," Penyederhanaan, Tematik-Integratif Pengembangan Kurikulum 2013 dilakukan dalam empat tahap. Pertama, penyusunan kurikulum di lingkungan internal Kemdikbud dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu dan praktisi pendidikan. Kedua, pemaparan desain Kurikulum 2013 di depan Wakil Presiden selaku Ketua Komite Pendidikan yang telah dilaksanakan pada 13 November 2012 serta di depan Komisi X DPR RI pada 22 November 2012. Ketiga, pelaksanaan uji publik guna mendapatkan tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh selain melalui saluran daring (on-line) pada laman http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id , juga melalui media massa cetak. Tahap keempat, dilakukan penyempurnaan untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Kurikulum 2013. Inti dari Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Titik beratnya, bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya, memasuki masa depan yang lebih baik. Pelaksanaan penyusunan kurikulum 2013 adalah bagian dari melanjutkan pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu, sebagaimana amanat UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada penjelasan pasal 35, di mana kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Menambah Jam Pelajaran Strategi pengembangan pendidikan dapat dilakukan pada upaya meningkatkan capaian pendidikan melalui pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi; efektivitas pembelajaran melalui kurikulum, dan peningkatan kompetensi dan profesionalitas guru; serta lama tinggal di sekolah dalam arti penambahan jam pelajaran. Rasionalitas penambahan jam pelajaran dapat dijelaskan bahwa perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output) memerlukan penambahan jam pelajaran. Di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhir-akhir ini ada kecenderungan dilakukan menambah jam pelajaran. Diketahui juga bahwa perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat. Bagaimana dengan pembelajaran di Finlandia yang relatif singkat. Jawabnya, di negara yang tingkat pendidikannya berada di peringkat satu dunia, singkatnya pembelajaran didukung dengan pembelajaran tutorial yang baik. Penyusunan kurikulum 2013 yang menitikberatkan pada penyederhanaan, tematik-integratif mengacu pada kurikulum 2006 di mana ada beberapa permasalahan di antaranya; (i) konten kurikulum yang masih terlalu padat, ini ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak; (ii) belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (iii) kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (iv) belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (v) standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; (vi) standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (vii) dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. 10 Prinsip Wajib di Kurikulum Baru Sebuah kurikulum pendidikan harus mengandung sepuluh prinsip dasar. Oleh karena itu, kurikulum baru yang akan diterapkan oleh pemerintah harus sesuai dengan prinsip tersebut. Menurut Yusuf Hadi Miarso Dosen Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam Diskusi Kurikulum 2013 pada acara Teknologi Pendidikan (TP) Expo 2012 di Kampus UNJ, Jakarta Timur’ prinsip pertama yang harus ada dalam kurikulum adalah kualitas. "Dengan kurikulum itu setiap peserta didik mampu mencapai yang terbaik bagi diri sendiri dan lingkungan," Prinsip kedua, adalah keserasian. Dalam prinsip ini terdapat sejumlah indikator, yaitu aspirasi perorangan, kebutuhan masyarakat, ketentuan perundangan, kondisi lingkungan, tuntutan zaman, serta teori dan konsep. "Prinsip ketiga adalah efektivitas dengan empat indikator, yakni usaha yang sistemik dan sistematik, sensitif atas perubahan, kejelasan tujuan dari tindakan, serta bertolak dari kemampuan yang bersangkutan," Keempat, ialah efisiensi. Artinya, kurikulum tersebut sepadan antara waktu, tenaga, dan biaya yang digunakan untuk membuat kurikulum dengan hasil yang diperoleh. Kelima kurikulum harus memiliki prinsip kesinambungan yang meliputi tidak adanya sekat antara pendidikan formal, informal, dan nonformal, serta proses belajar berlangsung kapan pun, di mana pun, dan dari siapa pun. Belajar itu proses sosial. Pembelajaran di sekolah hanya 15 persen, sisanya terjadi di luar sekolah,", Prinsip keenam yang harus ada dalam setiap kurikulum adalah keluwesan. Berdasarkan prinsip ini, kurikulum harus memiliki basis inti yang sama atau setara, kesempatan untuk melakukan perkembangan baik bagi sekolah, tenaga pendidik, maupun peserta didik, serta memuat muatan lokal sebagai bentuk keragaman Nusantara. Ketujuh, ialah prinsip keberlanjutan. "Prinsip ini meliputi tiga indikator, yaitu memungkinkan berlangsungnya pendidikan sepanjang hayat serta memberi kesempatan yang adil dan bermanfaat. Perlu dipikirkan untuk siapa keadilan dan kebermanfaatan tersebut. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) jelas bertentangan dengan semangat itu," tuturnya. Prinsip kedelapan, terkait pendekatan yang dilakukan dari bawah (student centered) tidak lagi top down yang dimulai dari pemerintah pusat, baru ke kelas. Pendekatan ini dimulai dari apa kegiatan yang diharapkan peserta didik hingga konsekuensi yang berjenjang ke atas. Kesembilan, kurikulum harus memiliki prinsip basis yang luas. Artinya, pembuatan kurikulum tidak sekadar penguasaan atas suatu bidang tapi harus lintas disiplin ilmu serta mempertimbangkan seluruh aspek perkembangan. Kesepuluh, berupa prinsip untuk menganalisa kondisi pendidikan saat ini, yakni dengan menggunakan analisa TOWS yang meliputi threat seperti persaingan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), opportunity seperti otonomi perguruan tinggi, weakness seperti keterbatasan anggaran dan kompetensi, serta strength yang menyangkut komitmen organisasi dan sebagainya. "Tidak lagi dimulai dengan SWOT, yakni analisa kekuatan terlebih dahulu, analisa dilakukan dengan mengetahui tantangan. Sehingga kondisi internal bisa tersentuh. ***

Rabu, 30 Januari 2013

Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Profesional

Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Profesional (Subagio,M.Pd Kepala SMP Negeri 2 Cibeureum) Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sangat terkait erat dengan keberhasilan peningkatan kompetensi dan profesionalisme Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) tanpa mengabaikan factor-faktor lainnya seperti sarana dan prasarana serta pembiayaan. Kepala sekolah merupakan salah satu PTK yang posisinya memegang peran sangat signifikan dan strategis dalam meningkatkan profesionalisme guru dan mutu pendidikan di sekolah. Kegiatan kekepalasekolahan adalah kegiatan dalam menyusun program, melaksanakan program, evaluasi hasil pelaksanaan program, dan melaporkan: pelaksanaan program. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 15 ayat 3 menyatakan bahwa guru yang telah bersertifikat profesi dapat diangkat menjadi kepala satuan pendidikan dengan beban kerja satuan pendidikan. Kepala sekolah professional adalah kepala sekolah yang melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan: Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah meliputi: dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, supervisi, kewirausahaan, dan sosial. Selain itu, untuk meningkatkan profesionalisme kepala sekolah maka perlu dilaksanakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Tujuannya adalah untuk menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks dan untuk lebih mengarahkan sekolah ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional yang efektif, efisien, dan produktif. Mengingat pentingnya peran kepala sekolah dalam memajukan mutu pendidikan nasional sehingga tuntutan dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh kepala sekolah menjadi besar. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal 15 ayat 3 menyatakan bahwa guru yang telah bersertifikat profesi dapat diangkat menjadi kepala satuan pendidikan dengan beban kerja satuan pendidikan. Implementasi tugas tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, Pasal 12 yang secara garis besar dapat dirangkum dalam tiga aspek yaitu : usaha pengembangan sekolah / madrasah, peningkatan kualitas sekolah /madrasah berdasarkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan, dan usaha pengembangan profesionalisme sebagai kepala sekolah /madrasah. Penerapan standar nasional pendidikan merupakan serangkaian proses untuk memenuhi tuntutan mutu pendidikan nasional. Pelaksanaannya diatur secara bertahap, terencana, terarah,dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, dan global. Dalam proses pemenuhan standar tersebut diperlukan indikator. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah menetapkan delapan standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Standar-standar tersebut merupakan acuan dan kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Salah satu standar yang penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan. Kepala sekolah merupakan salah satu tenaga kependidikan yang memiliki peran strategis dalam meningkatkan profesionalisme guru dan mutu pendidikan di sekolah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 Pasal 12 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah menyatakan bahwa guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah dinilai kinerjanya secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif selama 4 tahun yang akan dijadikan dasar bagi promosi atau demosi yang bersangkutan. Penilaian kinerja tersebut dilakukan berdasarkan implementasi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai kepala sekolah/madrasah. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, kepala sekolah/madrasah perlu mempelajari buku kerja kepala sekolah yang telah diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2011 sebagai acuan/pedoman sehingga pelaksanaan tupoksi tersebut dapat efektif, efisien, dan produktif. Kepala Sekolah Profesional Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, menyatakan bahwa kepala sekolah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin Taman Kanak- Kanak/Raudhotul Athfal (TK/RA), Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMK/MA), Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK), atau Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) yang bukan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Profesional Seorang kepala sekolah disebut profesional apabila: (1). memiliki kejujuran dan integritas pribadi; (2). mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk bekerja di bidangnya; (3). memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat dikategorikan ahli pada suatu bidang; (4). berusaha mencapai tujuan dengan target-target yang ditetapkan secara rasional; (5).memilikistandar yang tinggi dalam bekerja; (6). memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai keberhasilan dengan standa rkualitas yang tinggi; (7). mencintai dan memiliki sikap positif terhadap profesinya yang antara lain tercermin dalam perilaku profesionalnya dan respons orang-orang yang berkaitan dengan profesi/pekerjaannya; (8). memiliki pandangan jauh ke depan (visionary);(9). menjadi agen perubahan; (10). memiliki kode etik, dan (11). memiliki lembaga profesi. Ciri-ciri Kepala Sekolah Profesional Seorang kepala sekolah profesional antara lain memiliki: (1). kejujuran; (2). kompetensi yang tinggi; (3). harapan yang tinggi (high expectation); (4). standar kualitas kerja yang tinggi; (5). motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan; (6). integritas yang tinggi; (7). komitmen yang kuat; (8). etika kepemimpinan yang luhur (menjadi teladan); (9). kecintaan terhadap profesinya; (10). kemampuan untuk berpikir strategis (strategic thinking); dan (11). memiliki pandangan jauh ke depan (visionary). Peranan Kepemimpinan Kepala Sekolah Profesional Sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas sekolah, maka meningkat pula tuntutan terhadap kinerja kepala sekolah. Kepala Sekolah diharapkan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai manajer dan leader. Sebagai pemimpin pendidikan di sekolah kepala sekolah memiliki tanggung jawab sepenuhnya untuk mengembangkan seluruh sumber daya sekolah. Efektivitas kepemimpinan kepala sekolah tergantung kepada kemampuan bekerjasama dengan seluruh warga sekolahg, serta kemampuannya mengendalikan pengelolaan sekolah untuk menciptakan proses belajar mengajar. Disamping itu iklim, suasana dan dinamika sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam peningkatan motivasi belajar, kerjasama sehingga masing-masiong peserta didik memiliki kesempatan yang optimal untuk mengembangkan potensi dirinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Gardner bahwa peserta didik memiliki 8 kecerdasan (Fisik, Linguistik,Matematius/Logis,Visual/Spasial,Musikal,Naturalis,Interpersonal,Intrapersonal) Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan merupakan standar mutu pendidikan yang harus diwujudkan oleh semua warga sekolah agar proses belajar mengajar dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.