Selasa, 31 Mei 2011

MEMBANGUN SEKOLAH BERBASIS SPIRITUAL

Oleh : Subagio,M.Pd

Era sekarang yang identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan implikasi yang demikian dahsyat bagi kehidupan manusia yang serba tak menentu (turbulen), hal tersebut diindikasikan dengan transformasinya newtonian menjadi quantum dan economical capital menjadi intellectual capital. Perubahan-perubahan ini juga akan mentransformasi realitas konsumtif menuju realitas reinventor bahkan juga mengkonstruk realitas menjadi realitas kompetitif-global. Bahkan diantaranya adalah kompetisi (persaingan) yang semakin tajam dan perubahan di masa yang akan datang tidak hanya konstan, tetapi berubah menjadi pesat, radikal, dan serentak. Oleh sebab itu, pada era globalisasi –era persaingan dan perubahan- kesuksesan tidak dapat dirancang dengan “bagaimana caranya”. Namun, peluang-peluang keberhasilan hanya akan ditentukan dan didapatkan oleh pribadi-pribadi yang mampu menemukan dan mengembangkan kepemimpinan dalam dirinya dalam melakukan perubahan-perubahan yang sejalan dengan alur zaman.
Begitu juga dengan dunia pendidikan tidak akan lepas dari unsur perubahan. Maka sangat wajar, jika filosofis learning oleh Peter M. Senge diartikan dengan study and practice constanly. Karena hal tersebut tidak lepas dari natural law yang akan merongrong pendidikan untuk menapak tangga yang lebih tinggi dan juga harus menempatkan eksistensinya sesuai dengan tuntutan realitas. Tetapi walaupun dalam realitas tersebut terus mengalir perubahan-perubahan yang menuntut hal lain pada dunia pendidikan dan juga pada manusia tetapi curiosity harus tetap menjadi spirit dalam hidup dan eksis dengan eksistensinya sendiri, artinya kedinamisan realitas harus diimbangi dengan gerakan konstruktif-solutif. Meminjam statemen dari Betrand Russel, seperti yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud (2002), bahwa “it is better to be clearly wrong than vaguely right”, maka sikap seperti itu seharusnya yang dikonstruk dalam tatanan kehidupan pendidikan dan manusia sendiri untuk memunculkan suatu sikap optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit dalam mencari problem soulving untuk menjawab tuntutan realitas terhadap pendidikan (way of life long education).
Sumber Daya Manusia (SDM) manusia modern adalah manusia yang mempunyai potensi kualitas intelektual yang memadai. Namun terkadang potensi tersebut menjadi kosong karena tidak diimbangi oleh kualitas iman atau emosional yang baik. Lalu, manusia modern mencari “obat” untuk pencapaian potensi spiritualitas dan emosinya. Ia berharap “obat” itu bisa digunakan berulang-ulang. perkembangan masa depan, untuk menjadi SDM yang sukses dalam arti bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan golongannya; maka syarat IQ saja tidak lagi memenuhi kriteria. Diperlukan EQ (Emotional Quotient: tingkat emosional atau kepribadian), CQ (Creativity Quotient: tingkat kreatifitas) dan SQ (Spiritual Quotient), tingkat religiusitas atau keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan.
Dengan adanya statemen ini, maka pendidikan yang merupakan suatu sistem yang dalam perspektif ontologik adalah suatu upaya pemanusiaan manusia (humanisasi) dengan cara yang manusiawi untuk mencapai nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Hasan Langgulung (1985) memberi makna pada pendidikan secara luas sebagai suatu upaya merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam masyarakat. Akan tetapi, upaya-upaya ke arah terwujudnya konstruksi tersebut ditanggapi secara sinis oleh para ahli, setelah mengamati relevansi pendidikan secaara internal maupun eksternal dengan perubahan yang terjadi. Keabsahan konstruksi pendidikan secara umum, termasuk dalam hal ini juga pendidikan Islam, sebenarnya telah lama dipertanyakan. Seperti sikap pesimis sosok Neil Postman (2002) dalam bukunya “Matinya Pendidikan” yang mengatakan bahwa manusia akan berhasil menata masa depannya tanpa harus “menerima” pendidikan.
Dengan demikian, sistem pendidikan nasional harus mampu memberikan tawaran solutif yang mampu keluar dari lingkaran yang tanpa nilai dan moral yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia dengan memunculkan kecerdasan yang mampu mengisi kekosongan itu yaitu dengan mensinergikan dan mengintegrasikan antara kecerdasan intelektua (IQ), Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tanpa kesinergian antara aspek “vertikal” dan aspek “horizontal” akan memangkas salah satu aspek yang lain.
Artinya, fenomena perkembangan abad mutakhir menghendaki adanya suatu sistem pendidikan integral. Karena perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan komunikasi , dan kesadaran antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan IMTAQ (Iman dan Takwa) yakni meliputi IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spriritual Quotient)
Oleh sebab itu, wilayah Emotional Spiritual Quotient (ESQ) merupakan wilayah kepemimpinan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), Money, dan lain sebagainya. Perfomance dari pemimpin yang dimunculkan merupakan pedoman bagi kehidupan paradigma organisasi kependidikan. Dengan kata lain, apabila Emotional Spriritual Quptient (ESQ) diaplikasikan dalam tataran kepemimpinan kependidikan, ini akan bermanfaat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan organisasi kependidikan dengan pertumbuhan nilai dan moral. Pada konteks ini Emotional Spiritual Quotient (ESQ) digunakan sebagai kerangka dasar dalam bertindak oleh bawahan, sehingga nilai dan moral kemanusiaan akan mampu menjadi hal yang biasa dilakukan.
Jika ketiga kecerdasan ini yaitu IQ, EQ, dan SQ dikelola dengan baik, maka akan lahir manusia-manusia yang mengetahui untuk apa ia diciptakan; apa tujuan hidupnya; dan hendak kemana kelak ia pergi. Fungsi IQ adalah “what I think” (apa yang saya pikirkan) untuk mengelola kekayaan fisik atau materi (physical capital); fungsi EQ adalah “what I feel” (apa yang saya rasakan) untuk mengelola kekayaan sosial (Social Capital); dan fungsi SQ adalah “who am I” (siapa saya) untuk mengelola kekayaan spiritual (spiritual capital). Inilah makna tertinggi kehidupan (the ultimate meaning) yang menjadi tuntutan yang harus dijawab oleh semua manusia.
Dengan paradigma memadukan antara aspek “horizontal (EQ)” dan “vertikal (SQ)”, khususnya yang berkaitan dengan aspek ESQ Model, yang dipadu sedemikian harmonisnya dalam setiap policy yang muncul di ranah program sekolah, mampu membawa setiap Sumber Daya Manusia (SDM) terhanyut dalam “spiritualisme progresif”. Dikatakan progresif, karena ide-ide program sekolah terbungkus aspek spiritual yang disodorkan oleh kepala sekolah harus mengggugah setiap potensi untuk berkreasi dan berinovasi dalam kehidupan dilingkungan sekolah dengan menghasilkan “pengabdian” terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak. Ide-ide program sekolah yang terbungkus aspek spiritual yang dikembangkan oleh kepala sekolah tidak membuat Sumber Daya manusia (SDM) di sekolah tersebut menjadi “bersikap mementingkan diri sendiri”, bersikap individualistik ataupun sufistik yang menjauhi duniawi, akan tetapi lingkungan sekolah menjadi lebih kondusif dan menjadikan lebih harmonis dengan tatanan kinerja yang produktif.
Dengan adanya sistem sekolah yang kondusif dan tatanan tenaga pengajar serta karyawan yang produktif, akan menciptakan suatu kondisi yang kondusif pula dalam proses belajar peserta didik. Proses belajar ini merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar untuk mengerti suatu hal yang sebelumnya tidak diketahui, dan proses belajar merupakan tujuan dari sistem sekolah. Ketercapaian tujuan sistem sekolah atau pendidikan secara umum sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Hal ini juga disinyalir oleh Wahjosumidjo (2004) yang mengatakan bahwa kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tanggungjawab untuk memimpin sekolah. Artinya keberhasilan kepala sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan tujuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah tersebut.
Pemimpin adalah inti dari manajemen, hal ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian atau pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.
George R. Terry seperti yang dikutip oleh Miftah Thoha (2009) mengartikan kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Robbins, seperti yang dikutip oleh Sudarwan Danim dan Suparno (2009), mendefinisikan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok kearah pencapaian tujuan. Owens mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu interaksi antara satu pihak sebagai yang memimpin dengan pihak yang dipimpin. Sedangkan James Lipham, seperti yang diikuti oleh M. Ngalim Purwanto (2007), mendefinisikan kepemimpinan adalah permulaan dari suatu struktur atau prosedur baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah tujuan-tujuan dan sasaran organisasi. J Salusu (2000) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kekuatan dalam mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum. Dan E. Mulyasa (2004) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapain tujuan organisasi.
Dalam tulisan ini, kepemimpinan pendidikan merupakan suatu bentuk aktivitas dalam mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan pendidikan.
Apabila pendidikan saat ini sangat sumbang untuk didengarkan, salah satunya dikarenakan perilaku menyontek (cheating atau academic cheating). Perilaku ini merupakan fenomena yang sudah lama ada dikalangan pelajar. Peserta didik yang melakukan hal tersebut, seperti yang disimpulkan Mujadilah(2008), karena faktor personal yang meliputi kurang percaya diri, sef-esteem, dan need for approval, ketakutan terhadap kegagalan, dan kompetisi dalam memperoleh nilai dan peringkat akademis. Hal ini berarti bahwa secara personal peserta didik kurang memiliki rasa tanggungjawab secara moral kepada sesama manusia bahkan kepada Tuhannya. Faktor ini mengindikasikan bahwa peserta didik tidak memiliki kecerdasan emosional spiritual (Emotional Spiritual quotient (ESQ))
Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu: 1) Kemampuan untuk belajar; 2) Keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan 3) Kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
Oleh sebab itu, kecerdasan bukanlah benda yang dapat dilihat atau dihitung. Kecerdasan adalah potensi –bisa dianggap potensi pada level sel- yang dapat atau tidak dapat diaktifkan, tergantung pada nilai dari suatu kebudayaan tertentu, kesempatan yang tersedia dalam kebudayaan itu dan keputusan yang dibuat oleh pribadi dan atau keluarga, guru sekolah dan lain-lain. Begitu juga kecerdasan emosional spiritual merupakan potensi yang ada dalam diri manusia dalam membentuk karakter dirinya dengan sesama mahkluk Tuhan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Dalam kerangka tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah kemampuan akal budi manusia berdasarkan kepekaan hati bahwa keberadaannya selalu bersinggungan dengan sesamanya, mahkluk lain, dan alam sekitar yang didasari oleh kekuatan iman kepada Allah. Ary Ginanjar Agustian (2007) mendefinisikan Emotional Spriritual Quotient (ESQ) Model sebagai sebuah kecrdasan yang meliputi emosi dan spiritual dengan konsep universal yang mampu menghantarkan pada predikat memuaskan bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menghambat segala hal yang kontraproduktif terhadap kemajuan umat manusia. Jadi Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah kemampuan manusia yang meliputi kecerdasan emosional dan spiritual yang mampu membangun hal-hal yang konstruktif dan juga mampu menghambat hal-hal yang kontraproduktif bagi dirinya serta bagi orang lain berlandaskan pada kekuatan iman kepada Tuhan.
Subagio,M.Pd, adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan

Senin, 23 Mei 2011

Implementasi Lesson Study pada Program Induksi Guru Pemula

Oleh : Subagio,M.Pd

Program induksi guru pemula (PIGP) progam yang sudah mulai dikembangkan dan dilegalkan dalam sistem pendidikan di Indonesia melalui Permendiknas no 27 tahun 2010. Belum adanya sistem induksi yang diatur secara formal ditengarai menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas guru di Indonesia.
Penulis termasuk salah seorang peserta kegiatan Training of Trainer ( ToT) Program Induksi Guru Pemula (PIGP) bagi kepala sekolah, pengawas sekolah dan widyaiswara dari 16 propinsi “BERMUTU” di Indonesia yang dilaksanakan dari tanggal 16 sampai dengan 20 Mei 2011 di Hotel Grand Jayaraya Jl. Raya Puncak Km 17, Cipayung, Bogor, Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementrian Pendidikan Nasional, sehingga tulisan ini berdasar pada materi-materi yang penulis dapatkan ketika mengikuti kegiatan tersebut.
Program induksi merupakan program yang memberi kesempatan kepada guru pemula untuk dapat mengembangkan kompetensi mereka sebagai guru dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dan budaya sekolah tempat mereka bertugas. Selama masa induksi ini guru pemula bersama pembimbing melakukan kerja sama kolegialitas melalui diskusi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang dikembangkan oleh guru pemula maupun untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi guru pemula. Dalam Pasal 1 ayat 1 Permendiknas no 27 tahun 2010 dijelaskan (1). Program induksi bagi guru pemula yang selanjutnya disebut program induksi adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pengembangan, dan praktik pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran/ bimbingan dan konseling bagi guru pemula pada sekolah/madrasah di tempat tugasnya. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan “Guru pemula adalah guru yang baru pertama kali ditugaskan melaksanakan proses pembelajaran/bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat”.
Peserta program induksi dalam Pasal 4 Permendiknas tersebut adalah : (a). guru pemula berstatus calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang ditugaskan pada sekolah/madrasah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah; (b). guru pemula berstatus pegawai negeri sipil (PNS) mutasi dari jabatan lain; (c). guru pemula bukan PNS yang ditugaskan pada sekolah/madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Dalam mengembangkan budaya peningkatan profesionalitas pembelajaran serta dalam menumbuhkan kerjasama kesejawatan untuk meningkatkan efektifitas belajar siswa pada masa induksi ini dilakukan melalui rancangan kegiatan Lesson Study (LS). Desain Lesson Study (LS) ini digunakan dengan pertimbangan bahwa melalui kegiatan Lesson Study (LS) guru dan siswa akan terbiasa dengan budaya peningkatan mutu serta terbuka terhadap masukan.
Hasil studi The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) membuat gusar Amerika Serikat. IEA, organisasi yang bergerak di bidang penilaian dan pengukuran pendidikan yang berkedudukan di Belanda, menyelenggarakan studi kemampuan matematika dan sains bagi siswa kelas 8. Studi berlabel The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1994-1995 menempatkan nilai matematika rata-rata siswa Amerika Serikat yang mendapat skor 500, berada di rangking ke-28 dari 41 negara peserta.
Amerika kemudian mengadakan studi banding ke Jepang dan Jerman. Tim studi banding merekam pembelajaran matematika di Jepang dan Jerman.Mereka melakukan analisis, membandingkan dengan pembelajaran matematika di Amerika. Hasilnya, Amerika menyadari tidak memiliki sistem untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Mereka menilai Jepang dan Jerman memiliki sistem peningkatan mutu pembelajaran berkelanjutan.
Para ahli pendidikan Amerika mempelajari jugyokenkyu, yang sudah diterapkan sekolah-sekolah di Jepang untuk meningkatkan mutu pembelajaran secara berkelanjutan.Jugyokenkyu konon telah berkembang di Jepang sejak 1870-an. Jugyo bermakna pembelajaran (lesson) dan kenkyu yang bermakna pengkajian (study, research). Tak lama, jugyokenkyu pun diterapkan di sekolah-sekolah di Amerika, dengan nama populer lesson study.
Lesson study kemudian juga berkembang ke sejumlah negara Eropa dan Australia. Buku The Teaching Gap: Best Ideas from the World’s Teachers for Improving Education in the Classroom (1999) yang ditulis J W Stigler dan J Hiebert turut mendorong perkembangan lesson study di dunia. Buku ini memberi gambaran proses pembelajaran di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat. Tradisi pembelajaran yang dilakukan di Jepang, yang dipopulerkan Amerika dengan nama lesson study, menarik perhatian dunia.
Setelah menerapkan lesson study, peringkat Amerika Serikat pada TIMSSRepetition (TIMSS-R) 1999 memang tidak serta merta naik drastis. Skor siswa Amerika hanya naik sedikit menjadi 502 dan berada di peringkat ke-19 dari 39 negara. Namun sudah cukup jauh di atas skor rata-rata internasional yakni 487. Indonesia meraih skor 403 dan berada di posisi ke-35, hanya di atas Chili (392), Filipina (345), Marokko (337), dan Afrika Selatan (275).
Pada The Trend International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003, Amerika Serikat berada di posisi ke-15 dengan skor 504. Capaian ini sudah jauh dari skor rata-rata internasional dari 45 negara peserta studi TIMSS 2003, yang hanya 466. Siswa SMP kelas 8 Indonesia hanya berada di peringkat ke-34 dengan skor 411, masih di bawah skor rata-rata internasional.
Herannya, negara Singapura yang selalu menempati peringkat pertama TIMSS mau mempelajari lesson study. Negeri Asia Tenggara lainnya yang menerapkan lesson study di sekolah-sekolah adalah Thailand dan Vietnam.
Indonesia termasuk negara yang beruntung bisa mempelajari lesson study dengan bantuan dari pemerintah Jepang, melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Kerjasama teknis berlabel Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Profect (IMSTEP) ditandatangani pada Oktober 1998. IMSTEP dilakukan di IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia), IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta), dan IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang).
Lesson Study adalah sebuah kegiatan untuk guru yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan professional mereka dengan cara meneliti dan mempelajari implementasi pembelajaran nyata mereka secara obyektif (Hand Out : Yoshitaka Tanaka, JICA Projekt Team,17 Mei 2011). Menurut beberapa ahli, Lesson Study adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangkan meningkarkan hasil pembelajaran (Garfield,2006). Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Walker (2005) menyatakan bahwa Lesson Study merupakan suatu metode pengembangan profesional guru. Jadi jelas, selain untuk meningkatkan efeftivitas pembelajaran, Lesson Study juga akan bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi guru, yang pada akhirnya meningkatkan profesionalisme guru.
Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu plan (merencanakan), do (melaksanakan), dan see (mereflesikan) yang secara bersiklus dan berkelanjutan. Lesson Study merupakan salah satu wujud pengembangan komunitas belajar (learning community).
Plan bertujuan merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa dan berpusat pada siswa, bagaimana supaya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan yang baik tidak dilakukan sendirian, tetapi bersama-sama. Beberapa guru dapat berkolaborasi merancang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Perencanaan diawali analisis permasalahan dalam pembelajaran.Masalah itu kemudian dibahas bersama guru-guru, hingga melahirkan lesson plan, teaching materials, berupa media pembelajaran, lembar kerja siswa, dan metode evaluasi. Fokus diskusi pada materi ajar,teaching materials, dan strategi pembelajaran. Diskusi mendorong lahirnya kolegalitas antarguru. Di sini juga tercipta iklim saling belajar antarguru.
Pada tahap ini, pengetahuan guru bisa berkembang secara produktif melalui pertukaran pemahaman tentang masalah yang diajukan. Setiap peserta diskusi mengajukan pendapatnya menurut sudut pandang dan pengalaman masing-masing. Diskusi melahirkan kesepakatan bersama yang bisa jadi merupakan pengetahuan baru dan dapat diterima secara bersama.
Tahap plan juga dilakukan untuk membahas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang akan dilaksanakan oleh guru model pada tahapan do.Artinya, RPP merupakan hasil pembahasan bersama, sehingga para guru ketika melakukan observer tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang sudah disepakati bersama dalam RPP. RPP yang disusun bersama diharapkan kualitasnya lebih baik jika dibandingkan RPP yang dikembangkan secara individual.
Berkembangnya pengetahuan guru bisa juga didapat saat ia menjadi pengamat (observer), atau melaksanakan tahap do. Tahapan do atau pelaksanaan adalah menerapkan apa yang sudah direncanakan. Biasanya, dalam perencanaan telah disepakati siapa guru yang akan mengimplemen tasikan pembelajaran, atau biasa disebut guru model. Pada pelaksanaan induksi guru modelnya sudah pasti guru pemula. Ditetapkan juga kelas model untuk mengujicoba efektivitas model pembelajaran yang telah dirancang.
Guru-guru lain, bertindak sebagai pengamat pembelajaran (observer). Pengamat pada pelaksanaan induksi yang utama adalah guru pembimbing, biasanya sebelum pembelajaran ada briefieng untuk menjelaskan kegiatan open class, atau pembelajaran di kelas model
Selama pembelajaran berlangsung pengamat tidak boleh berbicara dengan sesama pengamat. Apalagi terlibat aktivitas pembelajaran. Para pengamat dapat melakukan perekaman kegiatan pembelajaran melalui video atau foto digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan studi.
Keberadaan para pengamat di dalam ruangan kelas disamping mengumpulkan informasi juga dimaksudkan untuk bisa belajar. Pengamat bukan melakukan evaluasi terhadap guru model. Observer mengamati respons dan perilaku siswa RPP yang disusun bersama para guru. Latar belakang para observer yang berbeda ini tentunya memunculkan variasi hasil pengamatan. Temuan hasil observasi yang beragam tersebut memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan secara lebih produktif sehingga masing- masing guru mampu mendapatkan pengetahuan pembelajaran yang lebih komplit.
Apa yang jadi pengamatan dalam pembelajaran dibahas dalam tahap ketiga, yakni see (refleksi). Pada refleksi, yang dilakukan seusai pembelajaran, guru dan pengamat mendiskusikan hasil pelaksanaan. Diskusi dipandu oleh moderator yang sudah ditunjuk. Releksi dimulai dengan memberikan kesempatan kepada guru menyampaikan kesan saat pembelajaran. Setelah itu para pengamat diminta berkomentar berkenaan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Kritik dan saran para pengamat disampaikan secara bijak, buka untuk mengevaluasi guru.
Hal-hal yang lebih terperinci dari setiap tahapan. Tahapan Plan mencakup empat langkah; (1) Menganalisis topik (2) Menganalisis realitas siswa, (3) Membuat Rencana Pembelajaran, dan (4) Memeriksa Rencana Pembelajaran. Pada tahapan Do mencakup tiga langkah; (5) Membangkitkan minat siswa, (6) Menyadari pembelajaran bermakna bagi siswa, dan (7) Menyimpulkan pelajaran. Tahapan See adalah (8) Merefleksi pelajaran. Hasil dari tahapan See akan diberikan kembali pada tahapan Plan dan Do untuk peningkatan pelajaran selanjutnya.
Implementasi lesson study pada program induksi adalah sebagai berikut :
1.Tahapan “Plan” pada PIGP kegiatan yang dilakukan adalah : Persiapan Pembimbingan : dalam Menyusun Perencanaan Pembelajaran, yang mengembangkan Model Pembelajaran dengan pen dekatan Student centered dan strategi discovery inquiry
2. Tahapan “Do” pada PIGP kegiatan yang dilakukan adalah :
Observasi Pembelajaran dalam pembimbingan (a) Pembimbing observasi pada fokus sub kompetensi yang disepakati, maksimal 5 (lima) sub kompetensi dari 14 kompetensi guru pada setiap pelaksanaan, kemudian pelaksanaan observasi yang dilakukan terhadap focus sub-kompetensi yang telah disepakati, dan diakhiri pertemuan pascaobservasi untuk membahas hasil observasi dan memberikan umpan balik berdasarkan focus sub-kompetensi yang telah disepakati bersama, berupa ulasan tentang hal-hal yang sudah baik dan hal yang perlu dikembangkan. (b) Observer lain mengamati interaksi peserta didik-peserta didik dengan kelompok, dengan bahan ajar, dengan guru

3. Tahapan “See” pada PIGP kegiatan yang dilakukan adalah : (a) Refeksi proses pembelajaran pada pasca observasi (PIGP) (b) Pengkajian Hasil Refleksi di MGMP Sekolah dan MGMP Kab/Kota
Subagio,M.Pd, adalah Kepala SMP Negeri 2 Cibeureum Kab. Kuningan

Senin, 09 Mei 2011

MANAJEMEN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI SEKOLAH

Oleh : Subagio,M.Pd

Murgatroyd dan Morgan (1994) menyatakan bahwa fokus mutu bagi pelanggan adalah hal yang mengantarkan pada perkembangan batang tubuh teori, alat, dan aplikasinya didalam dunia manajemen. Bennet dkk. (1992) menghindari untuk mendefinisikan dan mengkonseptualisasikan Total Quality Management (TQM) karena tidak satupun teori TQM yang bisa dianggap satu-satunya. karena itu mereka mengidentifikasi prinsip-prinsip mendasar dengan memadukan hal-hal yang dianggap penting (kunci) yang tidak boleh tidak (seharusnya) pada awal dikembangkannya TQM, seperti: (1) definisi kualitas lebih mengacu pada konsumen, bukan pada pemasok, (2) konsumen adalah seseorang memperoleh produk atau layanan, seperti mereka yang secara internal dan eksternal terkait dengan organisasi dan bukannya yang hanya menjadi “pembeli” atau “pembayar”, (3) mutu harus mencukupi persyaratan kebutuhan, persyaratan, dan standar, (4) mutu dicapai dengan mencegah kerja yang tidak memenuhi standar, bukannya dengan melacak kegagalan melainkan dengan peningkatan layanan dan produk yang terus menerus, (5) peningkatan mutu dikendalikan oleh manajemen tingkat senior, namun semua yang terlibat di dalam organisasi harus ikut bertanggung jawab; mutu harus dibangun di dalam setiap proses, (6) mutu diukur melalui proses statistik, anggaran mutu adalah anggaran (biaya) yang tidak disesuaikan dengan tuntutan persyaratan, sehingga terjadi “kesenjangan” antara dugaan dan penyerahan barang, (7) alat yang paling ampuh untuk menjamin terjalinnya mutu adalah kerjasama (tim) yang efektif, dan (8) pendidikan dan pelatihan merupakan hal fundamental terhadap organisasi yang bermutu. Di bidang pendidikan, manajemen peningkatan mutu dapat didefinisikan sebagai sekumpulan prinsip dan teknik yang menekankan bahwa peningkatan mutu harus bertumpu pada lembaga pendidikan untuk secara terus menerus dan berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasinya guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Di dalam Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) terkandung upaya: (1) mengendalikan proses yang berlangsung di lembaga pendidikan/sekolah baik kurikuler maupun administrasi, (2) melibatkan proses diagnosis dan proses tindakan untuk menindaklanjuti diagnosis, dan (3) peningkatan mutu harus didasarkan atas data dan fakta, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4) peningkatan mutu harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, (5) peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di lembaga pendidikan, dan (6) peningkatan mutu memiliki tujuan yang menyatakan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada peserta didik, orang tua dan masyarakat.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah (otda), muncul banyak masalah seperti makna otonomi kurang dihayati dan diterapkan sebagai tercapainya demokrasi, kemandirian, dan pemberdayaan, tetapi lebih terfokus pada proses interaksi politik. Wujudnya adalah tarik-menarik kepentingan antara pusat ¬daerah, provinsi-kabupaten/kota, dan kabupaten/kota-kabupaten kota, baik dalam lingkup eksekutif maupun legislatif UU RI No. 22 Tahun 1999, dan UU RI No.25 Tahun 1999 direvisi menjadi UU RI No. 32 Tahun 2004 dan UU RI No. 33 Tahun 2004, baik dalam kaitannya dengan Pemerintah Daerah maupun Perimbangan Keuangan antara Pusat-Daerah mewujudkan gejala tersebut. Revisi ini pun akan menimbulkan masalah baru karena sosialisasinya terlalu cepat dan singkat serta belum siapnya perubahan pola pikir (mindset) menuju tatanan pemerintahan yang disepakati. Tentu saja revisi tersebut memiliki dampak positif dan negatif.
Masalah baru tersebut, yaitu (1) perubahan kedudukan kabupaten/kota dari otonomi menjadi bagian provinsi, (2) perubahan DPRD dari badan legislatif menjadi unsur pemda, (3) perubahan peran DPRD dalam pemilihan kepala daerah langsung dari menentukan pilihan menjadi penonton, (4) RAPBD Kabupaten/Kota dapat “dianulir” provinsi, (5) perubahan Badan Perwakilan Desa dari “DPR-nya desa” menjadi Badan Permusyawaratan Desa, (6) perubahan 11 urusan diserahkan ke kabupaten/kota menjadi adanya urusan wajib dan urusan pilihan yang penyerahannya pun harus memenuhi persyaratan tertentu, dan (7) perubahan jabatan sekretaris desa menjadi jabatan PNS.
Otonomi daerah telah dimulai sejak 1 Januari 2001. Sejalan dengan reformasi dan demokratisasi pendidikan yang sedang bergulir, pemerintah telah bertekad bulat untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan yang bertumpu pada pemberdayaan sekolah di semua jenjang pendidikan.
Tujuan otda di bidang pendidikan antara lain (1) meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih dekat, cepat, mudah, murah, dan sesuai kebutuhan masyarakat dengan menekankan pada prinsip demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa (memperhatikan potensi dan keaneka¬ragaman daerah), sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; (2) pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat; (3) memberikan keteladanan, membangun kemauan; (4) mengembangkan kreativitas peserta didik, (5) mengembangkan budaya membaca, menulis, berhitung, dan memberdayakan seluruh komponen masyarakat (peran serta masyarakat); (6) pemerataan dan keadilan; (7) meningkatkan kesejahteraan pendidik dan tenaga ; kependidikan; (8) akuntabilitas publik; (9) transparansi; (10) memperkuat ; integritas bangsa (memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI); (11) meningkatkan daya saing di era global. Jika tujuan ini tercapai maka hal-hal inilah yang menjadi dampak positif otda terhadap input pendidikan.
Wawasan tentang manajemen peningkatan mutu seharusnya dikaji dengan membandingkan karakteristik antara manajemen tradisional dengan manajemen peningkatan mutu atau TQM. Cole (dalam A. Sonhadji, 1999) mengemukakan setidak-tidaknya terdapat sepuluh hal yang membedakan keduanya.
Secara singkat kesepuluh perbedaan itu dapat diringkas sebagai berikut: (1) cara mencari pendekatan pemecahan masalah, (2) metode yang digunakan, (3) penggunaan inovasi, (4) upaya peningkatan, (5) jangka waktu yang difokuskan, (6) cara memperlakukan kesalahan, (7) penggunaan opini vs fakta, (8) penekanan sumber daya, (9) motivasi peningkatan kualitas, dan (10) arah pengembangan.
Dalam banyak hal, manajemen tradisional sering menggunakan paradigma lama dalam membuat kepuasan. Sementara itu, Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) memanfaatkan hasil inovasi-inovasi baru dalam menentukan tindakannya. Pengendalian kualitas tradisional lebih diarahkan pada mekanisme defensif, yang cenderung berusaha mengurangi kegagalan atau mengeliminasi deteksi. Hal ini berbeda dengan Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) yang selalu memajukan metodologi pengendalian mutu dan mengembangkan teori dan teknik baru dalam meningkatkan mutu.
Dapat dimengerti apabila Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) menggunakan model perencanaan strategik dalam memformulasikan strateginya, karena Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) berorientasi pada strategi jangka panjang. Model ini secara spesifik disebut perencanaan kualitas strategik (strategic quality planning). Perencanaan strategik memiliki peran simulasi dan stimulasi. Perencanaan strategik memuat stimulasi masa depan yang diinginkan dan sekaligus pula merupakan stimulasi bagi eksekutif untuk bertanggung jawab melaksanakan rencana yang telah disusun secara efektif.
Manajemen tradisional cenderung menggunakan pendekatan inspeksi terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi, kemudian berupaya melakukan koreksi. Hal ini, berbeda dengan MPM yang berusaha mencegah kesalahan dan mencapai tingkat kualitas tertentu, sejak perencanaan sampai dengan implementasinya secara terus-menerus.

BEBERAPA KOMPONEN PENUNJANG MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU (MPM)
Manajemen peningkatan mutu mempersyaratkan integrasi dari berbagai faktor yang perlu diintegrasikan. Faktor itu adalah klien (pelanggan), kepemimpinan, tim, proses, dan struktur.
Pelanggan atau klien. Dalam organisasi MPM pelanggan atau klien adalah seseorang atau kelompok yang menerima produk atau jasa layanan. Jadi, klien tidak berada secara eksternal terhadap organisasi tetapi berada pada setiap tahapan yang mempersyaratkan penyempurnaan hasil sebuah produk atau pemberian layanan. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat mata rantai dari klien, yang keterkaitannya bersama dengan proses. Manajemen mutu mempersyaratkan organisasi melakukan penggalian dengan bertanya atau mendengarkan, yang tentunya kepada klien yang tepat. Dalam hal ini diperlukan umpan balik yang pasti untuk menjamin bahwa layanan yang dikerjakan memang tepat. Hal-hal yang tercakup di dalam MPM terhadap pelanggan adalah nilai-nilai organisasi, visi, dan misi yang perlu dikomunikasikan, yang dikerjakan dengan memperhatikan etika dalam pengambilan keputusan dan perencanaan anggaran.
Kepemimpinan. Jika integritas moral merupakan hal yang fundamental bagi MPM, maka kepemimpinan merupakan cara mengerjakannya. Kepemimpinan dalam konteks MPM adalah menetapkan dan mengendalikan visi. MPM secara tajam menggambarkan perbedaan antara memimpin, memanaj, dan mengadministrasikan. Mutu kepemimpinan mencukupi : visi, kreativitas, sensitivitas, pemberdayaan (empowerment), manajemen perubahan. Pemimpin dalam MPM pada dasarnya peduli dengan nilai-nilai dan orang, menetapkan arah dan mengijinkan orang untuk mencapai target, yang berhubungan dengan hal¬-hal makro maupun mikro. Isu dalam pendidikan adalah sejauh mana kepemimpinan dibedakan dad manajemen dan administrasi.
Tim. Sebuah tim merupakan kualitas kelompok. Hampir semua kepustakaan menekankan pentingnya kejelasan tujuan dan hubungan interpersonal yang efektif sebagai dasar terjadinya kerja kelompok yang efektif. Baik secara teoretik maupun praktek tim dipandang sebagai hal yang fundamental terhadap manajemen mutu di dalam organisasi.
Proses. Kunci penting dalam manajemen mutu adalah menetapkan komponen proses kerja. Pada dasarnya, sekali klien menetapkan persyaratan yang telah disepakati, maka hal penting untuk dilakukan adalah menetapkan proses dan prosedur yang menjamin kesesuaiannya dengan persyaratan.
Struktur. Organisasi yang mencoba memperkenalkan MPM tanpa meninjau strukturnya mungkin akan menghadapi kegagalan. Beberapa organisasi memiliki struktur yang berfokus pada klien cenderung mendasarkan diri pada hirarki formal sekaligus membatasi kerja praktis yang berfokus. Misalnya: organisasi secara utuh memiliki “kedekatan” dengan klien, pemasok berbicara langsung dengan klien.
MPM yang efektif perlu juga memperhatikan beberapa hal yang mempengaruhi mutu yang dikemukakan oleh Murgatroyd dan Morgan (1994) sebagai "3 Cs of TQM", yaitu: culture, commitment, dan communication.
Budaya yang dimaksudkan di sini meliputi aturan-aturan, asumsi-¬asumsi, dan nilai-nilai yang mengikat kebersamaan dalam organisasi. Keberhasilan MPM dari suatu organisasi ditentukan bagaimana organisasi menciptakan budaya, seperti: (a) inovasi dipandang bernilai tinggi, (b) status dinomorduakan, yang dipentingkan adalah performansi dan kontribusi, (c) kepemimpinan adalah sebuah kunci dari kegiatan/tindakan, bukan posisi, (d) ganjaran dibagi rata melalui kerja tim, (e) pengembangan, belajar dan pelatihan dipandang sebagai sarana penunjang, dan (f) pemberdayaan untuk mencapai tujuan yang menantang didukung oleh pengembangan yang berkelanjutan dan keberhasilan seharusnya merupakan iklim untuk memotivasi diri sendiri.
Keberhasilan MPM suatu organisasi seharusnya melahirkan rasa kebanggaan dan kesempatan untuk berkembang bagi orang-orang di dalamnya (staf dan klien) sehingga mereka merasa sebagai pemilik (ikut memiliki) perwujudan tujuan organisasi bersama dan di antara semua karyawan. Komitmen berarti juga keterlibatan menanggung akibat dalam pencapaian tujuan, menuntut kerja yang sistematik, meneruskan informasi mengenai adanya kesempatan untuk melakukan inovasi dan pengembangan. Komitmen sifatnya normatif.
Komunikasi di antara anggota tim memiliki kekuatan, walaupun sederhana tetapi efektif. Komunikasi harus didasarkan pada kenyataan dan pengertian yang murni, bukannya asumsi apalagi yang sifatnya humor. Komunikasi memiliki alur yang bebas dalam organisasi.

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan pemerintah pusat untuk menetapkan kebijakan tentang perencanaan nasional yang menjadi pedoman atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi, kabupaten/ kota sebagai daerah otonom. Dalam rangka standardisasi itulah, maka Mendiknas menerbitkan Kepmen No. 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Isi SPM tersebut adalah Pedoman SPM Penyelenggaraan TK, SD, SMP. SMA, SMK, dan SLB sebagai berikut.(1). Dasar hukum (2). Tujuan penyelenggaraan sekolah (3). Standar kompetensi (4). Kurikulum (5). Peserta didik (6). Ketenagaan (7). Sarana dan prasarana (8). Organisasi (9). Pembiayaan (10). Manajemen (11). Peran serta masyarakat

Pedoman administrasi Sekolah Menengah Pertama berisikan.
1. Pendahuluan (latar belakang, tujuan, pendekatan, dan ruang lingkup).
2. Organisasi sekolah (struktur, fungsi dan tugas, mekanisme hubungan kerja, dan alur kerja).
3. Penyelenggaraan administrasi sekolah (pengertian, tujuan, dan ruang lingkup).
4. Komponen administrasi (kurikulum, kesiswaan, tenaga kependidikan, sarana, persuratan dan kearsipan, dan peran serta masyarakat.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 129a/U/2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal ( SPM ) bidang Pendidikan,

(1) SPM Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas : (a). 90 persen anak dalam kelompok usia 13-15 tahun bersekolah di SMP/MTs. ( b). Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang ber-sekolah. ( c). 90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional. (d). 80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya. (e). 90 persen dari jumlah guru SMP yang diperlukan ter-penuhi.(f). 90 persen guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional. ( g). 100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran. (h). Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30– 40 siswa. (i). 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS di kelas I dan II. (j). 70 persen dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar
Kemdiknas terbitkan Permendiknas nomor 15 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal atau SPM pendidikan dasar.
Kemdiknas telah menerbitkan regulasi baru yakni Permendiknas nomor 15 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal atau SPM pendidikan dasar. Oleh karen itu Direktorat Mandikdasmen mengadakan sosialisasi Standar pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Jakarta. SPM Pendidikan Dasar ini bertujuan untuk peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan SD/MI dan SMP/ MTs.
SPM pendidikan dasar dapat diartikan sebagai ketentuan tentang jumlah dan mutu layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk SD dan SMP dan Kandepag untuk MI dan MTs secara langsung maupun secara tidak langsung melalui sekolah dan madrasah.
SPM diharapkan mampu mempersempit kesenjangan mutu pendidikan yang kedepannya juga diharapkan berimplikasi pada mengecilnya kesenjangan sosial ekonomi.
SPM mulai diberlakukan tahun 2011 dengan tahapan rehabilitasi sarana dan prasarana sekolah pelatihan guru dan tenaga pendidik. Maka diharapkan dalam waktu tiga tahun atau pada tahun 2013 seluruh SD/MI dan SMP/MTs sudah melaksanakan SPM.
Standar pelayanan minimal pendidikan dasar selanjutnya disebut SPM Pendidikan Dasar adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan merupakan ketentuan tentang jumlah dan mutu layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah Kementerian Agama, dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota secara langsung maupun secara tidak langsung melalui sekolah dan madrasah. Penerapan SPM dimaksudkan untuk memastikan bahwa di setiap sekolah dan madrasah terpenuhi kondisi minimum yang dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya proses pembelajaran yang memadai.
SPM Pendidikan meliputi layanan-layanan :
* yang merupakan tanggung-jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi tugas pokok dan fungsi dinas pendidikan untuk sekolah atau kantor departemen agama untuk madrasah (misalnya: penyediaan ruang kelas dan penyediaan guru yang memenuhi persyaratan kualifikasi maupun kompetensi);
*yang merupakan tanggung-jawab tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota c/q Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama - karena layanan diberikan oleh pihak sekolah dan madrasah, para guru dan tenaga kependidikan, dengan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama (contoh: persiapan rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar siswa terjadi di sekolah, dilaksanakan oleh guru tetapi diawasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota).
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota c/q oleh Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama dalam menyelenggarakan layanan pendidikan.
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai hal yang harus disediakan dan dilakukan oleh dinas pendidikan, sekolah/madrasah untuk memastikan bahwa pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
SPM menyatakan dengan jelas dan tegas kepada warga masyarakat tentang tingkat layanan pendidikan yang dapat mereka peroleh dari sekolah/ madrasah di daerah mereka masing-masing.
SPM tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan tahapan menuju pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Dengan ditetapkannya SPM Bidang Pendidikan Dasar maka setiap daerah perlu menyusun perencanaan program/kegiatan untuk mencapai SPM. Untuk mengukur sejauh mana kinerja dinas pendidikan telah mencapai SPM atau belum maka dinas pendidikan perlu melakukan pemetaan terhadap kinerja layanan dinas pendidikan/depag serta sekolah-sekolah (SD/MI dan SMP/MTs). Dari pemetaan tersebut diketahui kinerja mana yang belum mencapai SPM dan kinerja mana yang sudah mencapai SPM.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dinas pendidikan perlu menganalisis pencapaian masing-masing indikator yang tercantum dalam standar pelayanan minimum (SPM) bidang pendidikan. Hasil analisis kondisi pencapaian SPM digunakan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan, program, kegiatan dan juga pembiayaan ketika menyusun dokumen rencana strategis pencapaian SPM.
Dengan demikian dalam mengembangkan rencana peningkatan mutu pendidikan setiap kabupaten/kota perlu memperhatikan kondisi pencapaian SPM di daerah masing-masing. Setiap tahun program pencapaian SPM perlu dilaksanakan sampai SPM benar-benar tercapai. Pelaksanaan dan capaian program juga di monitor dan dievaluasi sehingga diketahui indikator apa saja yang belum dicapai, dan berapa perkiraan biaya yang diperlukan untuk mencapai SPM. Sehingga diharapkan semua kabupaten/kota telah mencapai SPM pada tahun 2014.

Jumat, 06 Mei 2011

Sekolah Berstandar Nasional

Oleh : Subagio,M.Pd.
( Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan )

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sudah bukan isu baru lagi, negeri ini kalah bersaing dengan negara maju. Rendahnya pendidikan menyebabkan tingkat kompetisi dalam semua bidang menjadi rendah pula. Maka satu-satunya jalan adalah meningkatkan kualitas pendidikan dengan maksimal.

Prof. Dr. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi terbaik bangsa ini ke depan. Investasi tersebut baru dipetik hasilnya mungkin dua puluh lima tahun mendatang atau bahkan satu generasi. Upaya ini membutuhkan proses panjang, dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, konsisten, dan intensif. Investasi tersebut harus terus dikembangkan karena tantangan globalisasi sudah di depan mata. Mau tidak mau, itulah fakta yang harus diterima.

Menurut Prof. Dr. H.A.R Tilaar, globalisasi yang sedang dan akan dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia semakin lama semakin intens, maka pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimanakah mengelola sistem pendidikan nasional agar dapat sejalan dengan dinamika global yang sedang dan akan terjadi? Sudah kita lihat pula bahwa proses globalisasi di dalam dunia terbuka tidak memungkinkan lagi hidupnya suatu organisasi yang mempertahankan status quo. Tidak ada jalan lain, setiap organisasi harus berubah dan dinamis, agar output yang dihasilkan oleh organisasi tersebut semakin lama semakin tinggi kualitasnya. Apabila organisasi tersebut, termasuk organisasi pendidikan, tetap mempertahankan status quo, maka hasilnya ialah manusia dan masyarakat Indonesia yang tidak dapat survive di dalam dunia yang kompetitif.

Sudah menjadi fakta sejarah bahwa negara yang besar adalah negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Fakta ini mementahkan arah pembangunan suatu bangsa yang banyak menekankan pada pengembangan sumber daya alam (SDA). Jepang, Korea, dan Singapura merupakan contoh nyata negara yang tidak memiliki SDA melimpah tetapi menjadi negara maju karena memiliki SDM berkualitas. Peningkatan layanan dan kualitas pendidikan merupakan satu-satunya langkah dalam upaya pengembangan SDM itu.

Menurut Sukirman (2009), pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk mewujudkan fungsi itu, Departemen Pendidikan Nasional sebagai pemegang otoritas dalam dunia pendidikan Indonesia harus melakukan berbagai upaya, seperti meningkatkan mutu sekolah di seluruh Indonesia.

Permasalahan utama pendidikan di Indonesia saat ini antara lain (a) terjadinya disparitas/keragaman mutu pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan 1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas, kualitas, maupun kesejahteraannya, 2) sarana prasarana belajar yang belum memenuhi kebutuhan, jika tersedia pun belum didayagunakan secara optimal, 3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, 4) proses pembelajaran yang belum efektif dan efisien; dan (b) penyebaran sekolah yang belum merata, ditandai dengan belum meratanya partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat, seperti masih terdapatnya kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, kota dan desa, laki-laki dan perempuan, antar wilayah.

Dua permasalahan di atas menjadi bertambah parah jika tidak didukung dengan komponen utama pendidikan seperti kurikulum, sumber daya manusia pendidikan yang berkualitas, sarana dan prasarana, serta pembiayaan.

Belajar dari kondisi tersebut, solusi pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah menerbitkan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tercermin dalam rumusan visi dan misi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sedangkan misinya adalah sebagai berikut :
• Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
• Meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat regional, nasional, dan internasional;
• Meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global;
• Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
• Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
• Meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan
• Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional tersebut diperlukan suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria yang esensial dari berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Acuan dasar tersebut di atas merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu.

Standar nasional pendidikan sebagai penjabaran visi dan misi pendidikan nasional tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Pada dasarnya, standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya.

Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Selain itu, standar nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.

Salah satu implikasi dari peraturan pemerintah tersebut adalah pemerintah berkepentingan untuk melakukan pemetaan sekolah/madrasah dengan melakukan pengategorian sekolah.

Disamping itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga mendortong dan membantu satuan pendidikan formal dalam melakukan penjaminan mutu (quality assurance) agar memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan, sehingga dapat dikategorikan ke dalam kategori mandiri/standar nasional. Standar mutu (quality assurance) digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan institusi pendidikan. Standar mutu pendidikan misalnya dapat berupa pemilikan atau akuisisi kemampuan dasar pada masing-masing bidang pembelajaran, dan sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Selain itu, pihak manajemen juga harus menentukan standar mutu materi kurikulum dan standar evaluasi yang akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai standar kemampuan dasar.

Standar mutu proses pembelajaran harus pula ditetapkan, dalam arti bahwa pihak manajemen perlu menetapkan standar mutu proses pembelajaran yang diharapkan dapat berdaya guna untuk mengoptimalkan proses produksi dan untuk melahirkan produk yang sesuai, yaitu yang menguasai standar mutu pendidikan berupa penguasaan standar kemampuan dasar. Pembelajaran yang dimaksudkan sekurang-kurangnya memenuhi karakteristik; menggunakan pendekatan pembelajaran pelajar aktif (student active learning), pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstruktif, dan pembelajaran tuntas (mastery learning).

Begitu pula pada akhirnya, pihak pengelola pendidikan menentukan standar mutu evaluasi pembelajaran. Standar mutu evaluasi yaitu bahwa evaluasi harus dapat mengukur tiga bentuk penguasaan peserta didik atas standar kemampuan dasar, yaitu penguasaan materi (content objectives), penguasaan metodologis (methodological objectives), dan penguasaan ketrampilan yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari (life skill objectives). Dengan kata lain, penilaian diarahkan pada dua aspek hasil pembelajaran, yaitu instructional effects dan nurturant effects. Instructional effects adalah hasil-hasil yang kasat mata dari proses pembelajaran, sedangkan nurturant effects adalah hasil-hasil laten proses pembelajaran, seperti terbentuknya kebiasaan membaca, kebiasaan pemecahan masalah.

Dalam rangka memenuhi peningkatan kualitas pendidikan, lahirlah sekolah standar nasional (SSN) sebagai sebuah terobosan progresif pemerintah dalam memajukan pendidikan di negeri ini secara akseleratif. SSN menjadi indikator kemajuan pendidikan. Oleh sebab itu, semua lembaga pendidikan harus didorong untuk mencapai level SSN dengan cara mengembangkan potensi secara maksimal dari segala aspek yang ditetapkan.

Disinilah urgensi SSN sebagai manifestasi dan bukti komitmen pemerintah dalam memajukan lembaga pendidikan. Tentu, pemerintah tidak hanya sekedar assesor yang bertindak menilai, tapi juga sebagai fasilitator, dinamisator, dan inovator yang menggerakkan potensi yang ada ke arah kebangkitan seperti yang diharapkan.