Jumat, 03 Mei 2013

KETAHANMALANGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH (2)

Pengertian Ketahanmalangan (Adversity Quotient) Menurut Stoltz, ketahanmalangan merupakan terjemahan dari Adversity Quotient (AQ) adalah bagaimana seseorang merasa mampu menghadapi tantangan dengan kondisi-kondisi lain. Berarti ketahanmalangan adalah bagaimana seseorang memiliki dayatahan tinggi, atau tahan banting untuk menghadapi kesulitan, hambatan, tidak akan mengulangi kesalahan, dan akan menerima tanggung jawab untuk berbagai masalah. Dengan kata lain bahwa orang yang mempunyai kemampuan kontrol perasaan, terampil menyelesaikan berbagai masalah yang dibatasi oleh waktu dan tempat akan dilewati cepat dan efektif. Jadi ketahanmalangan (adversity quotient) sebagai ukuran tentang bagaimana seseorang memersepsikan tantangan-tantangan,dan seberapa tahan mereka menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Menurut Nelson, ketahanmalangan menggambarkan suatu ketahanan fisik, mental, spritual untuk mengatasi perubahan yang cepat. Juga merupakan ukuran dari kemauan seseorang untuk menguasai kemalangan, mereka dapat menguasai kemalangan dengan baik akan menjadi pemimpin sekarang dan masa depan. Selanjutnya Stoltz menyebutkan, situasi yang sulit tidak menciptakan halangan-halangan yang tidak dapat di atasi. Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan peluang, dan setiap peluang harus diterima. Perubahan merupakan bagian dari suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Ketika berhadapan dengan tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas-batas kemampuan mereka benar-benar teruji. Seperti dikemukakan Taylor, masalah yang tidak bisa diselesaikan tidak lebih dari ketidakmampuan seseorang mencari kemungkinan jalan keluar yang positif, yang bisa diraih dengan memfokuskan perhatian terhadap pemecahan masalah. Dengan kata lain masalah muncul karena ketidakmampuan seseorang menyadari adanya peluang. Masalah memiliki kemampuan untuk mengarahkan pikiran ke tahap instropeksi yang agung, dimana akan menerima inspirasi, kecerdasan, dan nilai-nilai personal. Tetapi ada juga masalah suatu yang menakutkan, dinding kegagalan yang tidak bisa ditebus, kekurangan dan kekalahan. Keyakinan dan keinginan akan menentukan jalan yang diambil. Jika masalah telah terpecahkan maka akan timbul peluang sehingga akan mengalir bakat dan kecerdasan. Menurut Kelly, kondisi yang sulit akan memberikan tantangan kepada manusia untuk membuat kehidupannya menjadi bahagia dan mereka harus menerima tanggungjawab untuk membuat pilihan-pilihan dan mengarahkan nasib mereka sendiri. Orang yang melepaskan diri dari tanggungjawab adalah sikap yang tidak jujur, di mana menunjukkan keyakinan yang buruk dan akhirnya akan hidup dalam kesengsaraan. Selanjutnya Papper dalam Stolz, adversity quotient merupakan ukuran dan sekaligus falsafah, karena adversity quotient menyatukan berbagai disiplin ilmu untuk riset psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi, yang meneliti untuk memberikan gambaran tentang bagaimana cara mendekati kesulitan. Sedangkan sebagai falsafah menyajikan sebuah cara untuk membingkai kembali kehidupan kita. Adversity Quotient merupakan logika untuk bergerak maju, menjadikan diri kita lebih tabah, gigih, memiliki pengendalian diri, dan memegang kendali ke mana kita akan pergi. Menurut Bryant, kesulitan (adversity) adalah segala rintangan baik fisik, emosional, situasional atau spritual yang dapat menghambat sepanjang perjalanan hidup, sebagai contoh: apabila seorang sedang menghadapi kesulitan hidup, misalnya sakit, patah hati atau amarah yang sulit dikontrol maka dia tidak boleh melarikan diri dari kenyataan tersebut. Kesulitan tidak dapat ditinggalkan hanya karena ingin lari, bagaimanapun juga sakitnya akibat dari kesulitan harus dihadapi. Seseorang dapat tumbuh dari kesulitan, belajar dari kesulitan dan bukan hanya sekedar jalan menembus kegelapan, tapi harus juga semakin kuat menghadapinya. Terus ingat bahwa kesulitan-kesulitan yang tidak bisa dihadapi dengan tabah bisa membuat seseorang menjadi lumpuh . Prinsip-Prinsip Ketahanmalangan Selanjutnya Kenney dalam Stolz menyebutkan bahwa prinsip ketahanmalangan adalah kemampuan seseorang untuk mengalahkan kesulitan menjadi peluang. Adversity Quotient merupakan suatu kajian yang mengambil manfaat dari tiga cabang ilmu pengetahunan yakni: psikologi kognitif, psikoneuromunologi, danneurofisiologi. Dengan mendasari ilmu pengetahuan tersebut adversity qoutient akan mampu untuk memberikan pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk menggapai kesuksesan yakni antara lain: a. Adversity Quotient memberi tahu sebarapa jauh mampu ketahanan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya. b. Adversity Quotient meramalkan siapa yang mampu mengatas kesulitan, dan siapa yang akan hancur. c. Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka, atau siapa yang akan gagal. d. Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan meyerah dan siapa yang akan bertahan. Sebenarnya Adversity Quotient adalah pengetahuan daya tahan seseorang yang biasa disebut ketahanmalangan, artinya bila orang tersebut gigih berarti dia mempunyai kemampuan secara pasti untuk mengatasi kesulitan,mengambil resiko dan siap menerima kegagalan. Secara konsisten kemampuan tersebut akan meningkat, berusaha, memecahkan setiap masalah sering dengan kegigihan dia akan menjadi lebih terampil dan mampu memberdayakan diri untuk mengatasi kemalangan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari timbul pertanyaan, mengapa orang mampu bertahan sementara ia mengalami kegagalan atau mengundurkan diri. Itulah sebabnya Stoltz, membagi tiga bentuk ketahanmalangan, yakni: 1. Adversity Quoetient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk untuk memahami dalam meningkatkan semua segi kesuksesan. 2. Adversity Quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon kita terhadap suatu kesulitan. 3. Adversity Quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar-dasar ilmiah untuk memperbaiki respon kita terhadap kesulitan yang akan berakibat memperbaiki efektivitas pribadi suatu profesional kita secara keseluruhan. Adversity Quotient menjelaskan dan mengukur kecenderungan seseorang untuk mendaki, berkemah dan mengajarkan kepada seseorang keterampilan-keterampian untuk mendaki. Stoltz menggolongkan tiga bentuk untuk memperesentasikan adversity quotient yakni golongan quitters mereka yang berhenti, golongan camprers adalah golongan yang berkemah, dan golongan climbers adalah golongan pendaki. Ketiga golongan tersebut adalah mengelompokkan orang-orang yang akan sukses, orang-orang yang gagal, ataupun orang-orang yang bertahan pada permukaan yang rata tanpa kehidupan yang fluktuatif. Golongan quitters adalah orang-orang menghentikan pendakian, mereka tidak ingin mendaki gunung lebih tinggi dan menolak kesempatan untuk mendaki gunung. Mereka mengabaikan, dan menutupi atau bahkan meninggalkan dorongan diri yang manusiawi untuk mendaki dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Golongan campers adalah golongan orang-orang yang tidak pergi jauh, kemudian berkata,” hanya sampai disini saja saya mau mendaki. Saya tidak mungkin akan lebih tinggi lagi, karena bosan, mereka mengakhiri pendakian dan mencapai tempat datar yang lebih nyaman, sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Sisi tipe ini adalah paling tidak dia telah menyambut apa yang ditawarkan gunung dan mempunyai keinginan untuk menaklukkannya, namun itu belum cukup untuk bisa menancapkan tiang bendera di puncak gunung. Pendakian mereka bisa saja mudah atau lebih banyak mengorbankan apa yang dipunyai dan juga bekerja rajin untuk sampai pada titik dimana saat ini mereka berhenti. Orang yang bertipe campers kemungkinan akan merasa dirinya sukses, karena mereka tidak melihat kemungkinan akan merasa dirinya sukses, karena mereka tidak melihat keuntungan yang signifikan apabila mereka meneruskan perjalanan yang tinggal sejenak. Mereka menganggap bahwa kesuksesan meraka adalah apa yang telah dicapai saat ini. Tentu saja ini merupakan pandangan yang keliru, karena mereka beranggapan bahwa perjalanan yang dicapai sebagai titik penilaian. Dengan demikian meskipun camprers telah berusaha mencapai tempat perkemahan, mereka tidak mungkin mempertahankan keberhasilan ini tanpa melanjutkan pendakian, karena yang dimaksud dengan pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang. Golongan ketiga yaitu type pendaki atau climbers, adalah mereka yang seumur hidup memberikan dedikasi tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan, dan kerugian, nasib baik atau buruk, dan ia terus mendaki. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisk atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya. Dalam dunia yang makin kompleks dan sulit, adversity quotient akan semakin lama semakin penting meningkatkan peranannya dalam kehidupan. Para manajer, wirausaha, guru, tenaga profesional lainnya, orangtua juga remaja semua mengalami tuntutan-tuntutan yang semakin besar. Adanya kesulitan yang serasa terus menerus menimpa dalam kehidupan mereka, akan mampu untuk memberikan tekanan yang pada akhirnya menimbulkan stress. Di dalam organisasi atau tempat kerja kesulitan juga terus menjadi topik sehari-hari. Orang merasa harus bergerak terus sehingga rasa aman karena mendapat gaji teratur, mempunyai pekerjaan jangka panjang, jaminan sosial dan uang pensiun telah lama hilang. Orang bisa saja mendapat surat pemberhentian dari Departement Human Resources karena perusahaan telah maju. Adapun yang bisa menjadi alasan bagi perusahaan untuk mengurangi pegawainya, rekayasa ulang, restrukrisasi, penyesuaian, penyusutan, revitalisasi, desentralisasi dan pernyataan-pernyataan sejenis telah menjadi momok bagi para pekerja. Akibatnya, segala hal dilakukan oleh pekerja untuk mempertahankan posisinya. Mereka meningkatkan pengetahuan, keterampilan-keterampilan yang sebelumnya tidak dimiliki. Hal ini dilakukan untuk tetap berada pada posisi yang tak tergusur oleh mereka yang lebih cekatan dan lebih muda. Lebih muda itu, penting karena mereka mempunyai energi yang lebih banyak. Banyak orang kemudian bersedia untuk bekerja dengan upah yang lebih rendah. Saat sekarang banyak perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lulusan-lulusan baru agar bisa menggaji dengan standar yang rendah. Sedangkan dari sisi pekerja, mereka tidak berkeberatan digaji rendah, karena didesak oleh makan. Mereka sudah ribuan kali melakukan antrian. Hampir semua perusahaan besar maupun kecil saat ini banyak menerima surat dalam sehari yang berisi lamaran pekerjaan. Dengan demikian persaingan yang semakin ketat. Demikian juga tentang guru tenaga pendidik masih banyak yang honor yang belum diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Selanjutnya dikatakan bahwa kesulitan, kesengsaraan atau kemalangan bukanlah alat untuk menuju kehidupan spritual, tetapi proses kehidupan spiritual yang akan menunjang untuk mempermudah mengatasi kemalangan menuju kebahagian abadi yang dijangkau dari ke dalaman jiwa manusia baik pria maupun wanita, sebagai akibat dari kemampuan pengendapan emosi dan kemampuan menata ulang lingkungannya, sehingga “Adversity” sering diartikan sebagai “kepribadian” yang kemudian dianggap sebagai alat efektif untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan meningkatkan diri melalui kemampuan menuju cara sukses untuk mengatasi kemalangan. Pengertian kesengsaraan atau kesulitan (adversity) menurut Hicks adalah perputaran kehidupan manusia yang akan selalu berulang, sehingga kesulitan merupakanpantulan cermin kehidupan keadaan yang buruk. Kondisi tersebut merupakan pengalaman yang dapat mendorong agar kehidupan berputar kembali menjadi lebih baik. Dalam perkembangan selanjutnya kesulitan dianggap sebagai prakiraan yang mengarah pada perbaikan nasib atau perbaikan keberuntungan. Seseorang cenderung untuk menghadapi kesulitan dengan melakukan berbagai cara, seperti melindungi diri sendiri atau hanya menunggu untuk perubahan nasib, sehingga sebagian besar orang mencoba untuk berupaya teguh kembali dari kesakitan akibat kesulitan tersebut. Ada berbagai cara untuk mengatasi kesulitan, di antaranya adalah mengontrol kehidupan diri. Melihat kelemahan diri agar tidak menjadi budak emosi yang akan mengakibatkan kehancuran. Meneliti penyebab utama kesulitan akibat kesulitan agar dapat lebih survive, atau dengan kata lain berhasil menemukan titik tolak yang berada dalam diri sendiri . Menurut Farber menjadi manusia seperti halnya “diamonds” yang memiliki berbagai sisi dalam menghadapi berbagai jalan kehidupan, ada saatnya manusia terhasut dalam pikiran yang paling sempit yang menjepi diri sendiri dan ada kalanya terang berderang menerangi diri yang membuat manusia bahagia. Ketika kesulitan dihadapi dengan kaku, justru akan menyebabkan meneteskan air mata atau sebaliknya, kesulitan akan membantu untuk mampu membangun diri ke atas, sehingga apabila seseorang mampu mengatasi kesulitan yang selalu hadir dalam kehidupan, maka pengalaman mengatasi kesulitan yang awalnya tega membunuh akan menjadi pancaran sinar yang indah yang akan membuat seseorang menjadi lebih kuat lahir maupun batin . Basis ketahanmalangan (adversity quotient) adalah kepastian, tingkat kesulitan yang terukur, atau pola dari bagaimana seseorang mampu merespon kesulitan. Adapun yang diukur adalah kepastian yang terdiri dari bakat khusus (talents), bakat umum (aptitudes), keterampilan (skill ), pengalaman (eksprience),pengetahuan (knowledge), dan kemauan ( Will). Secara teori kapasitas manusia merupakan suatu lingkaran . Adversity Quotient pada dasarnya bertujuan untuk menilai karyawan agar mencapai “best service” dan sukses di tempat kerja. Adversity Quotient mewujudkan dua komponen esensial yaitu, konsep praktek yang diambil dari teori-teori ilmiah dan aplikasi riel yang ada di dunia. Adapun yang diukur dalam Adversity Quotient adalah keefektifan pribadi dalam kerja tim,pembinaan hubungan keluarga pengorganisasian diri, hubungan komitmen budaya dan hubungan masyarakat. Dari pendapat-pendapat di atas, berarti ketahanmalangan dapat disimpulkan bahwa kemampuan seseorang yang menggambarkan ketahanan fisik, mental, dan spritual untuk dapat menguasai dan menghadapi segala tantangan, hambatan, dan permasalahan yang timbul agar seseorang mampu membuat kehidupannya menjadi berharga dan bertanggungjawab. Jadi kecakapan seseorang menghadapi berbagai hambatan yang ditemuinya, dan mengubahnya menjadi peluang agar menjadi berharga bagi dirinya sendiri. Pengaruh Ketahanmalangan Dalam menghadapi suatu tantangan,hambatan, dan kesulitan, seorang pemimpin harus percaya diri dan mempunyai sikap yang tegas. Bass dalam Locke, menyebutkan rasa percaya diri sebagai sikap tegas dan berkepala dingin dari para pemimpin dalam level yang lebih rendah atau manajer yang tidak berprestasi, dan para pemimpin harus percaya diri, mempunyai sikap tegas, dan memiliki keyakinan. Jika keputusan yang dibuat seorang pemimpin ternyata menunjukkan banyak kelemahan, kelemahan itu dapat digunakan untuk mempelajari kesalahan, agar sanggup membangun kembali kepercayaan. Suatu kegagalan perlu dijadikan pengalaman, karena kegagalan dapat dijadikan pelajaran untuk menghadapi masa yang akan datang. Seperti dikemukakan Mortell, kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantarkan kita untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda. Untuk meliwati saat-saat kritis yaitu kegagalan atau kesuksesan tergantung pada reaksi pemimpin itu sendiri terhadap masalah yang dihadapinya. Seperti dikemukakan Peale bahwa pemikiran positif adalah bagian anda berpikir tentang suatu problem, dan antusias adalah bagaimana merasakan suatu problem. Kedua hal ini menentukan bagaimana reaksi kita menghadapinya. Seiring dengan itu Maxwell mengungkapkan, perbedaan antara orang yang prestasinya biasa-biasa saja, dengan orang yang prestasinya luar biasa adalah bagaimana persepsi mereka tentang kegagalan serta bagaimana respons mereka terhadap kegagalan tersebut. Qulletle dalam Stoltz mengemukakan bahwa orang yang tahan banting tidak terlalu menderita terhadap akibat negatif yang berasal darikesulitan. Sifat tahan banting dalam diri manusia merujuk pada kemampuan menghadapi kondisi-kondisi kehidupan yang keras. Stoltz, melaksanakan riset selama 19 tahun dan penerapan selama 10 tahun merupakan terobosan penting dalam pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk mencari kesuksesan. Sehingga Stoltz mengatakan, suksesnya pekerjaan dalam kehidupan, ditentukan oleh ketahanmalangan (adversity qoutient atau AQ). Untuk tercapainya keberhasilan suatu pekerjaan, harus mengetahui dan memahami ketahananmalangan yang dibutuhkan yaitu: a) AQ memberi tahu seberapa jauh mampu bertahan menghadapi kesulitan dan mampu untuk mengatasinya, b) AQ meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan siapa yang akan hancur, c) AQ meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka, atau siapa yang akan gagal, d) meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan; e) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Dari ke empat kebutuhan untuk mencapai keberhasilan dalam suatu pekerjaan, adalah kemampuan menghadapi dan mengatasi kesulitan, menerima risiko, dan siap menerima kegagalan, pemimpin tersebut akan mampu memberdayakan dirinya guna mencapai keberhasilan. Pemimpin yang memiliki ketahanmalangan yang lebih tinggi akan memengaruhi dan meningkatnya kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih besar dari pada mereka yang memiliki ketahanmalangan rendah. Bentuk AQ ada tiga macam yaitu: a) AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan, b) AQ suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, c) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan yang dapat memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan perbuatan praktis merupakan suatu paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar untuk meningkatkan kemajuan dan kesuksesan. Jadi ketahanmalangan digunakan untuk: a. meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang mempunyai prestasi melebihi dari kinerja, b. untuk mengembangkan profesi ia mampu mengimbangi tuntutan klien yang terus meningkat, c. membantu para guru mengembangkan daya tahan dan keuletan dalam memberikan pelajaran yang mempunyai makna dan tujuan, d. mempersiapkan angkatan kerja dan pemimpin-pemimpin dalam memenuhi visi, e. mengembangkan staf pegawai dalam lingkungan kerja dan menuntut pegawai agar bekerja walaupun dengan sarana yang kurang, f. untuk membantu individu memerkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, dengan tetap berpegang pada prinsip. Faktor-faktor menuju Kesuksesan Faktor-faktor menuju kesuksesan banyak dipengaruhi oleh kemampuan kita mengendalikan serta cara kita merespon kesulitan. Faktor-faktor tersebut mencakup semua yang diperlukan untuk mendaki seperti dayasaing. Orang-orang yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan akan lebih tangkas dalam memelihara energi, lebih fokus dan mengumpulkan tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Maka yang bereaksi secara destruktif cenderung membuang energi. Mereka yang bereaksi secara destruktif cenderung kecolongan energi mudah berhenti berusaha. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan kegesitan dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan hidupnya. Produktifitas : dalam sejumlah penelitian yang dilakukan perusahaan-perusahaan terhadap orang yang merespon kesulitan secara destrukftif terlihat kurang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Juga ditemukan adanya konotasi yang kuat antara kinerja dan cara pegawai-pegawai merespon kesulitan. Berdasarkan program–program AQ yang diselenggarakan diseluruh dunia, jelas bahwa pemimpin perusahaan mempunyai persepsi bentuk orang-orang yang AQ nya tinggi. Secara dramatis unggul atas orang-orang yang AQ nya lebih sedikit kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk dari pada mereka yang kurang merespon kesulitan dengan baik. Kreativitas : inovasi pada pokoknya merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan; inovasi juga membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tak ada dapat menjadi ada. Menurut Barker, kreativitas juga muncul dari keputusasaan. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tak pasti. Apabila kita percaya bahwa apa yang kita lakukan tak membuat sesuatu perbedaan, bagaimana mungkin kita akan menjadi kreatif. Orang-orang yang tak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Motivasi : sebuah penelitian yang dilakukan dengan pengukuran AQ telah memberikan kesimpulan, bahwa tanpa kecuali baik berdasarkan pekerjaan harus mampu jangka panjang, mereka yang AQ nya tinggi dianggap sebagai orang-orang yang paling memiliki motivasi. Mengambil resiko: Dengan tak adanya kemampuan menangani kendali, maka tidak ada alasan untuk mengambil resiko, bahkan resiko-resiko sebenarnya tak masuk akal. Keyakinan bahwa apa yang dikerjakan tak ada faedahnya sama sekali, akan menghamburkan energi yang sebenarnya dibutuhkan untuk melompatkan ke bidang lain yang belum dikenal. Sebagaimana telah dibuktikan oleh Satterfield dan Seligman, orang-orang yang merespon kesulitan lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian. Ketekunan: Ketekunan merupakan inti pendakian dan AQ . Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha, bahkan manakala dihadapkan pada kemunduran- kemunduran atau kegagalan hanya sedikit sifat manusia yang bisa mendatangkan banyak hasil dibandingkan dengan ketekunan, terutama jika digabungkan dengan sedikit kreativitas. Seligman membuktikan bahwa para tenaga profesional, kader militer, mahasiswa dan lainnya orang yang merespon dengan baik sebuah kesulitan akan pulih dari kekalahan dan mampu terus bertahan. Mereka yang merespon dengan buruk ketika berhadapan dengan kesulitan akan mudah menyerah. AQ menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk lebih tekun. Bangunlah keberhasilan introspeksi: Sewaktu kita mengalami dari perubahan yang tiada henti, kemampuan kita untuk menghadapi ketidakpastian dan pijakan yang berubah semakin lama menjadi semakin penting. Batu-batu yang longsor, cuaca yang berubah, banjir yang tak terduga, dan gunung yang meletus, semuanya menantang pendaki atau climbers, agar bisa sukses kita harus secara efektif mengatasi dan membangun keberhasilan. Sukses Menjadi Pemimpin Melihat orang yang sukses menjadi pemimpin itu menurut Stoltz, tidak hanya mengandalkan Intelegensi Quotienst(IQ), atau Emosional Qoutienst(EQ) saja, tetapi harus dipengaruhi ketahanmalangan (Adversity Quoetionst). Kecerdasan atau intelegensi yang terukur secara ilmiah dipengaruhi oleh faktor- faktor keturunan sebagai faktor kesuksesan. Tetapi kenyataan keadaan dunia dewasa ini, dengan memiliki IQ tinggi belum tentu dapat mewujudkan potensinya. Dicontohkan seorang perakit bom, ia memiliki IQ tinggi dapat merakit bom berkekuatan tinggi, tetapi karena hanya dididik dengan pengembangan pikiran saja, sehingga kemampuan untuk bersosialisasi atau kecerdasan emosionalnya tidak berkembang, maka ia tidak dapat meraih kesuksesan atau tidak dapat menjadi pemimpin. Di sini IQ jelas gagal untuk mencapai kesuksesan. Diperkuat pendapat dari Cooper, bahwa intelektual cerdas sering kali bukanlah orang yang paling berhasil dalam bisnis maupun dalam kehidupan pribadi mereka. Lain halnya dengan Goleman memberikan bukti yang kuat dalam konsepnya, bahwa selain Intelegensi Quotienst, kita semua mempunyai Emosional Quotienst (EQ), yang merupakan tolok ukur hipotesis, mencerminkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan hati, sadar diri, bertahan, bergaul secara efektif dengan orang lain. Kecerdasan emosinal (EQ) adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya, saat menghadapi situasi yang menyenangkan atau menyakitkan. Selanjutnya aspek-aspek yang berkaitan dengan kepribadian adalah: a) kemampuan memahami dan memotivasi potensi dirinya, b) memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain, c) senang melihat bawahan sukses, d) asertif yaitu terampil menyampaikan suatu pikiran dan perasaan dengan baik kepada orang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam kehidupan, Emosional Quotienst lebih penting dari pada Intelegensi Quotiens. tetapi Stoltz sama halnya dengan Intelegensi Quotiens tidak setiap orang memanfaatkan Emosional Quotienst dan potensi mereka sepenuhnya, meskipun kecakapan-kecakapan itu mereka miliki. Karena Emosional Quotienst tidak mempunyai metode yang jelas untuk mempelajarinya, maka kecerdasan emosional tetap sulit dipahami. Zohar dan Marshall, melalui riset ilmiahnya tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan dalam Spiritual Quotienst (SQ) menyebutkan, tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (Intelegensi Quostionst) dan popularitas (Emosional Quotienst) seseorang tidak akan memberikan ketenangan dan kebahagian hidupnya. Ini berarti IQ dan EQ harus disertai dengan SQ. Oleh sebab itu, Hidayat menyebutkan rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidak-tidaknya tiga kecerdasan, yaitu: kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). tetapi Stoltz, mengemukakan sejumlah orang memiliki kepandaian (IQ) yang tinggi berikut segala kecerdasan emosional (EQ), namun gagal menunjukkan kemampuannya untuk bertahan dan menyerah. Hal ini berarti bukan IQ atau EQ yang menentukan suksesnya seseorang, tetapi keduanya menjadi satu peran. Timbul pertanyaan mengapa orang masih mampu bertahan, sementara yang lainnya mungkin sama-sama brilian dan pandai bergaul tetapi gagal dan ada yang menyerah? Menurut Stoltz, karena seseorang memiliki dan dipengaruhi ketahanmalangan atau Adversity Quotienst (AQ) yaitu tahan banting, tidak mudah menyerah terhadap tantangan-tantangan, hambatan, atau kesulitan yang dihadapi. Dalam menghadapi tantangan maka ketahanmalangan (AQ) merupakan tempat teratas dari kecerdasan kepandaian (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) untuk menuju kesuksesan dari seorang pemimpin. Menurut Zohar dan Marshall dalam Agustian, kecerdasan kepandaian (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) harus disertai dengan kecerdasan spritual (SQ). Ketiga kecerdasan seseorang (IQ, EQ, SQ), akan memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidupnya, tetapi menurut Stoltz harus memiliki ketahanmalangan (AQ). Apabila diperhatikan dari pendapat-pendapat di atas, maka penulis menggambarkan seseorang pemimpin itu perlu memiliki empat kecerdasan dalam dirinya, agar ia memperoleh kesuksesan. Seorang pemimpin harus memiliki IQ, EQ, SQ, dan AQ yang diperlukan untuk dapat memengaruhi di dalam perilaku orang lain. Apabila keempat kecerdasan tersebut dimiliki oleh seorang pemimpin, maka akan mendapatkan kesuksesan dalam menjalankan tugasnya. Banyak pemicu yang menjadi kehidupan makin sulit, pemicu pertama dalam kehidupan masyarakat, kedua di tempat kerja, dan ketiga di dalam individu itu sendiri sepanjang perjalan hidup yang penuh dengan bahaya. Kesulitan ini merupakan bagian hidup dimana-mana, nyata, dan tidak dapat dielakkan. Tetapi kesulitan itu bukan menghacurkan semangat. Untuk menciptakan perubahan harus memiliki keuletan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan. Tuntutan di atas para pemimpin agar khususnya kepala sekolah memiliki daya juang yang tinggi atau AQ yang tinggi yang akan mengalahkan orang lain. Martin Seligman dalam Stoltz, mengemukakan ketidakberdayaan dalam menghadapi kesulitan merupakan hambatan terhadap kemajuan. Sifat tahan banting menunjukkan kualitas kehidupan manusia secara keseluruhan. Ketidakpastian dan stres menunjukkan ketidak mampuan menghadapi tantangan, komitmen, dan tidak mampu mengendalikan emosi. Sewaktu kesulitan meningkat, semakin sedikit orang bertahan untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk mengimplementasikan strategi dan mengelola tantangan yang muncul, pemimpin memerlukan langkah untuk mengambil tindakan. Murphy mengungkapkan bahwa pemimpin yang efektif mengikuti proses terstruktur dengan amat hati-hati yang memfokuskan kekuatan atau energi, sambil menyoroti dan memperioritaskan peluang untuk mengangkat kesuksesan yang tinggi. Selanjutnya Murphy,mengatakan keadaan bergejolak dan kacau tidak perlu indentik dengan perselisihan, kesulitan, atau perasaan tidak puas. Pemimpin panutan walaupun tidak mengetahui bahwa waktu, tempat dari peristiwa krisis, dapat mempersiapkan diri untuk memahami, merencanakan,dan menyesuaikan diri terhadap krisis,termasuk ancaman-ancaman. Dalam menghadapi dunia baru, harus mengantisipasi cepat berpikir, menjangkau, membina ikatan, bertahan dengan pelanggan, atau pihak-pihak yang berkepentingan, agar dapat bertahan memimpin di tepi jurang kekacauan. Demikian juga menurut Yusuf Kalla, mengemukakan pemimpin perlu memiliki gaya kepemimpinan yang kuat di tengah perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan politik, dan masyarakat. Karena pada masa sekarang terjadi perubahan dalam sistem politik dari situasi otoriter menjadi sangat demokratis, sistem sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan ini mau tidak mau akan memengaruhi kerja pemerintah dan pemimpinnya. Selanjutnya Muhtar Pabottinggi peneliti LIPI, mengemukakan kepemimpinan akan kuat dan tegak dalam arti berwibawa,jika supremasi hukum ditegakkan, dan kedaulatan rakyat jika berdasarkan pada right, bukan might. Ini membuktikan seorang pemimpin harus memiliki ketahanmalangan dalam menghadapi kesulitan, permasalahan yang merupakan tantangan yang harus dihadapinya. Karakter adversity seseorang pemimpin menurut Hewitt, dapat dibangun dengan dipengaruhi beberapa hal yaitu: a) phsyical adversity, masa-masa sulit secara fisik misalnya kematian, luka, sakit dan sebagainya; b) miscomunication and deception atau miskomunikasi dan kecurangan dan ketidak jujuran; c) displacement atau salah penempatan; d) desire atau hasrat/keinginan, di mana tidak sesuai dengan keinginan/ kebutuhan; e) relationships atau hubungan, yang sering kali akibat hubungan masa sulit terdahulu. Selanjutnya dikemukakannya untuk pengembangan karier melalui adversity ada beberapa kunci yaitu: a) memahami para pelaku-pelaku, b) memutuskan mengubah keinginan para pelaku dan bagaimana yang diinginkan supaya tetap tidak berubah, c) jangan takut merubah situasi/kondisi, d) kombinasikan sesuatu sesuai dengan kesempatan. Dari karakteristik yang diuraikan di atas ciri-ciri seseorang sebagai pemimpin harus memiliki ketahanmalangan yaitu: 1) tidak menyalahkan orang lain atas kesusahan atau kemunduran yang dihadapi, 2) tidak menyalahkan diri sendiri, tidak memandang kemunduran-kemunduran yang terjadi sebagai cermin keburukan diri sendiri, 3) percaya bahwa masalah-masalah yang dihadapi itu memiliki ukuran dan durasi yang terbatas dan dapat diatasi. Sehingga adversity quotienst memengaruhi keefektipan pribadi dalam kerja tim, pembinaan hubungan, hubungan keluarga, pengorganisasian diri, hubungan komitmen, budaya, dan hubungan masyarakat. Uraian diatas menunjukkan ketahanmalangan (adversity) berpengaruh terhadap kekuatan individu seseorang pemimpin dalam menghadapi kesulitan, permasalahan, rintangan yang dihadapinya, baik datang dari diri sendiri, maupun dari luardirinya serta kecakapan untuk mengubah hambatan, tantangan, dan kesulitan menjadi suatu kesuksesan atau keberhasilan dalam karier hidupnya. Tanggapan terhadap kesulitan, pengendalian kesulitan, kesediaan menerima kesulitan, dan sejauhmana daya tahan menghadapi kesulitan, mempengaruhi kepemimpinan seseorang dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin. Bertitik tolak dari teori ketahanmalangan tersebut di atas dapat diartikan adalah kekuatan individu dalam upaya mengatasi hambatan, kesulitan, dan masalah yang merupakan tantangan dalam melakukan suatu pekerjaan, dan dijadikan peluang untuk meraih kesukses dalam pencapaian tujuan. Adapun indikator ketahanmalangan seorang kepala sekolah sebagai pemimpin adalah ketabahan, kegigihan, pengendalian diri, ketekunan, suka terhadap perubahan, dan penyelesaian terhadap masalah.

1 komentar: