Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan)
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan Sumder Daya Manusia (SDM). Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang IPTEK dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik.
Dewasa ini berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh banyak pihak. Upaya-upaya itu dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) demi kemajuan masyarakat dan bangsa, karena memang harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Dari berbagai studi dan pengamatan hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistis. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan pada keputusan birokrasi, dan sering kali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Disamping itu, segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggaraan sekolah kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan serta keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi. Ketiga, peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal, peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan, misalnya dalam pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Ketiga faktor tersebut yang menyebabkan timbulnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Akan tetapi, perlu juga adanya standarisasi dan pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya membentuk kesatuan “referensi” dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Standar pendidikan ini telah diperkuat dengan adanya PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas kepada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat, di samping sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum sebagai sarana peningkatan efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas. Secara esensial, landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan.
Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Kehadiran konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yang lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah, seperti self managing school atau school based management, self governing school, local management of schools, school based budgeting, atau guaranty maintained schools. Konsep-konsep tersebut menjelaskan bahwa sekolah ditargetkan untuk melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berarah pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta “peningkatan mutu” (administrating for excellen) dan effective schools.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut, maka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan bahwa pada hakikatnya, Manajemen Berbasis Sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa apabila seseorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan untuk mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak definisi mengenai Manajemen Berbasis Sekolah yang dikemukakan para pakar. Eman Suparman, seperti dikutip oleh Mulyono, mendefinisikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu, Slamet (http://www.manajemen-berbasis-sekolah.html) mengartikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pengoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersikap terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan secara luas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipasi sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yang dimaksudkan adalah partisipasi kepala sekolah, guru, siswa, dan masyarakat sekitar. Sedangkan dalam buku manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diartikan sebagai suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, pegawai sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Ahmad Barizi juga mensinyalir bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program “desentralisasi” di bidang pendidikan yang ditandai dengan otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasional. Bahkan, Susan Albers Mohrman menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu bentuk restrukturisasi sekolah dengan mengubah sistem sekolah dalam melakukan kegiatannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan prestasi akademis sekolah dengan mengubah desain struktur organisasinya.
Sementara itu, Nanang Fatah memberikan pengertian bahwa MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal, Local Stakeholder. Sedangkan Bapenas dan Bank Dunia, seperti yang dikutip oleh B. Suryosubroto, memberikan pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditunjukkan sebagai sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Ini artinya otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola dan mengembangkan potensi serta sumber daya yang ada di dalam sekolah dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Sedangkan partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan dengan asas keterbukaan dan konsistensi tinggi.
Sesuai dengan deskripsi detail tersebut di atas, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mandiri dalam mengembangkan dan melakukan inovasi dalam berbagai program untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak lepas dari kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah harus pula mempertanggungjawab kepada masyarakat (yang berkepentingan). Artinya, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah.
Gagasan tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini, belakangan menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan, mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan tingkat sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya sekolah. Karena, implementasi MBS tidak sekadar membawa perubahan dalam kewenangan akademis sekolah dan tatanan pengelolaan sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar