Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Manajemen Mutu Terpadu yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait. M. Jusuf Hanafiah, dkk mendefinisikan Pengelolaan Mutu Total (PMT) sebagai suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan suatu organisasi yang mengutamakan kepentingan pelanggan. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu.
Sedangkan yang dimaksud dengan Pengelolaan Mutu Total (PMT) pendidikan tinggi (bisa pula sekolah) adalah cara mengelola lembaga pendidikan berdasarkan filosofi bahwa meningkatkan mutu harus diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu dan berkesinambungan, sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan, baik masa kini maupun yang akan datang.
1. Komponen dan Prinsip-prinsip dalam Mutu Pendidikan
Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan ada lima macam. Pertama, siswa, meliputi kesiapan dan motivasi belajarnya. Kedua, guru, meliputi kemampuan profesional, moral kerja (kemampuan profesional), dan kerja sama (kemampuan sosial). Ketiga, kurikulum, meliputi relevansi konten (isi), dan operasionalisasi proses pembelajaarannya. Keempat, sarana dan prasarana, meliputi kecukupan dan keefektifan daalam mendukung proses pembelajaran. Kelima, masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan perguruan tinggi), yaitu partisipasinya dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah.
Minimal ada delapan prinsip yang harus diterjemahkan dalam tataran praktis manajerial sekolah dalam rangka manajemen pola organisasi demi meningkatkan mutu pendidikan. Kedelapan prinsip tersebut adalah : a. Fokus pada Pelanggan, Organisasi bergantung pada pelanggan. Oleh karenanya, organisasi harus memahami kebutuhan masa kini dan masa mendatang dari pelanggannya, serta harus memenuhi dan berusaha melampaui harapan pelanggan. Kemampuan menarik perhatian, melayani, dan memelihara pelanggan adalah tujuan tertinggi dari sekolah. Tanpa fokus dan keterlibatan pelanggan, tujuan manajemen mutu tidak berarti. Organisasi yang berfokus pada orientasi pelayanan sebagai perangkat utama dalam melaksanakan misinya. b. Kepemimpinan, Pemimpin menetapkan kesatuan tujuan dan arah organisasi. Pemimpin puncak perlu menyusun visi sekolah dengan jelas dan dilengkapi dengan sasaran dan tujuan yang konsisten serta didukung pula dengan perencanaan taktis dan strategis. c. Pelibatan Anggota, Anggota pada semua tingkatan merupakan inti suatu organisasi, dan pelibatan penuh mereka memungkinkan kemampuannya dipakai untuk manfaat organisasi. Para karyawan harus dilibatkan pada setiap proses untuk menyusun arah dan tujuan serta peralatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan mutu, sehingga setiap individu akan terlibat dan punya tanggung jawab untuk mencari perbaikan yang terus-menerus terhadap proses yang berada pada lingkup tugasnya. d. Pendekatan Proses, ialah suatu pendekatan untuk perencanaan, pengendalian, dan peningkatan proses-proses utama dalam sekolah (trilogi proses mutu) dengan lebih menekankan terhadap keinginan pelanggan daripada keinginan fungsional. Orientasi proses ini memerlukan memerlukan perubahan yang cukup signifikan, karena banyak manajemen yang lebih berorientasi pada produk daripada proses. e. Pendekatan Sistem pada Manajemen, Sistem didefinisikan sebagai kumpulan dari berbagai bagian/komponen yang satu sama lain saling berhubungan dan saling tergantung untuk menuju tujuan. Pendekatan sistem memandang suatu organisasi secara keseluruhan daripada bagian-bagian, yang diekpresikan sebagai holistik. f. Perbaikan berkesinambungan, Perbaikan berkesinambungan atas kinerja secara organisasi secara menyeluruh hendaknya dijadikan sebagai sasaran tetap dari organisasi. Proses berkesinambungan adalah prinsip dasar dimana mutu menjadi pusatnya. Proses ini merupakan pelengkap dan yang menghidupkan prinsip orientasi proses dan prinsip fokus pada pelanggan. g. Pendekatan Fakta pada Pengambilan Keputusan, Keputusan yang efektif didasarkan pada analisis data dan informasi. Pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan pendapat atau informasi lisan sering kali menimbulkan bias. Oleh karena itu, manajemen hendaknya membangun kebiasaan menggunakan fakta dan hasil analisis sebelum melakukan pengambilan keputusan. Fakta dapat diperoleh dengan wawancara, kuisioner, jajak pendapat, pengujian, analisis statistik, dan lain-lain yang memberikan hasil yang objektif. h. Hubungan yang Saling Menguntungkan dengan Pemasok, Hubungan antara sekolah dan pemasoknya (masyarakat) yang saling bergantung dan saling menguntungkan akan meningkatkan kemampuan keduanya untuk menciptakan nilai. Organisasi manajemen mutu yang sukses menjalin hubungan yang kuat dengan para pemasok dan pelanggan untuk menjamin terjadinya perbaikan mutu secara berkesinambungan dalam menghasilkan barang dan jasa.
2. Peran Kepemimpinan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
a. Gaya Kepemimpinan Menurut Peters dan Austin
Peters dan Austin dalam bukunya A Passion for Excellence memandang bahwa pemimpin pendidikan membutuhkan perspektif- perspektif sebagai berikut : Pertama, visi dan simbol-simbol. Kepala sekolah harus mengomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, para pelajar, dan kmunitas yang lebih luas. Kedua, MBWA (Management by Walking About/ Manajemen dengan Melaksanakan) adalah gaya kepemimpinan yang dibutuhkan bagi sebuah instansi. Ketiga, “Untuk para pelajar”. Istilah ini artinya dekat dengan pelanggan dalam pendidikan. Ini memastikan bahwa institusi memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya. Keempat, otonomi, eksperimentasi dan antisipasi terhadap kegagalan. Pemimpin pendidikan harus melakukan inovasi di antara staf-stafnya dan bersiap-siap mengantisipasi kegagalan yang mengirngi inovasi tersebut. Kelima, menciptakan rasa kekeluargaan di antara para pelajar, orang tua, guru, dan staf institusi. Keenam, ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme. Sifat-sifat tersebut merupakan mutu personal esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.
Fungsi utama seorang pemimpin (kepala sekolah) dalam mengembangkan budaya mutu dan mengusahakan inisiatif mutu terpadu adalah sebagai berikut : (1). Memiliki visi mutu terpadu bagi institusi; (2). Memiliki komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu; (3). Mengomunikasikan pesan mutu; (4). Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktik institusi; (5). Mengarahkan perkembangan karyawan; (6). Berhati-hati dengan tidak menyalahkan orang lain saat persoalan muncul tanpa bukti-bukti yang nyata, sebab kebanyakan persoalan yang muncul adalah hasil dari kebijakan inatitusi dan bukan kesalahan staf; (7). Memimpin inovasi dalam institusi; (8). Mampu memastikan bahwa strutur organisasi secara jelas telah mendefinisikan tanggung jawab dan mampu mempersiapkan delegasi yang tepat; (9). Memiliki komitmen untuk menghilangkan rintangan, baik yang bersifat organisasional maupun kultural; (10). Membangun tim yang efeftif; dan (11). Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawasi dan mengevaluasi kesuksesan.
b. Gaya Kepemimpinan Menurut Spanbauer
Spanbauer telah menyampaikan pengarahan bagi para pemimpin dalam mencipakan lingkungan pendidikan yang baru. Dia berpendapat bahwa pemimpin institusi pendidikan harus memandu dan membantu pihak lain dalam mengembangkan karakteristik yang serupa. Sikap tersebut mendorong terciptanya tanggung jawab bersama-sama serta sebuah gaya kepemimpinan di mana pemimpin yang melahirkan lingkungan kerja yang interaktif. Dia menggambarkan sebuah gaya kepemimpinan di mana pemimpin harus menjalankan dan membicarakan mutu serta mampu memahami bahwa perubahan terjadi sedikit demi sedikit, bukan serta merta.
c. Kriteria Pemimpin yang Baik
Setiap organisasi pendidikan, khususnya dalam divisi-divisi atau sektor-sektor di organisasi, harus memiliki seorang pemimpin atau penanggung jawab, kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok ke arah pencapaian tujuan (Sudarwan Danim dan Suparno,2009). Ada beberapa hal yang membedakan antara pemimpin yang baik dan pemimpin yang tidak baik, diantaranya sebagai berikut : (1). Pemimpin lebih banyak menggunakan pendekatan pull (menarik) daripada push (mendorong). Seorang pemimpin akan terlibat secara nyata dalam usahanya melaksanakan kepemimpinan. (2). Pemimpin tahu arah tujuannya. Pemimpin menentukan visi organisasi dan cara-cara untuk mencapai visi tersebut. Mereka juga memberikan pedoman dan tujuan yang jelas untuk mencapai kesuksesan dalam jangka panjang. (3). Pemimpin harus berani dan dapat dipercaya. Pemimpin harus berani mengambil resiko dalam menghadapi dan mengatasi segala macam rintangan dan hambatan yang timbul. Bahkan, kadang kala tujuan jangka pendek harus berani dikorbankan bila memang menghambat tercapainya visi organisasi. Selain itu, pemimpin juga harus dipercaya oleh bawahannya, karena bila tidak, ia tidak akan dapat menjadi pemimpin yang baik. (4). Peranan terpenting daari seorang pemimpin setelah membentuk visi dan cara pencapaiannya adalah membantu para bawahan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan rasa bangga. Peranan seorang pemimpin bukanlah mendikte bawahan, tetapi memberikan kemudahan (facilitate) kepada mereka. Mereka diberi pelatihan agar dapat terlibat dalam proses organisasi dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki.
d. Langkah-Langkah dalam Menyukseskan kepemimpinan Kepala Sekolah
Ada beberapa langkah dalam menyukseskan kepemimpinan kepala sekolah. Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukannya, Southern Regional Education Board (SREB) telah mengidentifikasi 13 faktor kritis terkait dengan keberhasilan kepala sekolah dalam mengembangkan prestasi belajar siswa. Ketigabelas faktor tersebut adalah : (1). Menciptakan misi yang terfokus pada upaya peningkatan prestasi belajar siswa, melalui praktik kurikulum dan pembelajaran yang memungkinkan terciptanya peningkatan prestasi belajar siswa. (2). Ekspektasi yang tinggi bagi semua siswa dalam mem pelajari bahan pelajaran pada level yang lebih tinggi. (3). Menghargai dan mendorong implementasi praktik pembelajaran yang baik, sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan prestasi belajar siswa. (4). Memahami bagaimana memimpin organisasi sekolah, dimana seluruh guru dan staf dapat memahami dan peduli terhadap siswanya. (5). Memanfaatkan data untuk memprakarsai upaya peningkatan prestasi belajar siswa dan praktik pendidikan di sekolah maupun di kelas secara terus menerus. (6). Menjaga agar setiap orang dapat memfokuskan pada prestasi belajar siswa. (7). Menjadikan para orang tua sebagai mitra dan membangun kolaborasi untuk kepentingan pendidikan siswa. (8). Memahami proses perubahan dan memiliki kepemimpinan untuk dapat mengelola dan memfasilitasi perubahan tersebut secara efektif. (9). Memahami bagaimana orang dewasa belajar (baca: guru dan staf) serta mengetahui bagaimana upaya meningkatkan perubahan yang bermakna sehingga terbentuk kualitas pengembangan profesi secara berkelanjutan untuk kepentingan siswa. (10). Memanfaatkan dan mengelola waktu untuk mencapai tujuan dan sasaran peningkatan sekolah melalui cara-cara yang inovatif. (11). Memperoleh dan memanfaatkan berbagai sumber daya secara bijak. (12). Mencari dan memperoleh dukungan dari pemerintah, tokoh masyarakat dan orang tua untuk berbagai agenda peningkatan sekolah. (13). Belajar secara terus menerus dan bekerja sama dengan rekan sejawat untuk mengembangkan riset baru dan berbagai praktik pendidikan yang telah terbukti.
e. Kriteria Kepala Sekolah yang Efektif
Pemimpin lembaga pendidikan, khususnya di lingkungan pendidikan dasar ataupun menengah, merupakan motivator, event organizer bahkan penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Menurut E. Mulyasa kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang memenuhi kriteria sebagai berikut : (1). Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif. (2). Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. (3). Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan. (4). Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah. (5). Bekerja dengan tim manajemen. (6). Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.
Senin, 28 Maret 2011
Sabtu, 26 Maret 2011
Manajemen Mutu Sekolah
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan)
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan Sumder Daya Manusia (SDM). Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang IPTEK dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik.
Dewasa ini berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh banyak pihak. Upaya-upaya itu dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) demi kemajuan masyarakat dan bangsa, karena memang harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Dari berbagai studi dan pengamatan hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistis. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan pada keputusan birokrasi, dan sering kali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Disamping itu, segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggaraan sekolah kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan serta keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi. Ketiga, peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal, peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan, misalnya dalam pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Ketiga faktor tersebut yang menyebabkan timbulnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Akan tetapi, perlu juga adanya standarisasi dan pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya membentuk kesatuan “referensi” dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Standar pendidikan ini telah diperkuat dengan adanya PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas kepada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat, di samping sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum sebagai sarana peningkatan efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas. Secara esensial, landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan.
Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Kehadiran konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yang lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah, seperti self managing school atau school based management, self governing school, local management of schools, school based budgeting, atau guaranty maintained schools. Konsep-konsep tersebut menjelaskan bahwa sekolah ditargetkan untuk melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berarah pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta “peningkatan mutu” (administrating for excellen) dan effective schools.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut, maka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan bahwa pada hakikatnya, Manajemen Berbasis Sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa apabila seseorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan untuk mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak definisi mengenai Manajemen Berbasis Sekolah yang dikemukakan para pakar. Eman Suparman, seperti dikutip oleh Mulyono, mendefinisikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu, Slamet (http://www.manajemen-berbasis-sekolah.html) mengartikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pengoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersikap terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan secara luas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipasi sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yang dimaksudkan adalah partisipasi kepala sekolah, guru, siswa, dan masyarakat sekitar. Sedangkan dalam buku manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diartikan sebagai suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, pegawai sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Ahmad Barizi juga mensinyalir bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program “desentralisasi” di bidang pendidikan yang ditandai dengan otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasional. Bahkan, Susan Albers Mohrman menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu bentuk restrukturisasi sekolah dengan mengubah sistem sekolah dalam melakukan kegiatannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan prestasi akademis sekolah dengan mengubah desain struktur organisasinya.
Sementara itu, Nanang Fatah memberikan pengertian bahwa MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal, Local Stakeholder. Sedangkan Bapenas dan Bank Dunia, seperti yang dikutip oleh B. Suryosubroto, memberikan pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditunjukkan sebagai sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Ini artinya otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola dan mengembangkan potensi serta sumber daya yang ada di dalam sekolah dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Sedangkan partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan dengan asas keterbukaan dan konsistensi tinggi.
Sesuai dengan deskripsi detail tersebut di atas, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mandiri dalam mengembangkan dan melakukan inovasi dalam berbagai program untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak lepas dari kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah harus pula mempertanggungjawab kepada masyarakat (yang berkepentingan). Artinya, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah.
Gagasan tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini, belakangan menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan, mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan tingkat sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya sekolah. Karena, implementasi MBS tidak sekadar membawa perubahan dalam kewenangan akademis sekolah dan tatanan pengelolaan sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan sekolah.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan)
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan Sumder Daya Manusia (SDM). Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang IPTEK dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik.
Dewasa ini berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh banyak pihak. Upaya-upaya itu dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) demi kemajuan masyarakat dan bangsa, karena memang harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Dari berbagai studi dan pengamatan hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistis. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan pada keputusan birokrasi, dan sering kali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Disamping itu, segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggaraan sekolah kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan serta keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi. Ketiga, peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal, peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan, misalnya dalam pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Ketiga faktor tersebut yang menyebabkan timbulnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Akan tetapi, perlu juga adanya standarisasi dan pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya membentuk kesatuan “referensi” dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Standar pendidikan ini telah diperkuat dengan adanya PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas kepada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat, di samping sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum sebagai sarana peningkatan efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas. Secara esensial, landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan.
Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Kehadiran konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yang lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah, seperti self managing school atau school based management, self governing school, local management of schools, school based budgeting, atau guaranty maintained schools. Konsep-konsep tersebut menjelaskan bahwa sekolah ditargetkan untuk melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berarah pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta “peningkatan mutu” (administrating for excellen) dan effective schools.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut, maka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan bahwa pada hakikatnya, Manajemen Berbasis Sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa apabila seseorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan untuk mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak definisi mengenai Manajemen Berbasis Sekolah yang dikemukakan para pakar. Eman Suparman, seperti dikutip oleh Mulyono, mendefinisikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu, Slamet (http://www.manajemen-berbasis-sekolah.html) mengartikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pengoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersikap terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan secara luas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipasi sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yang dimaksudkan adalah partisipasi kepala sekolah, guru, siswa, dan masyarakat sekitar. Sedangkan dalam buku manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diartikan sebagai suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, pegawai sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Ahmad Barizi juga mensinyalir bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program “desentralisasi” di bidang pendidikan yang ditandai dengan otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasional. Bahkan, Susan Albers Mohrman menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu bentuk restrukturisasi sekolah dengan mengubah sistem sekolah dalam melakukan kegiatannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan prestasi akademis sekolah dengan mengubah desain struktur organisasinya.
Sementara itu, Nanang Fatah memberikan pengertian bahwa MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal, Local Stakeholder. Sedangkan Bapenas dan Bank Dunia, seperti yang dikutip oleh B. Suryosubroto, memberikan pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditunjukkan sebagai sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Ini artinya otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola dan mengembangkan potensi serta sumber daya yang ada di dalam sekolah dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Sedangkan partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan dengan asas keterbukaan dan konsistensi tinggi.
Sesuai dengan deskripsi detail tersebut di atas, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mandiri dalam mengembangkan dan melakukan inovasi dalam berbagai program untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak lepas dari kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah harus pula mempertanggungjawab kepada masyarakat (yang berkepentingan). Artinya, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah.
Gagasan tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini, belakangan menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan, mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan tingkat sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya sekolah. Karena, implementasi MBS tidak sekadar membawa perubahan dalam kewenangan akademis sekolah dan tatanan pengelolaan sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan sekolah.
Minggu, 13 Maret 2011
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Oleh : Subagio,M.Pd.
Salah satu upaya meningkatkan mutu sekolah adalah dengan membenahi mutu guru, selain para guru mendapat pelatihan sekolah juga mendapat bantuan peralatan untuk pembelajaran, meskipun dengan adanya bantuan peralatan dan melatih guru-guru tidak otomatis kualitas sekolah menjadi bagus. Menurut Dr Umaedi,M.Ed (2010) kegagalan program peningkatan mutu tersebut disebabkan setidaknya oleh tiga faktor :
Pertama, strategi pembangunan pendidikan yang lebih bersifat input oriented. Artinya, strategi peningkatan mutu lebih bersandar kepada asumsi bahwa bila semua input pendidikan telah dipenuhi, misalnya penyediaan buku-buku dan alat-alat belajar, sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan, maka secara otomatis satuan pendidikan akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu. Strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek,1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional pada masa lalu lebih bersifat birokratik-sentralistik, sehingga sekolah sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang jalurnya bisa sangat panjang. Kadang, kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah. Sekolah hanya menjadi sub-ordinasi dari birokrasi di atasnya, sehingga kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas, untuk mengembangkan dan memajukan sekolah, termasuk peningkatan mutu pendidikan.
Ketiga, peran serta warga sekolah, khususnya guru, dan masyarakat, khususnya orang tua siswa, dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah juga sangat tergantung pada guru.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diantaranya mengatur standar nasional pendidikan (SNP). Standar tersebut menjadi acuan peningkatan mutu seluruh institusi pendidikan di negeri ini. Acuan rinci SNP dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Seperti dinyatakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang dimaksud dengan Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang berbagai aspek yang relevan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang harus dipenuhi oleh penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Standar Nasional Pendidikan (SNP), yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar prasarana dan sarana pendidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Perlunya peningkatan mutu SMP, sesuai dengan penjelasan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 11 pemerintah berkewajiban mendorong sekolah-sekolah kategori potensial (calon SSN), Sekolah Standar Nasional (SSN), maupun SSN berkeunggulan lokal agar pada akhirnya benar-benar mampu mencapai predikat Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pengembangan Sekolah Standar Nasional (SSN) dirintis tahun 2004 didukung oleh pemberlakuan MBS. Di Indonesia, cikal bakal MBS adalah program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS)
MBS yang dikembangkan di banyak negara mempunyai banyak model. Menurut Leithwood dan Menzies (1998), setidaknya terdapat empat model, yaitu : (1) Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi dari administrasi pendidikan. (2) Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas. (3) Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orang tua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah. (4) Kontrol secara seimbang, orang tua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Model-model MBS itu merupakan varian yang muncul dalam otonomi pendidikan, MBS model pertama, yakni peran kepala sekolah lebih dominan, telah melahirkan sosok kepala sekolah sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di sekolah.
MBS model kedua melibatkan para guru dalam manajemen sekolah, MBS model ketiga telah melibatkan masyarakat dan orang tua siswa dalam kegiatan sekolah. Sedangkan MBS model keempat adalah seperti yang diterapkan saat ini. Model ini ditopang hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya mutu pendidikan.
Karakteristik sekolah yang melaksanakan MBS : (1) Proses belajar-mengajar yang efektivitasnya tinggi. (2 Kepemimpinan sekolah kuat. (3) Lingkungan sekolah aman dan tertib. (4) Pengelolaan tenaga kependidikan efektif. (5) Memiliki budaya mutu. (6) Memiliki tim kerja yang kompak, cerdas, dan dinamis. (7) Memiliki kewenangan (kemandirian). (8) Partisipasi tinggi dari warga sekolah dan masyarakat. (9) Memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen. (10) Memiliki kemauan untuk berubah. (11) Melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. (12) Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (13) Memiliki komunikasi yang baik. (14) Memiliki akuntabilitas. (15) Memiliki Kemampuan menjaga keberlanjutan.
Perubahan pola manajemen pendidikan lama (manajemen berbasis pusat) ke pola baru (MBS) antara lain : (1) Dari sub-ordinasi menuju otonomi. (2) Dari pengambilan keputusan terpusat menuju pengambilan keputusan partisipatif. (3) Dari ruang gerak kaku menuju ruang gerak luwes. (4) Dari pendekatan birokrasi menuju pendekatan profesionalisme. (5) Dari manajemen sentralistik menuju manajemen desentralistik. (6) Dari kebiasaan diatur menuju kebiasaan motivasi diri. (7) Dari over-regulasi menuju deregulasi. (8) Dari mengontrol menuju mempengaruhi. (9) Dari mengarahkan menuju memfasilitasi. (10) Dari menghindar risiko menuju mengolah risiko. (11) Dari menggunakan uang semuanya menuju menggunakan uang seefisien mungkin. (12) Dari individu yang cerdas menuju teamwork yang kompak dan cerdas. (13) Dari informasi terpribadi menuju informasi terbagi. (14) Dari pendelegasian menuju pemberdayaan. (15) Dari organisasi hirarkis menuju organisasi datar
Meski ada sejumlah persoalan penyelenggaraan MBS di sekolah-sekolah, namun pelaksanaan MBS hingga kini semakin bagus sebab framework secara nasional arahnya lebih jelas, ada landasan hukum rule of game MBS sudah sangat jelas yakni ada empat pilar penopang mutu pendidikan.
Pilar pertama, adanya penjaminan mutu eksternal, yakni dengan adanya standar yang dikembangkan BSNP, syarat pendidikan minimal.
Pilar kedua, institusi yang bertugas memenuhi standar pendidikan, yakni lembaga-lembaga pembina sekolah, dari dinas pendidikan kabupaten/kota, provinsi, direktorat hingga Ditjen.
Pilar ketiga, adanya institusi yang pekerjaannya mengecek dan mengevaluasi apakah satuan pendidikan sudah memenuhi standar. Tugas ini diemban Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah BAN-SM menilai akreditasi sekolah dan madrasah. Penilaian berdasar kriteria yang tercantum dalam standar nasional pendidikan.
Pilar keempat, adanya instrumen untuk menilai atau mengecek hasil pendidikan. Bisa berupa sertifikasi, ujian sekolah, ujian nasional atau evaluasi.
MBS semakin kuat dasar hukumnya sejak ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 51 ayat 1 jelas menyatakan pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Sejumlah pasal lainnya juga mendukung penguatan penerapan MBS, antara lain pasal yang berkaitan dengan pengelolaan dana pendidikan yang berdasar pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (Pasal 48 ayat 1), dan peran masyarakat (Pasal 55 dan 56)
Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan
Salah satu upaya meningkatkan mutu sekolah adalah dengan membenahi mutu guru, selain para guru mendapat pelatihan sekolah juga mendapat bantuan peralatan untuk pembelajaran, meskipun dengan adanya bantuan peralatan dan melatih guru-guru tidak otomatis kualitas sekolah menjadi bagus. Menurut Dr Umaedi,M.Ed (2010) kegagalan program peningkatan mutu tersebut disebabkan setidaknya oleh tiga faktor :
Pertama, strategi pembangunan pendidikan yang lebih bersifat input oriented. Artinya, strategi peningkatan mutu lebih bersandar kepada asumsi bahwa bila semua input pendidikan telah dipenuhi, misalnya penyediaan buku-buku dan alat-alat belajar, sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan, maka secara otomatis satuan pendidikan akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu. Strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek,1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional pada masa lalu lebih bersifat birokratik-sentralistik, sehingga sekolah sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang jalurnya bisa sangat panjang. Kadang, kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah. Sekolah hanya menjadi sub-ordinasi dari birokrasi di atasnya, sehingga kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas, untuk mengembangkan dan memajukan sekolah, termasuk peningkatan mutu pendidikan.
Ketiga, peran serta warga sekolah, khususnya guru, dan masyarakat, khususnya orang tua siswa, dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah juga sangat tergantung pada guru.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diantaranya mengatur standar nasional pendidikan (SNP). Standar tersebut menjadi acuan peningkatan mutu seluruh institusi pendidikan di negeri ini. Acuan rinci SNP dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Seperti dinyatakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang dimaksud dengan Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang berbagai aspek yang relevan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang harus dipenuhi oleh penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Standar Nasional Pendidikan (SNP), yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar prasarana dan sarana pendidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Perlunya peningkatan mutu SMP, sesuai dengan penjelasan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 11 pemerintah berkewajiban mendorong sekolah-sekolah kategori potensial (calon SSN), Sekolah Standar Nasional (SSN), maupun SSN berkeunggulan lokal agar pada akhirnya benar-benar mampu mencapai predikat Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pengembangan Sekolah Standar Nasional (SSN) dirintis tahun 2004 didukung oleh pemberlakuan MBS. Di Indonesia, cikal bakal MBS adalah program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS)
MBS yang dikembangkan di banyak negara mempunyai banyak model. Menurut Leithwood dan Menzies (1998), setidaknya terdapat empat model, yaitu : (1) Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi dari administrasi pendidikan. (2) Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas. (3) Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orang tua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah. (4) Kontrol secara seimbang, orang tua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Model-model MBS itu merupakan varian yang muncul dalam otonomi pendidikan, MBS model pertama, yakni peran kepala sekolah lebih dominan, telah melahirkan sosok kepala sekolah sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di sekolah.
MBS model kedua melibatkan para guru dalam manajemen sekolah, MBS model ketiga telah melibatkan masyarakat dan orang tua siswa dalam kegiatan sekolah. Sedangkan MBS model keempat adalah seperti yang diterapkan saat ini. Model ini ditopang hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya mutu pendidikan.
Karakteristik sekolah yang melaksanakan MBS : (1) Proses belajar-mengajar yang efektivitasnya tinggi. (2 Kepemimpinan sekolah kuat. (3) Lingkungan sekolah aman dan tertib. (4) Pengelolaan tenaga kependidikan efektif. (5) Memiliki budaya mutu. (6) Memiliki tim kerja yang kompak, cerdas, dan dinamis. (7) Memiliki kewenangan (kemandirian). (8) Partisipasi tinggi dari warga sekolah dan masyarakat. (9) Memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen. (10) Memiliki kemauan untuk berubah. (11) Melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. (12) Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (13) Memiliki komunikasi yang baik. (14) Memiliki akuntabilitas. (15) Memiliki Kemampuan menjaga keberlanjutan.
Perubahan pola manajemen pendidikan lama (manajemen berbasis pusat) ke pola baru (MBS) antara lain : (1) Dari sub-ordinasi menuju otonomi. (2) Dari pengambilan keputusan terpusat menuju pengambilan keputusan partisipatif. (3) Dari ruang gerak kaku menuju ruang gerak luwes. (4) Dari pendekatan birokrasi menuju pendekatan profesionalisme. (5) Dari manajemen sentralistik menuju manajemen desentralistik. (6) Dari kebiasaan diatur menuju kebiasaan motivasi diri. (7) Dari over-regulasi menuju deregulasi. (8) Dari mengontrol menuju mempengaruhi. (9) Dari mengarahkan menuju memfasilitasi. (10) Dari menghindar risiko menuju mengolah risiko. (11) Dari menggunakan uang semuanya menuju menggunakan uang seefisien mungkin. (12) Dari individu yang cerdas menuju teamwork yang kompak dan cerdas. (13) Dari informasi terpribadi menuju informasi terbagi. (14) Dari pendelegasian menuju pemberdayaan. (15) Dari organisasi hirarkis menuju organisasi datar
Meski ada sejumlah persoalan penyelenggaraan MBS di sekolah-sekolah, namun pelaksanaan MBS hingga kini semakin bagus sebab framework secara nasional arahnya lebih jelas, ada landasan hukum rule of game MBS sudah sangat jelas yakni ada empat pilar penopang mutu pendidikan.
Pilar pertama, adanya penjaminan mutu eksternal, yakni dengan adanya standar yang dikembangkan BSNP, syarat pendidikan minimal.
Pilar kedua, institusi yang bertugas memenuhi standar pendidikan, yakni lembaga-lembaga pembina sekolah, dari dinas pendidikan kabupaten/kota, provinsi, direktorat hingga Ditjen.
Pilar ketiga, adanya institusi yang pekerjaannya mengecek dan mengevaluasi apakah satuan pendidikan sudah memenuhi standar. Tugas ini diemban Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah BAN-SM menilai akreditasi sekolah dan madrasah. Penilaian berdasar kriteria yang tercantum dalam standar nasional pendidikan.
Pilar keempat, adanya instrumen untuk menilai atau mengecek hasil pendidikan. Bisa berupa sertifikasi, ujian sekolah, ujian nasional atau evaluasi.
MBS semakin kuat dasar hukumnya sejak ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 51 ayat 1 jelas menyatakan pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Sejumlah pasal lainnya juga mendukung penguatan penerapan MBS, antara lain pasal yang berkaitan dengan pengelolaan dana pendidikan yang berdasar pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (Pasal 48 ayat 1), dan peran masyarakat (Pasal 55 dan 56)
Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan
Kamis, 03 Maret 2011
INDIKATOR MUTU PENDIDIKAN SMP
Oleh : Subagio,M.Pd.
Secara umum indikator mutu terwujud dalam kemampuan kecakapan hidup (life skills). Life skills itu mencakup empat aspek, yakni kecakapan social (social skills), kecakapan akademik (academic skills), kecakapan personal (personal skills), dan kecakapan vokasional (vocational skills). Kecakapan social antara lain mencakup nilai-nilai sikap sopan santun, keterampilan berkomunikasi, tenggang rasa, kerjasama, kerja keras, sportivitas, disiplin, menghargai orang lain, dan lain-lain. Kecakapan akademik terkait dengan hal-hal yang bersifat kemampuan pemahaman pengetahuan (knowledge). Kecakapan personal berhubungan dengan kemampuan memahami dirinya, antara lain bakatnya, minatnya, kekurangan dan kelebihannya, idealismenya, dan sebagainya. Sementara kecakapan vokasional terkait dengan keterampilan dasar yang dimiliki anak untuk memasuki dunia kerja.
Jika materi kecakapan akademik dan kecakapan vokasional diberikan dalam bentuk mata pelajaran, maka nilai-nilai yang terkandung dalam materi kecakapan personal dan kecakapan social diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari dan dalam kegiatan ekstrakurikuler (pramuka,kegiatan olah raga, dan lain-lain)
Dalam konteks yang lebih luas, indicator mutu pendidikan SMP sejalan dengan pandangan terkini tentang keberhasilan seseorang dalam mengarungi kehidupan, yang tidak hanya ditentukan oleh aspek-aspek yang bersifat akademik, tetapi terutama dipengaruhi oleh aspek-aspek yang terkait dengan kemampuan personal dan social. Dengan kata laun, indicator mutu SMP pada era yang akan dating sejalan dengan teori kecerdaan ganda (multiple inteligence) yang dikemukakan oleh Howard Gardner.
Dalam bukunya berjudul Multiple Intelligence The Theory and Practice (1993), Gardner menyatakan bahwa kecerdasan manusia tidak bersifat tunggal, tetapi majemuk. Kecerdasan matematika (logical) yang dulu diangap mewakili kecerdasan seseorang secara keseluruhan, sebenarnya hanya merupakan salah satu dari delapan jenis kecerdasan. Adapun delapan jenis kecerdasan manusia itu adalah : kecerdasan bahasa (verbal/linguistic), kecerdasan matematika logika (logical/mathematical), kecerdasan musical (musical/rhytmic), kecerdasan visual-spasial (visual/spatial), kecerdasan kinestetik (bodily-kinesthetic), kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis (naturalistic).
Pendidikan SMP tidak hanya mengasah kemampuan otak kiri anak saja yang terkait dengan kemampuan akademiknya, tetapi juga mengembangkan otak kanannya yang terkait dengan emosi, kreativitas, seni, dan kemampuan-kemampuan lain yang berhubungan dengan kecakapan social. Hanya saja di SMP yang diutamakan adalah kecakapan akademik, kecakapan personal, dan kecakapan social, karena untuk menyiapkan anak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Terutama di SMP yang termasuk dalam program RSBI, kecakapan-kecakapan tersebut sangat ditekankan, sementara kecakapan vokasional hamper tidak ada, karena anak-anak setelah lulus dipastikan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Sementara kecakapan vokasional ditekankan kepada anak-anak SMP yang setelah llus diperkirakan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, misalnya SMP terbuka. Selain itu diberikan kepada SMP-SMP yang cukup banyak lulusannya yang tidak melanjutkan ke SMA, misalnya di atas 40%. Itu menjadi sasaran kita untuk memprioritaskan vocational skills
Untuk mengukur indicator mutu tersebut ada yang gampang dan ada yang susah. Kecakapan akademik, misalnya, lebih gampang diukur melalui ujian hasil belajar maupu ujian nasional. Kecakapan vokasional juga mudah diukur melalu tes keterampilan. Namun untuk kecakapan personal dan sosial, mengukurnya tidak gampang karena bersifat relativ. Ukuran-ukuran norma yang berlaku di Suku Jawa, mungkin berbeda dengan yang berlaku di daerah lain.
Sebagai contoh, kalau dalam tradisi budaya Jawa, seseorang yang memberikan sesuatu dengan tangan kiri dianggap tidak sopan. Padahal di daerah lain bisa dinilai sebagai hal yang biasa. Oleh karena itu, ukuran-ukuran ini sekarang harus kita rumuskan, dan berlaku secara normativ. Kita dapat membuat pedoman pengukuran kecakapan sosial yang bersifat generik, yang bisa dipakai oleh berbagai suku bangsa di Indonesia maupun berbagai pemeluk agama
Secara umum indikator mutu terwujud dalam kemampuan kecakapan hidup (life skills). Life skills itu mencakup empat aspek, yakni kecakapan social (social skills), kecakapan akademik (academic skills), kecakapan personal (personal skills), dan kecakapan vokasional (vocational skills). Kecakapan social antara lain mencakup nilai-nilai sikap sopan santun, keterampilan berkomunikasi, tenggang rasa, kerjasama, kerja keras, sportivitas, disiplin, menghargai orang lain, dan lain-lain. Kecakapan akademik terkait dengan hal-hal yang bersifat kemampuan pemahaman pengetahuan (knowledge). Kecakapan personal berhubungan dengan kemampuan memahami dirinya, antara lain bakatnya, minatnya, kekurangan dan kelebihannya, idealismenya, dan sebagainya. Sementara kecakapan vokasional terkait dengan keterampilan dasar yang dimiliki anak untuk memasuki dunia kerja.
Jika materi kecakapan akademik dan kecakapan vokasional diberikan dalam bentuk mata pelajaran, maka nilai-nilai yang terkandung dalam materi kecakapan personal dan kecakapan social diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari dan dalam kegiatan ekstrakurikuler (pramuka,kegiatan olah raga, dan lain-lain)
Dalam konteks yang lebih luas, indicator mutu pendidikan SMP sejalan dengan pandangan terkini tentang keberhasilan seseorang dalam mengarungi kehidupan, yang tidak hanya ditentukan oleh aspek-aspek yang bersifat akademik, tetapi terutama dipengaruhi oleh aspek-aspek yang terkait dengan kemampuan personal dan social. Dengan kata laun, indicator mutu SMP pada era yang akan dating sejalan dengan teori kecerdaan ganda (multiple inteligence) yang dikemukakan oleh Howard Gardner.
Dalam bukunya berjudul Multiple Intelligence The Theory and Practice (1993), Gardner menyatakan bahwa kecerdasan manusia tidak bersifat tunggal, tetapi majemuk. Kecerdasan matematika (logical) yang dulu diangap mewakili kecerdasan seseorang secara keseluruhan, sebenarnya hanya merupakan salah satu dari delapan jenis kecerdasan. Adapun delapan jenis kecerdasan manusia itu adalah : kecerdasan bahasa (verbal/linguistic), kecerdasan matematika logika (logical/mathematical), kecerdasan musical (musical/rhytmic), kecerdasan visual-spasial (visual/spatial), kecerdasan kinestetik (bodily-kinesthetic), kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis (naturalistic).
Pendidikan SMP tidak hanya mengasah kemampuan otak kiri anak saja yang terkait dengan kemampuan akademiknya, tetapi juga mengembangkan otak kanannya yang terkait dengan emosi, kreativitas, seni, dan kemampuan-kemampuan lain yang berhubungan dengan kecakapan social. Hanya saja di SMP yang diutamakan adalah kecakapan akademik, kecakapan personal, dan kecakapan social, karena untuk menyiapkan anak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Terutama di SMP yang termasuk dalam program RSBI, kecakapan-kecakapan tersebut sangat ditekankan, sementara kecakapan vokasional hamper tidak ada, karena anak-anak setelah lulus dipastikan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Sementara kecakapan vokasional ditekankan kepada anak-anak SMP yang setelah llus diperkirakan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, misalnya SMP terbuka. Selain itu diberikan kepada SMP-SMP yang cukup banyak lulusannya yang tidak melanjutkan ke SMA, misalnya di atas 40%. Itu menjadi sasaran kita untuk memprioritaskan vocational skills
Untuk mengukur indicator mutu tersebut ada yang gampang dan ada yang susah. Kecakapan akademik, misalnya, lebih gampang diukur melalui ujian hasil belajar maupu ujian nasional. Kecakapan vokasional juga mudah diukur melalu tes keterampilan. Namun untuk kecakapan personal dan sosial, mengukurnya tidak gampang karena bersifat relativ. Ukuran-ukuran norma yang berlaku di Suku Jawa, mungkin berbeda dengan yang berlaku di daerah lain.
Sebagai contoh, kalau dalam tradisi budaya Jawa, seseorang yang memberikan sesuatu dengan tangan kiri dianggap tidak sopan. Padahal di daerah lain bisa dinilai sebagai hal yang biasa. Oleh karena itu, ukuran-ukuran ini sekarang harus kita rumuskan, dan berlaku secara normativ. Kita dapat membuat pedoman pengukuran kecakapan sosial yang bersifat generik, yang bisa dipakai oleh berbagai suku bangsa di Indonesia maupun berbagai pemeluk agama
Peningkatan Mutu Guru Era Sertifikasi
Oleh : Subagio,M.Pd.
UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru merupakan suatu profesi tersendiri di masyarakat yang setara dengan profesi- profesi lain seperti dokter, akuntan, notaries, pengacara, atau apoteker. UU ini juga mengatur kualifikasi pendidikan minimal untuk memenuhi persyaratan profesi, serttifikasi profesi, pendidikan keprofesian berkelanjutan, hak dan kewajiban pendidik, kesejahteraan pendidik, pengangkatan, mutasi, pemberian penghargaan, pemberhentian pendidik, dan oragnisasi profesi pendidik.
UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru tidak hanya memiliki kepribadian yang dapat diandalkan sehingga menjadi sosok panutan bagi peserta didik, keluarga maupun masyarakat.
Selaras dengan kebijaksanaan pembangunan sumber daya manusia (SDM) sebagai prioritas pembangunan nasional, maka kedudukan dan peran guru semakin bermakna strategis dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas. Di sinilah makin disadari akan kebutuhan guru-guru berkualitas.
UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru yang berhak mendapatkan sertifikat profesi harus melalui syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah berijazah S-1 atau D-4. Hal ini berlaku bagi guru mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat. UU Guru dan dosen juga menjadi paying hokum peningkatan kompetensi guru, dan dosen, melalui program sertifikasi pendidik.
Sertifikasi guru setidaknya memiliki tiga tujuan utama, Pertama sertifikasi merupakan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kedua, peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan. Ketiga, peningkatan profesionalitas guru.
Sertifikasi pendidik diharapkan mampu meningkatkan mutu guru disertai peningkatan kesejahteraan guru, sehingga ujungnya dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Mereka yang sudah lulus sertifikasi akan mendapat peningkatan kesejahteraan guru berupa pemberian tunjangan profesi, yang besarnya satu kali gaji pokok. Tunjangan profesi tersebut untuk semua guru, baik guru yang berstatus pegawai negerisipil (PNS) maupun guru non PNS/swasta.
Proses sertifikasi pendidik sebenarnya sudah dilaksanakan mulai tahun 2006. Namun, saat itu ada beberapa masalah yang menjadi penghambat, di antaranya Rancangan peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru yang masih tertahan di Kementrian Hukum dan Hak asasi Manusia. Factor penghambat lain saat itu adalah belum siapnya Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan (LPTK) dalam melaksanakan uji sertifikasi.
Meski PP Guru hingga pertengahan 2007 belum disahkan, sertifikasi pendidik akhirnya dilaksanakan berbekal Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007. Tahap awal sertifikasi itu dilaksanakan dengan format uji portofolio. Portofolio adalah bukti fisik berupa dokumen yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu.
Secara lebih rinci, ada 10 komponen portofolio, yakni (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Sungguh tepat langkah Mendiknas Bambang Sudibyo membentuk direktorat jenderal baru yang khusus menangani guru da tenaga kependidikan, yaitu Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) pada tahun 2005. Ditjen PMPTK pun menjadi institusi yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu tenaga pendidik dan kependidikan.
Upaya Ditjen PMPTK dalam rangka peningkatan mutu guru adalah dengan pembinaan melalui berbagai wahana. Di antaranya mengembangkan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Berbagai pendidikan dan pelatihan juga diberikan melaui Pusat Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) dan Lembaga Penjami Mutu Pendidikan (LPMP) yang berkedudukan di ibukota propinsi, sebelum era otonomi adalah Balai Penataran Guru (BPG).
Peran P4TK dan LPMP dalam menunjang mutu guru sangat besar agar arah penjaminan mutu, khususnya dari sisi SDM, focus pada peningkatan mutu guru yang dikelompokan menjadi dua, yakni dari segi kulifikasi dan kompetensi. Dari sisi kulifikasi tinggal memilih saja, mana guru-guru yang sudah ulus S-1 atau belum.
Sementara dari sisi kompetensi bisa dipilah-pilah menjadi tiga hal, Pertama, guru harus membangun komitmen sebagai guru yang baik, artinya, guru benar-benar mengajar karena cita-cita bukan sekadar pekerjaan rutin, Kedua, guru harus menguasai materi atau kompetensi, Ketiga, guru harus menguasai teaching skill atau keterampilam mengajar dengan baik. Guru yang menguasai tiga kompetensi ini baru bisa melakukan proses pembelajaran dengan baik.
Ditjen PMPTK juga mengulirkan program Better Education Through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading (BERMUTU). Program BERMUTU merupakan strategi terbaik dalam meningkatkan kualifikasi dan penerapan sertifikasi guru. Sekaligus sebagai uji coba hasil rekomendasi studi yang dilakukan pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda didukung Bank Dunia.
Cikal bakal program tentang manajemen guru ini sudah dilaksanakan pada tahun 2006. Ketika itu, pemerintah Indonesia, melalui Ditjen PMPTK, bekerjasama dengan pemerintah Belanda, didukung Bank Dunia, dan USAID melakukan studi mengenai manajemen guru. BERMUTU menekankan pada perbaikan manajemen pendidikan dan manajemen kinerja guru.
Apreiasi tinggi pada profesi guru itu merupakan bagian dari tuntuan dunia internasional. ILO dan UNESCO sebagai organisasi di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), misalnya, mengakui staus profesi guru pada tempat tersendiri.
Kata “status” yang digunakan di dalam rekomendasi ILO/UNESCO mengenai Status Guru (The Status of Teachers) tahun 1966, bermakna bahwa kedudukan dan penghormatan yang diberikan kepada guru harus sesuai. Hal itu dibuktikan dengan tingkat penghargaan akan pentingnya fungsi dan kemampuannya melaksanakan fungsi, kondisi kerja, pengupahan dan keuntungan-keuntungan material lain yang diberikan kepada mereka dibandingkan dengan kelompok-kelompok profesi lain.
ILO/UNESCO merekomendasikan bahwa status guru hendaklah sebanding dengan kebutuhan dan tuntutan akan maksud dan tujuan pendidikan, serta harus diakui bahwa status guru yang tepat dan penghormatan umum bagi profesi pengajaran sangat penting untuk mewujudkan maksud dan tujuan pendidikan seutuhnya.
Lahirnya UU Guru dan Dosen menempatkan Indonesia sebagai negara yang telah memposisikan profesi guru di tempat yang sangat terhormat, baik secara formal maupun sosial. Sebelum ditetapkannya UU Guru dan Dosen, “guru sebagai profesi” telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2 Desember 2004.
Pencanangan guru sebagai profesi merupakan pengakuan formal atas profesi guru sebagai profesi yang bermartabat. Yang diharapkan menjadi tonggak awal bangkitnya apresiasi tinggi pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru, ditandai dengan pemberian penghargaan, perbaikan kesejahteraan, perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja bagi para guru.
UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru merupakan suatu profesi tersendiri di masyarakat yang setara dengan profesi- profesi lain seperti dokter, akuntan, notaries, pengacara, atau apoteker. UU ini juga mengatur kualifikasi pendidikan minimal untuk memenuhi persyaratan profesi, serttifikasi profesi, pendidikan keprofesian berkelanjutan, hak dan kewajiban pendidik, kesejahteraan pendidik, pengangkatan, mutasi, pemberian penghargaan, pemberhentian pendidik, dan oragnisasi profesi pendidik.
UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru tidak hanya memiliki kepribadian yang dapat diandalkan sehingga menjadi sosok panutan bagi peserta didik, keluarga maupun masyarakat.
Selaras dengan kebijaksanaan pembangunan sumber daya manusia (SDM) sebagai prioritas pembangunan nasional, maka kedudukan dan peran guru semakin bermakna strategis dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas. Di sinilah makin disadari akan kebutuhan guru-guru berkualitas.
UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru yang berhak mendapatkan sertifikat profesi harus melalui syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah berijazah S-1 atau D-4. Hal ini berlaku bagi guru mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat. UU Guru dan dosen juga menjadi paying hokum peningkatan kompetensi guru, dan dosen, melalui program sertifikasi pendidik.
Sertifikasi guru setidaknya memiliki tiga tujuan utama, Pertama sertifikasi merupakan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kedua, peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan. Ketiga, peningkatan profesionalitas guru.
Sertifikasi pendidik diharapkan mampu meningkatkan mutu guru disertai peningkatan kesejahteraan guru, sehingga ujungnya dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Mereka yang sudah lulus sertifikasi akan mendapat peningkatan kesejahteraan guru berupa pemberian tunjangan profesi, yang besarnya satu kali gaji pokok. Tunjangan profesi tersebut untuk semua guru, baik guru yang berstatus pegawai negerisipil (PNS) maupun guru non PNS/swasta.
Proses sertifikasi pendidik sebenarnya sudah dilaksanakan mulai tahun 2006. Namun, saat itu ada beberapa masalah yang menjadi penghambat, di antaranya Rancangan peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru yang masih tertahan di Kementrian Hukum dan Hak asasi Manusia. Factor penghambat lain saat itu adalah belum siapnya Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan (LPTK) dalam melaksanakan uji sertifikasi.
Meski PP Guru hingga pertengahan 2007 belum disahkan, sertifikasi pendidik akhirnya dilaksanakan berbekal Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007. Tahap awal sertifikasi itu dilaksanakan dengan format uji portofolio. Portofolio adalah bukti fisik berupa dokumen yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu.
Secara lebih rinci, ada 10 komponen portofolio, yakni (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Sungguh tepat langkah Mendiknas Bambang Sudibyo membentuk direktorat jenderal baru yang khusus menangani guru da tenaga kependidikan, yaitu Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) pada tahun 2005. Ditjen PMPTK pun menjadi institusi yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu tenaga pendidik dan kependidikan.
Upaya Ditjen PMPTK dalam rangka peningkatan mutu guru adalah dengan pembinaan melalui berbagai wahana. Di antaranya mengembangkan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Berbagai pendidikan dan pelatihan juga diberikan melaui Pusat Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) dan Lembaga Penjami Mutu Pendidikan (LPMP) yang berkedudukan di ibukota propinsi, sebelum era otonomi adalah Balai Penataran Guru (BPG).
Peran P4TK dan LPMP dalam menunjang mutu guru sangat besar agar arah penjaminan mutu, khususnya dari sisi SDM, focus pada peningkatan mutu guru yang dikelompokan menjadi dua, yakni dari segi kulifikasi dan kompetensi. Dari sisi kulifikasi tinggal memilih saja, mana guru-guru yang sudah ulus S-1 atau belum.
Sementara dari sisi kompetensi bisa dipilah-pilah menjadi tiga hal, Pertama, guru harus membangun komitmen sebagai guru yang baik, artinya, guru benar-benar mengajar karena cita-cita bukan sekadar pekerjaan rutin, Kedua, guru harus menguasai materi atau kompetensi, Ketiga, guru harus menguasai teaching skill atau keterampilam mengajar dengan baik. Guru yang menguasai tiga kompetensi ini baru bisa melakukan proses pembelajaran dengan baik.
Ditjen PMPTK juga mengulirkan program Better Education Through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading (BERMUTU). Program BERMUTU merupakan strategi terbaik dalam meningkatkan kualifikasi dan penerapan sertifikasi guru. Sekaligus sebagai uji coba hasil rekomendasi studi yang dilakukan pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda didukung Bank Dunia.
Cikal bakal program tentang manajemen guru ini sudah dilaksanakan pada tahun 2006. Ketika itu, pemerintah Indonesia, melalui Ditjen PMPTK, bekerjasama dengan pemerintah Belanda, didukung Bank Dunia, dan USAID melakukan studi mengenai manajemen guru. BERMUTU menekankan pada perbaikan manajemen pendidikan dan manajemen kinerja guru.
Apreiasi tinggi pada profesi guru itu merupakan bagian dari tuntuan dunia internasional. ILO dan UNESCO sebagai organisasi di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), misalnya, mengakui staus profesi guru pada tempat tersendiri.
Kata “status” yang digunakan di dalam rekomendasi ILO/UNESCO mengenai Status Guru (The Status of Teachers) tahun 1966, bermakna bahwa kedudukan dan penghormatan yang diberikan kepada guru harus sesuai. Hal itu dibuktikan dengan tingkat penghargaan akan pentingnya fungsi dan kemampuannya melaksanakan fungsi, kondisi kerja, pengupahan dan keuntungan-keuntungan material lain yang diberikan kepada mereka dibandingkan dengan kelompok-kelompok profesi lain.
ILO/UNESCO merekomendasikan bahwa status guru hendaklah sebanding dengan kebutuhan dan tuntutan akan maksud dan tujuan pendidikan, serta harus diakui bahwa status guru yang tepat dan penghormatan umum bagi profesi pengajaran sangat penting untuk mewujudkan maksud dan tujuan pendidikan seutuhnya.
Lahirnya UU Guru dan Dosen menempatkan Indonesia sebagai negara yang telah memposisikan profesi guru di tempat yang sangat terhormat, baik secara formal maupun sosial. Sebelum ditetapkannya UU Guru dan Dosen, “guru sebagai profesi” telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2 Desember 2004.
Pencanangan guru sebagai profesi merupakan pengakuan formal atas profesi guru sebagai profesi yang bermartabat. Yang diharapkan menjadi tonggak awal bangkitnya apresiasi tinggi pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru, ditandai dengan pemberian penghargaan, perbaikan kesejahteraan, perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja bagi para guru.
Selasa, 01 Maret 2011
MENUJU SMP BERMUTU
Oleh : Subagio,M.Pd.*)
Tuntutan untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu merupakan amanat dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 50 ayat 2 berbunyi :”Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional”. Selanjutnya, untuk menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu yang didasarkan pada standar nasional pendidikan, maka pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Di dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tersebut dinyatakan ada delapan komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP), yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Seluruh penyelenggaraan pendidikan harus mengacu pada tercapainya delapan standar nasional tersebut.
Selain amanat undang-undang sebagaimana dikemukakan di atas, sekurang-kurangnya ada Sembilan alasan yang mendasari perlunya penyelenggaraan pendidikan SMP yang bermutu. Pertama, dewasa ini kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan bermutu semakin tinggi. Jika penyelenggaraan pendidikan berlangsung ala kadarnya, maka lambat laun akan ditinggalkan oleh masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa pendidikan telah menjadi salah satu pranata kehidupan social yang kuat dan berwibawa, serta memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan peradaban bangsa kita. Pendidikan mampu melahirkan masyarakat terpelajar dan berakhlak mulia yang menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat sejahtera. Pendidikan juga meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga mampu hidup harmonis dan toleran dalam kemajemukan, sekaligus memperkuat kohesi social dan memantapkan wawasan kebangsaan untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis.
Selain itu, masyarakat menyadari pula bahwa penyelenggaraan pendidikan bermutu bisa memberikan sumbangan nyata bagi pertumbuhan ekonomi memperlihatkan adanya korelasi positif antara tingkat pendidikan suatu masyarakat dengan kemajuan ekonomi (Depdiknas,2007)
Kedua, secara umum prestasi belajar anak-anak SMP kita jika dibandingkan dengan anak-anak dari Negara lain masih jauh ketinggalan. Paling tidak, gambaran seperti itu tampak pada studi yang dilakukan oleh IEA (The International Association for the Evaluation of education Achievement), sebuah organisasi yang bergerak di bidang penilaian dan pengukuran pendidikan yang berpusat di Belanda. Berdasarkan hasil survey TIMSS (TRENDS IN International Mathematics and Science Study) tahun 2003 yang diselenggarakan oleh IEA, kemampuan anak-anak Indonesia dalam bidang matematika dan IPA masing-masing berada pada peringkat 34 dan 36 dari 46 negara yang di survey. Singapura menduduki peringkat pertama baik matematika maupun IPA. Malaysia berada di peringkat 10 untuk matematika, dan 20 untuk IPA. Sejumlah Negara maju di kawasan Asia Timur seperti Korea Selatan, jepang, Taiwan, dan Hongkong, mendominasi peringkat teratas baik bidang matematika maupun IPA. Negara-negara tersebut, termasuk Singapura dan Malaysia, dikenal mempunyai perhatian sangat tinggi terhadap pembangunan pendidikan. Hasil survey TIMSS tahun 2007 yang diikuti oleh 48 negara juga menunjukkan bahwa mutu pendidikan SMP kita jauh ketinggalan dari negara-negara lain. Dalam bidang matematika dan IPA masing-masing berada di peringkat 36 dari 48 negara peserta.
Ketiga, penyelenggaraan pendidikan SMP bermutu bernilai sangat strategis karena memungkinkan tersedianya sumber daya manusia (SDM) berkualitas dalam jumlah memadai, yang dikenal dengan critical mass. Ketersediaan SDM berkualitas dalam jumlah cukup itu sangat penting untuk mendorong percepatan pembangunan, khususnya bidang ekonomi. Hal ini terkait erat dengan paradigm kejayaan suatu bangsa, yang kini bertumpu pada knowledge based.
Keempat, SMP merupakan satuan pendidikan yang bertugas memberikan bekal kepada siswa agar setelah lulus mereka mampu melanjutkan ke pendidikan menengah atau pendidikan yang lebih tinggi. Di SMP memang diberikan pula keterampilan dasar. Tetapi karena kecil kemungkinan seorang anak lulusan SMP siap memasuki dunia kerja, maka yang paling utama dari penyelenggaraan pendidikan SMP adalah menyiapkan mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, apakah SLTA umum (SMA/MA) maupun kejuruan (SMK/MAK)
Kelima, masyarakat yang berpendidikan relative lebih mudah diajak maju. Pengalaman selama ini menunjukkan, banyak program pembangunan yang gagal dalam implementasinya lantaran tidak didukung tingkat pendidikan masyarakat. Mereka sangat sulit diajak melakukan hal-hal yang berbau modern.
Keenam, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut masyarakat lebih berpendidikan. Pada tahun 1980-an pelipatgandaan kemajuan ilmu pegetahuan membutuhkan waktu hampir 20 tahun, sekarang ini berlipat ganda hanya dalam hitungan hari. Jadi setiap hari ilmu pengetahuan berkembang luar biasa pesat.
Ketujuh, tingginya tingkat pendidikan suatu bangsa bisa meningkatkan daya saing sebagai contoh Singapura, Korea Selatan, dan Jepang yang suah tuntas pada tingkat wajib belajar 12 tahun. Bahkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tingginya sudah mencapai sekitar 70%. Sementara APK perguruan tinggi Indonesia baru pada kisaran 18%.
Kedelapan, ketuntasan program Wajar Dikdas Sembilan Tahun berkualitas merupakan bagian dari komitmen bangsa Indonesia terhadap gerakan Education for All (EFA) yang diprakasai UNESCO. EFA menargetkan pada tahun 2015 semua penduduk dunia harus mempunyai akses yang sama untuk memperoleh pendidikan dasar berkualitas.
Negara-negara di dunia sangat peduli dan berkomitmen melaksanakan EFA karena keberadaan Negara-negara yang tingkat pendidikan penduduknya terbelakang akan menyulitkan Negara-negara lain dalam kancah pergaulan internasional. Jepang, misalnya, yang sekitar 80% daratannya terdiri dari tanah pegunungan sehingga sulit ditanami, sangat bergantung pada suplai makanan dari Negara-negara lain, termasuk dari Indonesia. Sebaliknya Negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang membutuhkan kendaraan bermotor, sangat bergantung pada Jepang.
Sehingga tingkat kecerdasan suatu bangsa sangat dibutuhkan dalam pergaulan internasional. Investasi yang dating dari luar negeri tidak hanya mempertimbangkan situasi plitik dan keamanan maupun ketersediaan infrastruktur suatu Negara, tetapi juga bagaimana kualitas SDM-nya.
Kesembilan, dilihat dari peserta didik, penyelenggaraan pendidikan SMP bermutu bisa memungkinkan mereka untuk mengarungi hidup yang lebih baik. Mereka akan lebih siap dalam memasuki era globalisasi, sehingga tidak mengalami keterkejutan budya (culture shock). Asumsinya, anak-anak lulusan SMP/ sederajat memiliki kemampuan dasar minimal, yang diharapkan membantu mereka baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan di atasnya maupun memasuki kehidupan nyata di masyarakat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuhnya, akan semakin member peluang lebih besar dalam meraih kesuksesan hidup di masyarakat. Dalam konteks globalisasi, dengan berpendidikan minimal SMP/sederajat maka bangsa kita tidak akan menjadi korban dari derasnya arus globalisasi, melainkan ikut memainkan peranan.
Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan.
Tuntutan untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu merupakan amanat dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 50 ayat 2 berbunyi :”Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional”. Selanjutnya, untuk menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu yang didasarkan pada standar nasional pendidikan, maka pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Di dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tersebut dinyatakan ada delapan komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP), yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Seluruh penyelenggaraan pendidikan harus mengacu pada tercapainya delapan standar nasional tersebut.
Selain amanat undang-undang sebagaimana dikemukakan di atas, sekurang-kurangnya ada Sembilan alasan yang mendasari perlunya penyelenggaraan pendidikan SMP yang bermutu. Pertama, dewasa ini kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan bermutu semakin tinggi. Jika penyelenggaraan pendidikan berlangsung ala kadarnya, maka lambat laun akan ditinggalkan oleh masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa pendidikan telah menjadi salah satu pranata kehidupan social yang kuat dan berwibawa, serta memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan peradaban bangsa kita. Pendidikan mampu melahirkan masyarakat terpelajar dan berakhlak mulia yang menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat sejahtera. Pendidikan juga meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga mampu hidup harmonis dan toleran dalam kemajemukan, sekaligus memperkuat kohesi social dan memantapkan wawasan kebangsaan untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis.
Selain itu, masyarakat menyadari pula bahwa penyelenggaraan pendidikan bermutu bisa memberikan sumbangan nyata bagi pertumbuhan ekonomi memperlihatkan adanya korelasi positif antara tingkat pendidikan suatu masyarakat dengan kemajuan ekonomi (Depdiknas,2007)
Kedua, secara umum prestasi belajar anak-anak SMP kita jika dibandingkan dengan anak-anak dari Negara lain masih jauh ketinggalan. Paling tidak, gambaran seperti itu tampak pada studi yang dilakukan oleh IEA (The International Association for the Evaluation of education Achievement), sebuah organisasi yang bergerak di bidang penilaian dan pengukuran pendidikan yang berpusat di Belanda. Berdasarkan hasil survey TIMSS (TRENDS IN International Mathematics and Science Study) tahun 2003 yang diselenggarakan oleh IEA, kemampuan anak-anak Indonesia dalam bidang matematika dan IPA masing-masing berada pada peringkat 34 dan 36 dari 46 negara yang di survey. Singapura menduduki peringkat pertama baik matematika maupun IPA. Malaysia berada di peringkat 10 untuk matematika, dan 20 untuk IPA. Sejumlah Negara maju di kawasan Asia Timur seperti Korea Selatan, jepang, Taiwan, dan Hongkong, mendominasi peringkat teratas baik bidang matematika maupun IPA. Negara-negara tersebut, termasuk Singapura dan Malaysia, dikenal mempunyai perhatian sangat tinggi terhadap pembangunan pendidikan. Hasil survey TIMSS tahun 2007 yang diikuti oleh 48 negara juga menunjukkan bahwa mutu pendidikan SMP kita jauh ketinggalan dari negara-negara lain. Dalam bidang matematika dan IPA masing-masing berada di peringkat 36 dari 48 negara peserta.
Ketiga, penyelenggaraan pendidikan SMP bermutu bernilai sangat strategis karena memungkinkan tersedianya sumber daya manusia (SDM) berkualitas dalam jumlah memadai, yang dikenal dengan critical mass. Ketersediaan SDM berkualitas dalam jumlah cukup itu sangat penting untuk mendorong percepatan pembangunan, khususnya bidang ekonomi. Hal ini terkait erat dengan paradigm kejayaan suatu bangsa, yang kini bertumpu pada knowledge based.
Keempat, SMP merupakan satuan pendidikan yang bertugas memberikan bekal kepada siswa agar setelah lulus mereka mampu melanjutkan ke pendidikan menengah atau pendidikan yang lebih tinggi. Di SMP memang diberikan pula keterampilan dasar. Tetapi karena kecil kemungkinan seorang anak lulusan SMP siap memasuki dunia kerja, maka yang paling utama dari penyelenggaraan pendidikan SMP adalah menyiapkan mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, apakah SLTA umum (SMA/MA) maupun kejuruan (SMK/MAK)
Kelima, masyarakat yang berpendidikan relative lebih mudah diajak maju. Pengalaman selama ini menunjukkan, banyak program pembangunan yang gagal dalam implementasinya lantaran tidak didukung tingkat pendidikan masyarakat. Mereka sangat sulit diajak melakukan hal-hal yang berbau modern.
Keenam, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut masyarakat lebih berpendidikan. Pada tahun 1980-an pelipatgandaan kemajuan ilmu pegetahuan membutuhkan waktu hampir 20 tahun, sekarang ini berlipat ganda hanya dalam hitungan hari. Jadi setiap hari ilmu pengetahuan berkembang luar biasa pesat.
Ketujuh, tingginya tingkat pendidikan suatu bangsa bisa meningkatkan daya saing sebagai contoh Singapura, Korea Selatan, dan Jepang yang suah tuntas pada tingkat wajib belajar 12 tahun. Bahkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tingginya sudah mencapai sekitar 70%. Sementara APK perguruan tinggi Indonesia baru pada kisaran 18%.
Kedelapan, ketuntasan program Wajar Dikdas Sembilan Tahun berkualitas merupakan bagian dari komitmen bangsa Indonesia terhadap gerakan Education for All (EFA) yang diprakasai UNESCO. EFA menargetkan pada tahun 2015 semua penduduk dunia harus mempunyai akses yang sama untuk memperoleh pendidikan dasar berkualitas.
Negara-negara di dunia sangat peduli dan berkomitmen melaksanakan EFA karena keberadaan Negara-negara yang tingkat pendidikan penduduknya terbelakang akan menyulitkan Negara-negara lain dalam kancah pergaulan internasional. Jepang, misalnya, yang sekitar 80% daratannya terdiri dari tanah pegunungan sehingga sulit ditanami, sangat bergantung pada suplai makanan dari Negara-negara lain, termasuk dari Indonesia. Sebaliknya Negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang membutuhkan kendaraan bermotor, sangat bergantung pada Jepang.
Sehingga tingkat kecerdasan suatu bangsa sangat dibutuhkan dalam pergaulan internasional. Investasi yang dating dari luar negeri tidak hanya mempertimbangkan situasi plitik dan keamanan maupun ketersediaan infrastruktur suatu Negara, tetapi juga bagaimana kualitas SDM-nya.
Kesembilan, dilihat dari peserta didik, penyelenggaraan pendidikan SMP bermutu bisa memungkinkan mereka untuk mengarungi hidup yang lebih baik. Mereka akan lebih siap dalam memasuki era globalisasi, sehingga tidak mengalami keterkejutan budya (culture shock). Asumsinya, anak-anak lulusan SMP/ sederajat memiliki kemampuan dasar minimal, yang diharapkan membantu mereka baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan di atasnya maupun memasuki kehidupan nyata di masyarakat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuhnya, akan semakin member peluang lebih besar dalam meraih kesuksesan hidup di masyarakat. Dalam konteks globalisasi, dengan berpendidikan minimal SMP/sederajat maka bangsa kita tidak akan menjadi korban dari derasnya arus globalisasi, melainkan ikut memainkan peranan.
Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan.
Contextual Teaching and Learning (CTL)
Oleh : Subagio,M.Pd.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan. Dengan berkembangnya teknologi ini mengakibatkan berkembangnya ilmu pengetahuan yang memiliki dampak positif maupun negatif. Perkembangan teknologi ini dimulai dari negara maju, sehingga Indonesia sebagai negara berkembang perlu mensejajarkan diri dengan negara-negara yang sudah maju tersebut.
Pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, sehingga manusia mampu untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi, menuju arah yang lebih baik. Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Syaiful Sagala, 2006 : 61).
Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Dampak yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar siswa dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan karena dalam proses siswa kurang dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat pada guru, dan klasikal. Selain itu siswa kurang dilatih untuk menganalisis permasalahan, jarang sekali siswa menyampaikan ide untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses penyelesaian soal yang dilontarkan guru.
Dari beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang menarik dan dapat memicu peningkatan penalaran siswa yaitu model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Pada dasarnya, pembelajaran CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Dalam pembelajaran ini siswa harus dapat mengembangkan ketrampilan dan pemahaman konsep matematika untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh guru dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri.
Dalam Contextual teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Pendekatan CTL itu memang bukan barang baru. Penelitian mengenai pengajaran kontekstual kali pertama digulirkan John Dewey (1916). Ketika itu Dewey menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan terjadi disekelilingnya.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Melalui pembelajaran kontekstual diharapkan konsep-konsep mater pelajaran dapat diintegrasikan dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan lebih baik dan mudah.
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yangsedang dipelajarinya dan sekaligus memperhatikan factor kebutuhan individual siswa dan peran guru.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siwa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada member informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa.Sesuatu yang baru itu didapat dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru.
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Contextual Teaching and Learning (CTL) disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2005:110), sebagai berikut:
1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.
Contextual teaching and learning (CTL)sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas –asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Ketujuh asas tersebut antara lain “
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognisi siswa berdasarkan pengalaman.Menurut konstruktivisme,pengalaman itu memang bersala dari luar,akan tetapi dikontruksi oleh dan dari dalam diri seseorang.Oleh sesbab itu pengalaman terbentuk oleh dua factor penting yaitu obyek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subyek untuk menginterpretasi obyek tersebut.
Konsep Konstruktivisme,ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan.
2. Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah inkuiri.Artinya,proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat,akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.Dengan demikian dalam proses perencanaan,guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal,akan tetapi meransang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
Inkuiri, merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi; observasi, tanya jawab, hipoteis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan.
3. Bertanya
Belajar pada dasarnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.bertanya dapat dianggap sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu,sedangkan menjawab pertanyaam mencerminkan kemampuan sesorang dalam berpikir.Dalam proses pembelajaran CTL guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri.Karena itu peran bertanya sangat penting,sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbng dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
4. Masyarakat belajar
Dalam CTL penerapan masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen baik dilihat dari kemampuan belajar dan kecepatan belajarnya.Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan,yang cepat didorong untuk membantu yang lambat belajar.
Komunitas belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud dalam; pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, beekrja dengan masyarakat.
5. Pemodelan
Yang dimaksud dengan asas pemodelan, adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing.guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola dan lain sebagainya.
Dalam konsep Pemodelan ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajr atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media cetak dan elektronik.
6. Refleksi
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.Melalui refleksi pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognisi siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang telah dibentuknya.
Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
7. Penilaian nyata
Penilaian nyata (authentic assesement ) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak.apakah pengetahuan belajar siswa mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian nyata (otentik), prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan
Perkembangan teknologi yang sangat pesat sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan. Dengan berkembangnya teknologi ini mengakibatkan berkembangnya ilmu pengetahuan yang memiliki dampak positif maupun negatif. Perkembangan teknologi ini dimulai dari negara maju, sehingga Indonesia sebagai negara berkembang perlu mensejajarkan diri dengan negara-negara yang sudah maju tersebut.
Pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, sehingga manusia mampu untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi, menuju arah yang lebih baik. Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Syaiful Sagala, 2006 : 61).
Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Dampak yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar siswa dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan karena dalam proses siswa kurang dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat pada guru, dan klasikal. Selain itu siswa kurang dilatih untuk menganalisis permasalahan, jarang sekali siswa menyampaikan ide untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses penyelesaian soal yang dilontarkan guru.
Dari beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang menarik dan dapat memicu peningkatan penalaran siswa yaitu model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Pada dasarnya, pembelajaran CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Dalam pembelajaran ini siswa harus dapat mengembangkan ketrampilan dan pemahaman konsep matematika untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh guru dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri.
Dalam Contextual teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Pendekatan CTL itu memang bukan barang baru. Penelitian mengenai pengajaran kontekstual kali pertama digulirkan John Dewey (1916). Ketika itu Dewey menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan terjadi disekelilingnya.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Melalui pembelajaran kontekstual diharapkan konsep-konsep mater pelajaran dapat diintegrasikan dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan lebih baik dan mudah.
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yangsedang dipelajarinya dan sekaligus memperhatikan factor kebutuhan individual siswa dan peran guru.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siwa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada member informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa.Sesuatu yang baru itu didapat dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru.
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Contextual Teaching and Learning (CTL) disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2005:110), sebagai berikut:
1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.
Contextual teaching and learning (CTL)sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas –asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Ketujuh asas tersebut antara lain “
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognisi siswa berdasarkan pengalaman.Menurut konstruktivisme,pengalaman itu memang bersala dari luar,akan tetapi dikontruksi oleh dan dari dalam diri seseorang.Oleh sesbab itu pengalaman terbentuk oleh dua factor penting yaitu obyek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subyek untuk menginterpretasi obyek tersebut.
Konsep Konstruktivisme,ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan.
2. Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah inkuiri.Artinya,proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat,akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.Dengan demikian dalam proses perencanaan,guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal,akan tetapi meransang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
Inkuiri, merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi; observasi, tanya jawab, hipoteis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan.
3. Bertanya
Belajar pada dasarnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.bertanya dapat dianggap sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu,sedangkan menjawab pertanyaam mencerminkan kemampuan sesorang dalam berpikir.Dalam proses pembelajaran CTL guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri.Karena itu peran bertanya sangat penting,sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbng dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
4. Masyarakat belajar
Dalam CTL penerapan masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen baik dilihat dari kemampuan belajar dan kecepatan belajarnya.Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan,yang cepat didorong untuk membantu yang lambat belajar.
Komunitas belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud dalam; pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, beekrja dengan masyarakat.
5. Pemodelan
Yang dimaksud dengan asas pemodelan, adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing.guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola dan lain sebagainya.
Dalam konsep Pemodelan ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajr atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media cetak dan elektronik.
6. Refleksi
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.Melalui refleksi pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognisi siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang telah dibentuknya.
Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
7. Penilaian nyata
Penilaian nyata (authentic assesement ) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak.apakah pengetahuan belajar siswa mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian nyata (otentik), prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan
Langganan:
Postingan (Atom)