Oleh : Subagio,M.Pd.
Kepala sekolah memiliki peranan yang sangat kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah (Mulyasa, 2005).
Manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan karena manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar dan proses pembelajaran. Sekolah efektif dalam perspektif manajemen, manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Darling-Hammond,L (1992) menyatakan dimensi sekolah efektif meliputi : 1) layanan belajar bagi siswa, 2) pengelolaan dan layanan siswa, 3) sarana dan pra sarana sekolah, 4) program dan pembiayaan, 5) partisipasi masyarakat, dan 6) budaya sekolah. Sekolah yang efektif berada dalam lapangan manajemen sekolah yang ciri/karakteristiknya menurut Edmonds (dalam Syafaruddin, 2002) meliputi (a) Kepala sekolah dan guru-guru memiliki komitmen dan perhatian yang tinggi terhadap perbaikan mutu pengajaran, (b) Guru-guru memiliki harapan yang tinggi untuk mendukung pencapaian prestasi siswa, (c) Iklim sekolah yang tidak kaku, sejuk tanpa tekanan dan kondusif dalam seluruh proses pengajaran, (d) Sekolah mempunyai pemahaman yang luas tentang fokus pengajaran dan mengusahakan keefektifan sekolah dengan mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan secara maksimal, (e) Sekolah efektif dapat menjamin kemajuan siswa yang dimonitor secara periodik.
Sejalan dengan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kepala sekolah yang memiliki kemampuan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen meliputi sebagai berikut:
Dalam perencanaan meliputi (1) Kepala sekolah dapat menetapkan program-program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah, (3) Kepala sekolah dapat menyusun program kerja sekolah, dan (4) Kepala sekolah dapat merumuskan langkah-langkahpelaksanaanprogram.
Dalam pengorganisasian meliputi (1) Kepala sekolah dapat menempatkan guru sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam KBM, (2) Kepala sekolah dapat mengatur penggunaan sarana dan prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan siswa, guru dan personel lain sehingga terjalin kerjasama yang baik, (3) Kepala sekolah dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dan personel sekolah lainnya, (4) Kepala sekolah dapat mengatur kerjasama dengan pihak atau instansi lain untuk menyukseskan program-program sekolah.
Dalam penggerakan meliputi (1) Kepala sekolah dapat memotivasi guru sehingga guru merasa mampu dan yakin untuk melaksanakan program- program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat memimpin dan mengarahkan guru-guru dengan baik, (3) Kepala sekolah dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan profesionalisme sesuai dengan bidangnya, (4) Kepala sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan tujuan untuk pencapaian prestasi.
Dalam pengendalian meliputi (1) Kepala sekolah dapat mengevaluasi pelaksanaan program-program sekolah seperti yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan, (2) Kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja guru dan personel sekolah lainnya, (3) Kepala sekolah dapat memberikan penguatan terhadap keberhasilan yang telah dicapai oleh guru, (4) Kepala sekolah dapat memperbaiki kesalahan/kelemahan yang telah dibuat oleh guru dan personel lainnya.
Kemajuan suatu sekolah tidak terlepas dari kompetensi manajerial yang dimainkan dan dimiliki oleh kepala sekolah. Semegah apapun dan secanggih apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah kalau tidak dimanage dan ditangani oleh kepala sekolah beserta dengan aparat birokrasi sekolah yang bersangkutan, maka itu akan sia-sia.
Oleh sebab itu, kemajuan dan perkembangan suatu sekolah sangat ditentukan atensi dan kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah, sehingga kiprah kepala sekolah di dalam menjalankan visi ,misi dan strategi sekolah dapat terwujud. Urgensinya dari persoalannya bahwa: Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan, oleh sebab itu kepala sekolah adalah inovator. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme dan kepercayaan orang tua menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada semua komponen persekolahan seperti guru, karyawan dan kepala sekolah. Karena orang tua masih banyak memiliki pandangan bahwa suatu sekolah yang sudah menjadi primadona dan fanatismenya disebabkan oleh popularitas suatu sekolah yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai, komponen birokrasi dan administrasi sekolah yang terbuka, harmonisasi dan interaksi antar semua komponen persekolah saling mendukung dan terbentuk suasana kondunsif, di manapun lokasi sekolah yang bersangkutan akan tetap dikejar. Apalagi masih melekat dari para orang tua yang sudah tertanam didirinya, bahwa bila anak pertamanya dididik di sekolah tertentu, maka untuk anak-anak berikutnya tetap menginginkan sekolah yang bersangkutan. Hal ini tentunya atas pertimbangan yang sudah disebutkan di atas. Siswa dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah, oleh sebab itu seorang kepala sekolah mestilah seorang fasilitator. Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsunganpendidikan.
Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah. Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni sebagai tokoh sentral dan manajer dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan mengatasi aneka krisis yang ada dalam sekolah. Ketiga, mestilah memahami akan fungsi apa yang disebut dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM) Salah satu pola manajemen yang berisi seperangkat prosedur yang digunakan oleh setiap orang/institusi untuk memperbaiki kinerja pembelajaran secara terus menerus. Karena manfaat dari MMT ini antara lain adalah untuk meningkatkan kinerja proses pembelajaran melalui peningkatan produktivitas, efektivitas dan efisiensi. Konsep ini harus dipahami oleh semua unsur birokrasi sekolah, mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, guru BP, petugas laboratorium, pustaka, karyawan, penjaga sekolah, siswa, orang tua dan komite sekolah. Masing-masing bersinergi dan saling menunjukan kinerja, dan masing-masing saling bertanggungjawab dengan tugas dan fungsi yang melekat pada dirinya. Akan terasa pincang jalannya suatu organisasi sekolah, bilama masing-masing komponen tidak saling mendukung, dan lebih celakanya masing-masing komponen melempar tanggungjawab, dan seolah-olah tugas dan fungsi yang melekat pada dirinya bisa dikerjakan oleh oranglain.
Oleh sebab itulah, kompetensi seorang kepala sekolah di dalam menjalankan roda organisasi sekolah mesti ada. Kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah di samping yang disebutkan di atas, diantaranya adalah konseptor, negosiator, administrator, motivator. Disamping itu seorang kepala sekolah juga memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, dan ini terkait erat dengan program sertifikasi bagi kepala sekolah. Suatu hal yang harus melekat erat pada seorang kepala sekolah adalah memiliki visioner, punya pandangan dan wawasan, intelektual, dan bertanggungjawab.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional ( Depdiknas, 2006 ), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) edukator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai edukator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Kamis, 18 Februari 2010
Minggu, 07 Februari 2010
SELAMAT DATANG PROGRAM INDUKSI GURU PEMULA
Oleh : Subagio,M.Pd.
Guru merupakan profesi terhormat dan garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Selama ini guru selalu menjadi tumpuan semua pihak dalam gerbong dunia pendidikan sekaligus sebagai tempat bertanya dan berlindung bagi peserta didik. Untuk itu dalam perekrutan guru baru harus benar-benar melalui seleksi dan menggunakan alat ukur yang tepat. Oleh karenanya dalam seleksi dan pengangkatan guru baru harus melibatkan beberapa stakeholder, yaitu kepala daerah, dinas pendidikan, sekolah, masyarakat dan pemerhati dunia pendidikan yang akuntabel.
Perekrutan guru baru yang selama ini telah dijalani, sering terjadi benturan antara guru, siswa dan masyarakat. Guru sering melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak mendidik, ini dikarenakan kemampuan guru sangat rendah dalam penyesuaian dengan dunia pendidikan dan lingkungan sekolah. Sehingga tidak sedikit guru yang canggung, bingung, gagap dan bahkan dilecehkan oleh muridnya didepan kelas. Atau guru yang galak sehingga ditakuti oleh muridnya, akibatnya guru seperti harimau yang siap menerkam siswa setiap saat.
Fenomena ini akan terus berlangsung apabila pemerintah tidak secepat mungkin untuk mengambil tindakan nyata. Maka perlu meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan proses seleksi penerimaan guru. Satu terobosan baru di dunia pendidikan nasional yakni sebuah program baru untuk meningkatkan mutunya. Terobosan tersebut adalah program induksi bagi guru pemula pada semua jenjang dan status. Sistem itu adalah sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan nasional kita dibanding dengan negara lain di kawasan Asia Pasifik. Ditengarai bahwa ketiadaan sistem induksi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas guru di Indonesia.
Sistem induksi merupakan suatu sistem yang memberi kesempatan kepada guru pemula untuk dapat memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai guru dengan bimbingan dari seorang mentor. Selama masa induksi ini guru bersama mentor melakukan diskusi dan perbaikan terhadap rencana-rencana pembelajaran yang dikembangkan oleh guru pemula. Program induksi adalah semacam orientasi bagi guru pemula untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi. Program yang akan diterapkan selama setahun tersebut bakal melibatkan kepala sekolah maupun guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di kelas.
Kegiatan pengembangan sistem induksi dan penilaian kinerja bagi guru pemula ini ditekankan pada dua hal, yaitu penyusunan kebijakan sistem induksi dan penilaian kinerja guru pemula serta penyusunan manual/modul induksi dan penilaian kinerja guru pemula. Dengan naskah akademik dan kertas kerja yang dimiliki selanjutnya perlu diperkaya dengan adanya berbagai masukan, ide, serta saran untuk mendudukkan konsep induksi ini ke dalam khasanah ke-Indonesia-an, demi suksesnya gagasan program induksi bagi para guru pemula yang ditawarkan oleh Depdiknas, sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan harapan semoga dapat semakin memperkokoh penguasaan kompetensi bagi para guru yang bersangkutan. Melalui program induksi ini diharapkan dapat terlahir guru-guru kontruktivis, yang mampu membangun dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didiknya. Bukan sebaliknya, menjadi perusak perkembangan peserta didik alias destruktivis.
Konsep induksi sebagai sebuah sistem perlu mendapatkan pemikiran yang luas dari stakeholder pendidikan agar pada implementasinya dapat berjalan dengan baik. Hadirnya kebijakan yang menaungi sistem ini diharapkan dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaan induksi. Selain kebijakan perlu pula dukungan modul agar memudahkan guru pemula, kepala sekolah, pengawas sekolah, guru mentor, dan pihak lainnya memahami konsep induksi serta penilaiannya secara komprehensif.
Dapat disimpulkan bahwa program ini sebenarnya ingin menempatkan kembali tanggung jawab guru senior, kepala sekolah, pengawas sekolah, bahkan kalangan birokrat pendidikan dalam membina guru pemula. Guru pemula harus segera mendapatkan perlakukan khusus dalam perjalanan pengabdiannya. Selama ini banyak terjadi dimana guru senior merasa mendapatkan waktu istirahat dan bebas tanggung jawab mengajar ketika datang guru pemula.
Pada akhir masa induksi ini guru pemula akan dinilai kinerjanya oleh kepala sekolah dan pengawas untuk menentukan kelayakan guru pemula tersebut. Hasil penilaian ini akan mempengaruhi karir guru pemula tersebut.
Memang, seandainya guru pemula tidak mendapatkan bimbingan, guru pemula akan tetap menemukan keprofesionalannya. Tapi mungkin akan menemukan waktu yang panjang sekali. Sangat berbeda jika ia diberikan bimbingan. Jadi, meminjam istilah ilmu kimia, program ini adalah sebuah katalisator untuk mempercepat proses pematangan profesi guru pemula sehingga siap untuk memberikan pengabdian terbaiknya. Oleh karena itu, ada baiknya kita ucapkan: “Selamat Datang Program Induksi Guru Pemula”.
Guru merupakan profesi terhormat dan garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Selama ini guru selalu menjadi tumpuan semua pihak dalam gerbong dunia pendidikan sekaligus sebagai tempat bertanya dan berlindung bagi peserta didik. Untuk itu dalam perekrutan guru baru harus benar-benar melalui seleksi dan menggunakan alat ukur yang tepat. Oleh karenanya dalam seleksi dan pengangkatan guru baru harus melibatkan beberapa stakeholder, yaitu kepala daerah, dinas pendidikan, sekolah, masyarakat dan pemerhati dunia pendidikan yang akuntabel.
Perekrutan guru baru yang selama ini telah dijalani, sering terjadi benturan antara guru, siswa dan masyarakat. Guru sering melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak mendidik, ini dikarenakan kemampuan guru sangat rendah dalam penyesuaian dengan dunia pendidikan dan lingkungan sekolah. Sehingga tidak sedikit guru yang canggung, bingung, gagap dan bahkan dilecehkan oleh muridnya didepan kelas. Atau guru yang galak sehingga ditakuti oleh muridnya, akibatnya guru seperti harimau yang siap menerkam siswa setiap saat.
Fenomena ini akan terus berlangsung apabila pemerintah tidak secepat mungkin untuk mengambil tindakan nyata. Maka perlu meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan proses seleksi penerimaan guru. Satu terobosan baru di dunia pendidikan nasional yakni sebuah program baru untuk meningkatkan mutunya. Terobosan tersebut adalah program induksi bagi guru pemula pada semua jenjang dan status. Sistem itu adalah sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan nasional kita dibanding dengan negara lain di kawasan Asia Pasifik. Ditengarai bahwa ketiadaan sistem induksi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas guru di Indonesia.
Sistem induksi merupakan suatu sistem yang memberi kesempatan kepada guru pemula untuk dapat memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai guru dengan bimbingan dari seorang mentor. Selama masa induksi ini guru bersama mentor melakukan diskusi dan perbaikan terhadap rencana-rencana pembelajaran yang dikembangkan oleh guru pemula. Program induksi adalah semacam orientasi bagi guru pemula untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi. Program yang akan diterapkan selama setahun tersebut bakal melibatkan kepala sekolah maupun guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di kelas.
Kegiatan pengembangan sistem induksi dan penilaian kinerja bagi guru pemula ini ditekankan pada dua hal, yaitu penyusunan kebijakan sistem induksi dan penilaian kinerja guru pemula serta penyusunan manual/modul induksi dan penilaian kinerja guru pemula. Dengan naskah akademik dan kertas kerja yang dimiliki selanjutnya perlu diperkaya dengan adanya berbagai masukan, ide, serta saran untuk mendudukkan konsep induksi ini ke dalam khasanah ke-Indonesia-an, demi suksesnya gagasan program induksi bagi para guru pemula yang ditawarkan oleh Depdiknas, sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan harapan semoga dapat semakin memperkokoh penguasaan kompetensi bagi para guru yang bersangkutan. Melalui program induksi ini diharapkan dapat terlahir guru-guru kontruktivis, yang mampu membangun dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didiknya. Bukan sebaliknya, menjadi perusak perkembangan peserta didik alias destruktivis.
Konsep induksi sebagai sebuah sistem perlu mendapatkan pemikiran yang luas dari stakeholder pendidikan agar pada implementasinya dapat berjalan dengan baik. Hadirnya kebijakan yang menaungi sistem ini diharapkan dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaan induksi. Selain kebijakan perlu pula dukungan modul agar memudahkan guru pemula, kepala sekolah, pengawas sekolah, guru mentor, dan pihak lainnya memahami konsep induksi serta penilaiannya secara komprehensif.
Dapat disimpulkan bahwa program ini sebenarnya ingin menempatkan kembali tanggung jawab guru senior, kepala sekolah, pengawas sekolah, bahkan kalangan birokrat pendidikan dalam membina guru pemula. Guru pemula harus segera mendapatkan perlakukan khusus dalam perjalanan pengabdiannya. Selama ini banyak terjadi dimana guru senior merasa mendapatkan waktu istirahat dan bebas tanggung jawab mengajar ketika datang guru pemula.
Pada akhir masa induksi ini guru pemula akan dinilai kinerjanya oleh kepala sekolah dan pengawas untuk menentukan kelayakan guru pemula tersebut. Hasil penilaian ini akan mempengaruhi karir guru pemula tersebut.
Memang, seandainya guru pemula tidak mendapatkan bimbingan, guru pemula akan tetap menemukan keprofesionalannya. Tapi mungkin akan menemukan waktu yang panjang sekali. Sangat berbeda jika ia diberikan bimbingan. Jadi, meminjam istilah ilmu kimia, program ini adalah sebuah katalisator untuk mempercepat proses pematangan profesi guru pemula sehingga siap untuk memberikan pengabdian terbaiknya. Oleh karena itu, ada baiknya kita ucapkan: “Selamat Datang Program Induksi Guru Pemula”.
Kamis, 04 Februari 2010
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI MANAJER DI SEKOLAH
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Banyak tugas guru yang harus dijalankan kepala sekolah, karena sekolah merupakan kehidupan yang serba dinamis dan persoalan selalu ada tidak kenal waktu dan tempat. Apakah persoalan menyangkut kurikulum, guru, anak didik, orang tua/wali, komite sekolah, masyarakat setempat, bahkan sorotan dari opini publik dan belum lagi berbagai krisis dekadensi moral dikalangan anak didik. Untuk Mengimbangi krisis yang ada, kepala sekolah tidak hanya dituntut sebagai edukator, negosiator dan administrator, melainkan juga harus berperanan sebagai manajer dan supervisor yang mampu menerapkan manajemen bermutu.
Indikasinya ada pada iklim kerja dan proses pembelajaran yang konstruktif, berkreasi serta berprestasi. Dan inilah sebenarnya menjadi visi, misi dan strategi bagi kepala sekolah di dalam menjalankan fungsinya bersama-sama dengan aparat dan stakeholder untuk mewujudkan sekolah bermutu dan akan bermuara kepada pendidikan bermutu. Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat diukur keberhasilannya. Pencapaian visi, misi maupun strategi mesti dijalankan secara bersama, semua sumber daya manusia yang ada harus dilibatkan, dan semuanya bertanggungjawa untuk menjalankan dan mengimplementasikan apa yang sudah digariskan.
Tentunya di dalam pelaksanaan peran dan tanggung jawab kepala sekolah sebagai manajer sangat besar besar. Indikator keberhasilan kepala sekolah dapat dilihat dari sejauhmana visi, misi dan strategi yang ada dapat dijalankan sehingga semua yang terlibat dapat melakukannya. Dampak dari semua itu, apa yang disebutkan di atas dapat tercapai.
Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari yang tak bisa menjadi bisa, sehingga menghasilkan SDM yang bermutu. Sedangkan sasaran manajemen perusahaan itu pada kualitas produksi benda-benda mati.
Jadi, manajemen sekolah berandil kuat pada pembentukan kualitas manusia yang merupakan generasi penerus bangsa. Atensi masyarakat yang telah teralienasikan akibat propaganda wacana teknologi dalam pembelajaran harus segera diobati dengan mengedepankan wacana kualitas kepala sekolah. Realitas sekolah itu dimanage oleh kepala sekolah bukan pada kata-kata para marketer yang mengejar target siswa demi perolehan bonus.
Para ahli melihat bahwa salah satu input strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di sekolah. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah tergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa.
Dan ini sebenarnya hakiki dari suatu pendidikan, dan roh pendidikan itu harus selalu melekat dan lestari bagi setiap insan pendidik. Keberhasilan suatu sekolah sangat ditentukan oleh visioner kepala sekolah, kepala sekolah mesti memiliki visioner yang jelas, terencana, terprogram dan terkendali. Ini akan terlihat dari sejauhmana kepala sekolah mampu membangun kebersamaan, memiki daya saing dan menghasilkan lulusan bermutu, sehingga sekolah yang dipimpinnya akan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang benar-benar memberikan kontribusi terhadap mutu pendidikan sebagaimana yang diharapkan. Untuk diingat, bahwa keberhasilan suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang ada di sekolah tersebut. Peran kepala sekolah sebagai manager sangat menentukan dari semua komponen yang ada. Karena kepala sekolah adalah orang utama dan pertama yang bertanggungjawab terhadap maju, mundur dan berkembangnya suatu sekolah, maka dari itulah diperlukan kepala sekolah yang benar-benar memahami dan menghayati akan tanggungjawabnya sebagai orang yang didahulukan selangkah dan diangkat setingkat dari kolega-koleganya sesama guru. Setiap guru akan menjadi pemimpin, tentunya akan ada giliran bagi dirinya untuk menjadi kepala sekolah. Akan tetapi tentunya mereka-mereka yang memiliki prestasi, kompentensi dan reputasi serta visioner.
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah,seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Banyak tugas guru yang harus dijalankan kepala sekolah, karena sekolah merupakan kehidupan yang serba dinamis dan persoalan selalu ada tidak kenal waktu dan tempat. Apakah persoalan menyangkut kurikulum, guru, anak didik, orang tua/wali, komite sekolah, masyarakat setempat, bahkan sorotan dari opini publik dan belum lagi berbagai krisis dekadensi moral dikalangan anak didik. Untuk Mengimbangi krisis yang ada, kepala sekolah tidak hanya dituntut sebagai edukator, negosiator dan administrator, melainkan juga harus berperanan sebagai manajer dan supervisor yang mampu menerapkan manajemen bermutu.
Indikasinya ada pada iklim kerja dan proses pembelajaran yang konstruktif, berkreasi serta berprestasi. Dan inilah sebenarnya menjadi visi, misi dan strategi bagi kepala sekolah di dalam menjalankan fungsinya bersama-sama dengan aparat dan stakeholder untuk mewujudkan sekolah bermutu dan akan bermuara kepada pendidikan bermutu. Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat diukur keberhasilannya. Pencapaian visi, misi maupun strategi mesti dijalankan secara bersama, semua sumber daya manusia yang ada harus dilibatkan, dan semuanya bertanggungjawa untuk menjalankan dan mengimplementasikan apa yang sudah digariskan.
Tentunya di dalam pelaksanaan peran dan tanggung jawab kepala sekolah sebagai manajer sangat besar besar. Indikator keberhasilan kepala sekolah dapat dilihat dari sejauhmana visi, misi dan strategi yang ada dapat dijalankan sehingga semua yang terlibat dapat melakukannya. Dampak dari semua itu, apa yang disebutkan di atas dapat tercapai.
Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari yang tak bisa menjadi bisa, sehingga menghasilkan SDM yang bermutu. Sedangkan sasaran manajemen perusahaan itu pada kualitas produksi benda-benda mati.
Jadi, manajemen sekolah berandil kuat pada pembentukan kualitas manusia yang merupakan generasi penerus bangsa. Atensi masyarakat yang telah teralienasikan akibat propaganda wacana teknologi dalam pembelajaran harus segera diobati dengan mengedepankan wacana kualitas kepala sekolah. Realitas sekolah itu dimanage oleh kepala sekolah bukan pada kata-kata para marketer yang mengejar target siswa demi perolehan bonus.
Para ahli melihat bahwa salah satu input strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di sekolah. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah tergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa.
Dan ini sebenarnya hakiki dari suatu pendidikan, dan roh pendidikan itu harus selalu melekat dan lestari bagi setiap insan pendidik. Keberhasilan suatu sekolah sangat ditentukan oleh visioner kepala sekolah, kepala sekolah mesti memiliki visioner yang jelas, terencana, terprogram dan terkendali. Ini akan terlihat dari sejauhmana kepala sekolah mampu membangun kebersamaan, memiki daya saing dan menghasilkan lulusan bermutu, sehingga sekolah yang dipimpinnya akan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang benar-benar memberikan kontribusi terhadap mutu pendidikan sebagaimana yang diharapkan. Untuk diingat, bahwa keberhasilan suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang ada di sekolah tersebut. Peran kepala sekolah sebagai manager sangat menentukan dari semua komponen yang ada. Karena kepala sekolah adalah orang utama dan pertama yang bertanggungjawab terhadap maju, mundur dan berkembangnya suatu sekolah, maka dari itulah diperlukan kepala sekolah yang benar-benar memahami dan menghayati akan tanggungjawabnya sebagai orang yang didahulukan selangkah dan diangkat setingkat dari kolega-koleganya sesama guru. Setiap guru akan menjadi pemimpin, tentunya akan ada giliran bagi dirinya untuk menjadi kepala sekolah. Akan tetapi tentunya mereka-mereka yang memiliki prestasi, kompentensi dan reputasi serta visioner.
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah,seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
PERAN GURU DALAM MENDUKUNG KUALITAS PENDIDIKAN
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMP N 2 Cibeureum)
Sejak digulirkannya reformasi dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia, pemerintah bersama seluruh komponen bangsa berupaya untuk membangun sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan aspirasi reformasi itu sendiri termasuk membangun bangsa yang berakhlak mulia, cerdas, dan kompetitif, serta memiliki jatidiri bangsa.
Dalam upaya tersebut, profesionalisme guru merupakan salah satu aspek yang menjadi titik tumpu strategi pembangunan sistem pembangunan pendidikan nasional di Indonesia. Gerakan reformasi pendidikan ini diantaranya dimulai dengan pencanangan pekerjaan guru sebagai profesi oleh Soesilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden RI pada peringatan Hari Guru Tahun 2005. Selanjutnya, berpegang kepada keputusan politik ini, untuk mendapatkan payung hukum terhadap penyelesaian permasalahan, kualitas, kesejahteraan, dan distribusi, dan masalah lain yang terkait dengan guru, pada tahun yang sama tepatnya pada bulan Desember 2005 pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Bab I Ketentuan Umum,pasal I). Guru wajib memiliki kulifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8). Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1 : Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Diantara esensi yang terkandung di dalam Undang-Undang tersebut adalah : (1) Semua guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai profesi harus didasarkan pada prinsip-prinsip profesionalisme. (2) Pemberdayaan guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan, dan kode etik profesi. (3) Semua guru yang bertugas sebagai pendidik di semua jenjang pendidikan formal harus memiliki Sertifikat Pendidik yang diperoleh melalui proses sertifikasi pendidik. (4) Kualifikasi akadenik minimum untuk menjadi guru yang bersitifikasi pendidik adalah Strata 1 atau Diploma 4.
Implementasi keempat esensi UU tersebut diyakini oleh banyak pihak merupakan kunci peningkatan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam kegiatan belajar dan pembelajaran.
Sebagai seorang profesional, guru harus memiliki kompetensi keguruan yang memadai. Seorang guru dinyatakan kompeten bila : mampu menerapkan sejumlah konsep, asa kerja,dan teknik dalam situasi kerjanya; mampu mendemonstrasikan keterampilannya yang dapat menghandle lingkungan kerjanya dan dapat menata seluruh pengalamannya untuk meningkatkan efisiensi kerjanya. Tuntutan kompetensi seorang guru dapat dirunut dalam penguasaan segi konseptual, penguasaan berbagai keterampilan, dan dalam keseluruhan sikap profesionalnya. Secara singkat dapatlah dikemukakan bahwa seorang guru dinyatakan kompeten jika secara nyata ia mampu menjalankan tugas keguruannya yaitu mampu membelajarkan siswa yang dibimbingnya secara efisien efektif dan terpadu. Kompetensi keguruan tidak sekedar menunjuk kuantitas kerja, tetapi lebih-lebih menunjuk/ menuntut kualitas kerja keguruan.
Kompetensi keguruan meliputi : Kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi “profesional”. Kompetensi personal berkaitan dengan kematangan kepribadian guru yang bersangkutan. Kompetensi sosial adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Adapun kompetensi “profesional” erat kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di kelas/ sekolah. Ketiga kemampuan dasar tersebut menyatu dan tampak dalam pelaksanaan tugas guru dalam mengampu kegiatan pendidikan/ pengajaran. Dalam banyak analisis tentang kompetensi keguruan, kompetensi personal dan kompetensi sosial umumnya disatukan. Hal ini wajar karena sosialitas manusia (termasuk guru) merupakan pengejawantahan pribadinya.
Depdiknas menetapkan standar kompetensi guru yang bertujuan untuk memperoleh acuan baku dalam pengukuran kinerja guru sehingga mendapatkan jaminan kualitas guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran, ruang lingkup standar kompetensi guru meliputi Pertama, kompetensi pengelolaan pembelajaran yang mencakup (1) Penyusunan rencana pembelajaran (2) Pelaksanaan interaksi belajar mengajar (3) Penilaian prestasi belajar peserta didik (4) Pelaksanaan tindak lanjut penilaian. Kedua,komponen kompetensi pengembangan potensi yang diorientasikan pada pengembangan profesi. Ketiga komponen kompetensi penguasaan akademik yang mencakup : (1) Pemahaman wawasan kependidikan (2) Penguasaan bahan kajian akademik.
Kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Perilaku disini merujuk bukan hanya pada perilaku nyata, tetapi juga meliputi hal-hal yang tidak tampak. Cooper dalam Sudjana mengemukakan empat kompetensi guru, yakni (a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (d) mempunyai keterampilan teknik mengajar
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Grasser. Menurut Grasser ada empat hal yang harus dikuasai guru, yakni (a) menguasai bahan pelajaran, (b) kemampuan mendiagnosis tingkah laku siswa, (c) kemampuan melaksanakan proses pengajaran, dan (d) kemampuan mengukur hasil belajar siswa. Sementara Nana Sudjana telah membagi kompetensi guru dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut (a) Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang bimbingan kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, dan pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya. (b) Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya, sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap sesame teman seprofesinya, dan memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya. (c) Kompetensi perilaku / performance, yang artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan/ berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, keterampilan menumbuhkan semangat belajar para siswa, keterampilan menyusun persiapan/ perencanaan mengajar, keterampilan melaksanakan administrasi kelas dan lain-lain.
Adapun menurut Syah (1995) memperinci kompetensi profesional guru kedalam tiga spek, yaitu : (1) kompetensi kognitif, (2) kompetensi afektif dan (3) kompetensi psikomotorrik. Aspek pertama meliputi penguasaan terhadap pengetahuan kependidikan, pengetahuan materi bidang studi yang diajarkan, dan kemampuan menstransfer p[engetahuan kepada para siswa agar dapat belajar secara efektif dan efisien. Kompetensi kedua yaitu sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan profesi keguruan, yang meliputi self concept self efficacy attitude of self acceptance dan pandangan seorang guru terhadap kualitas dirinya. Sedanglan aspek yang disebut terakhir kompetensi psikomotorik meliputi kecakapan fisik umum dan khusus seperti ekspresi verbal dan nonverbal. Johnson sebagaimana dikutip Sanusi dkk (1991) mengetengahkan tiga aspek performasi guru, yaitu : 1. Kemampuan profesional yang mencakup : (a) penguasaan pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang diajrkan itu; (b) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (c) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. 2. Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. 3. Kemampuan profesional guru, mencakup : (a) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsure-unsurnya; (b) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut seorang guru; (c) kepribadian, nilai, sikap hidup, penamp[ilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.
Kompetensi guru diperlukan untuk menjalankan fungsi profesi. Dalam masyarakat yang kompleks seperti masyarakat yang sudah maju dan modern, profesi menuntut keampuan membuat keputusan yang tepat dan kemampuan yang membuat kebijaksanaan yang tepat.
Kompetensi yang terdiri Kompetensi pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi profesional dan Kompetensi sosial merupakan suatu upaya dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Prestasi belajar siswa adalah hasil dari berbagai upaya dan daya yang tercermin dari partisipasi belajar yang dilakukan siswa dalam mempelajari materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Guru memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses belajar mengajar, guru dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas belajar siswa dalam bentuk kegiatan belajar yang dapat menghasilkan pribadi yang mandiri, pelajar yang efektif, pekerja yang produktif dan anggota masyarakat yang baik. Guru tidak terbatas hanya sebagai pengajar dalam arti penyampai pengetahuan, akan tetapi lebih meningkat sebagai perancang pengajaran, manajer pengajaran, pengevaluasi hasil belajar dan sebagai direktur belajar, sebagaimana dikemukakan Muhamad Surya ( 2004 : 53 )
Gordon dan Yocke ( 1999,h:2 ) seperti dikutip Abdorrakhman Gintings ( 2008:10 ) menjelaskan bahwa : “ it is universally accepted that teacher is the most important component of education. School improvement efforts and/ or educational reform will most likely not happen until effective teachers are regarded as the most importsnt entity”. Begitu tegasnya kedua pakar pendidikan tersebut menekankan betapa sentral peran guru dalam setiap upaya pembaharuan pendidikan dan peningkatan persekolahan. Dalam upaya tersebut, profesionalisme guru merupakan salah satu aspek yang menjadi titik tumpu strategi pembangunan pendidikan nasional di Indonesia.
(Kepala SMP N 2 Cibeureum)
Sejak digulirkannya reformasi dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia, pemerintah bersama seluruh komponen bangsa berupaya untuk membangun sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan aspirasi reformasi itu sendiri termasuk membangun bangsa yang berakhlak mulia, cerdas, dan kompetitif, serta memiliki jatidiri bangsa.
Dalam upaya tersebut, profesionalisme guru merupakan salah satu aspek yang menjadi titik tumpu strategi pembangunan sistem pembangunan pendidikan nasional di Indonesia. Gerakan reformasi pendidikan ini diantaranya dimulai dengan pencanangan pekerjaan guru sebagai profesi oleh Soesilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden RI pada peringatan Hari Guru Tahun 2005. Selanjutnya, berpegang kepada keputusan politik ini, untuk mendapatkan payung hukum terhadap penyelesaian permasalahan, kualitas, kesejahteraan, dan distribusi, dan masalah lain yang terkait dengan guru, pada tahun yang sama tepatnya pada bulan Desember 2005 pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Bab I Ketentuan Umum,pasal I). Guru wajib memiliki kulifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8). Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1 : Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Diantara esensi yang terkandung di dalam Undang-Undang tersebut adalah : (1) Semua guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai profesi harus didasarkan pada prinsip-prinsip profesionalisme. (2) Pemberdayaan guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan, dan kode etik profesi. (3) Semua guru yang bertugas sebagai pendidik di semua jenjang pendidikan formal harus memiliki Sertifikat Pendidik yang diperoleh melalui proses sertifikasi pendidik. (4) Kualifikasi akadenik minimum untuk menjadi guru yang bersitifikasi pendidik adalah Strata 1 atau Diploma 4.
Implementasi keempat esensi UU tersebut diyakini oleh banyak pihak merupakan kunci peningkatan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam kegiatan belajar dan pembelajaran.
Sebagai seorang profesional, guru harus memiliki kompetensi keguruan yang memadai. Seorang guru dinyatakan kompeten bila : mampu menerapkan sejumlah konsep, asa kerja,dan teknik dalam situasi kerjanya; mampu mendemonstrasikan keterampilannya yang dapat menghandle lingkungan kerjanya dan dapat menata seluruh pengalamannya untuk meningkatkan efisiensi kerjanya. Tuntutan kompetensi seorang guru dapat dirunut dalam penguasaan segi konseptual, penguasaan berbagai keterampilan, dan dalam keseluruhan sikap profesionalnya. Secara singkat dapatlah dikemukakan bahwa seorang guru dinyatakan kompeten jika secara nyata ia mampu menjalankan tugas keguruannya yaitu mampu membelajarkan siswa yang dibimbingnya secara efisien efektif dan terpadu. Kompetensi keguruan tidak sekedar menunjuk kuantitas kerja, tetapi lebih-lebih menunjuk/ menuntut kualitas kerja keguruan.
Kompetensi keguruan meliputi : Kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi “profesional”. Kompetensi personal berkaitan dengan kematangan kepribadian guru yang bersangkutan. Kompetensi sosial adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Adapun kompetensi “profesional” erat kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di kelas/ sekolah. Ketiga kemampuan dasar tersebut menyatu dan tampak dalam pelaksanaan tugas guru dalam mengampu kegiatan pendidikan/ pengajaran. Dalam banyak analisis tentang kompetensi keguruan, kompetensi personal dan kompetensi sosial umumnya disatukan. Hal ini wajar karena sosialitas manusia (termasuk guru) merupakan pengejawantahan pribadinya.
Depdiknas menetapkan standar kompetensi guru yang bertujuan untuk memperoleh acuan baku dalam pengukuran kinerja guru sehingga mendapatkan jaminan kualitas guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran, ruang lingkup standar kompetensi guru meliputi Pertama, kompetensi pengelolaan pembelajaran yang mencakup (1) Penyusunan rencana pembelajaran (2) Pelaksanaan interaksi belajar mengajar (3) Penilaian prestasi belajar peserta didik (4) Pelaksanaan tindak lanjut penilaian. Kedua,komponen kompetensi pengembangan potensi yang diorientasikan pada pengembangan profesi. Ketiga komponen kompetensi penguasaan akademik yang mencakup : (1) Pemahaman wawasan kependidikan (2) Penguasaan bahan kajian akademik.
Kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Perilaku disini merujuk bukan hanya pada perilaku nyata, tetapi juga meliputi hal-hal yang tidak tampak. Cooper dalam Sudjana mengemukakan empat kompetensi guru, yakni (a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (d) mempunyai keterampilan teknik mengajar
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Grasser. Menurut Grasser ada empat hal yang harus dikuasai guru, yakni (a) menguasai bahan pelajaran, (b) kemampuan mendiagnosis tingkah laku siswa, (c) kemampuan melaksanakan proses pengajaran, dan (d) kemampuan mengukur hasil belajar siswa. Sementara Nana Sudjana telah membagi kompetensi guru dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut (a) Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang bimbingan kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, dan pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya. (b) Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya, sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap sesame teman seprofesinya, dan memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya. (c) Kompetensi perilaku / performance, yang artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan/ berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, keterampilan menumbuhkan semangat belajar para siswa, keterampilan menyusun persiapan/ perencanaan mengajar, keterampilan melaksanakan administrasi kelas dan lain-lain.
Adapun menurut Syah (1995) memperinci kompetensi profesional guru kedalam tiga spek, yaitu : (1) kompetensi kognitif, (2) kompetensi afektif dan (3) kompetensi psikomotorrik. Aspek pertama meliputi penguasaan terhadap pengetahuan kependidikan, pengetahuan materi bidang studi yang diajarkan, dan kemampuan menstransfer p[engetahuan kepada para siswa agar dapat belajar secara efektif dan efisien. Kompetensi kedua yaitu sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan profesi keguruan, yang meliputi self concept self efficacy attitude of self acceptance dan pandangan seorang guru terhadap kualitas dirinya. Sedanglan aspek yang disebut terakhir kompetensi psikomotorik meliputi kecakapan fisik umum dan khusus seperti ekspresi verbal dan nonverbal. Johnson sebagaimana dikutip Sanusi dkk (1991) mengetengahkan tiga aspek performasi guru, yaitu : 1. Kemampuan profesional yang mencakup : (a) penguasaan pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang diajrkan itu; (b) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (c) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. 2. Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. 3. Kemampuan profesional guru, mencakup : (a) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsure-unsurnya; (b) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut seorang guru; (c) kepribadian, nilai, sikap hidup, penamp[ilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.
Kompetensi guru diperlukan untuk menjalankan fungsi profesi. Dalam masyarakat yang kompleks seperti masyarakat yang sudah maju dan modern, profesi menuntut keampuan membuat keputusan yang tepat dan kemampuan yang membuat kebijaksanaan yang tepat.
Kompetensi yang terdiri Kompetensi pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi profesional dan Kompetensi sosial merupakan suatu upaya dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Prestasi belajar siswa adalah hasil dari berbagai upaya dan daya yang tercermin dari partisipasi belajar yang dilakukan siswa dalam mempelajari materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Guru memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses belajar mengajar, guru dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas belajar siswa dalam bentuk kegiatan belajar yang dapat menghasilkan pribadi yang mandiri, pelajar yang efektif, pekerja yang produktif dan anggota masyarakat yang baik. Guru tidak terbatas hanya sebagai pengajar dalam arti penyampai pengetahuan, akan tetapi lebih meningkat sebagai perancang pengajaran, manajer pengajaran, pengevaluasi hasil belajar dan sebagai direktur belajar, sebagaimana dikemukakan Muhamad Surya ( 2004 : 53 )
Gordon dan Yocke ( 1999,h:2 ) seperti dikutip Abdorrakhman Gintings ( 2008:10 ) menjelaskan bahwa : “ it is universally accepted that teacher is the most important component of education. School improvement efforts and/ or educational reform will most likely not happen until effective teachers are regarded as the most importsnt entity”. Begitu tegasnya kedua pakar pendidikan tersebut menekankan betapa sentral peran guru dalam setiap upaya pembaharuan pendidikan dan peningkatan persekolahan. Dalam upaya tersebut, profesionalisme guru merupakan salah satu aspek yang menjadi titik tumpu strategi pembangunan pendidikan nasional di Indonesia.
MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan (Sardiman,A.M,2003:73-74)
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik : Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri. Motivasi ekstrinsik : Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperkatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada di sekitarnya kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya. Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Disini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Motivasi diakui sebagai hal yang sangat penting bagi pelajaran di sekolah Hewit (1968) mengemukakan bahwa “attentional set” merupakan perkembangan motivasi yakni yang bersifat sosial, artinya anak itu suka bekerja sama dengan anak-anak lain dan dengan guru, ia mengharapkan penghargaan dari teman-temannya, dan ingin mendapatkan harga dirinya dikalangan teman sekelasnya. Selanjutnya anak itu memperoleh motivasi untuk menguasai pelajaran (mastery) termasuk penguasaan keterampilan intelektual. Menurut Robert J. Songgok dalam(http:www.geocities.com/pengembangan_sekoah/standardguru.html) menjelaskan Motivasi merupakan jantung-nya proses belajar. Oleh karena itu motivasi begitu penting dalam proses pembelajaran, maka tugas guru yang pertama dan terpenting adalah membangkitkan atau membangun motivasi siswa terhadap apa yang akan dipelajari oleh siswa. Motivasi bukan saja menggerakan tingkah laku, tetapi juga mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Siswa yang bermotivasi dalam pembelajaran akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tunggi dalam pelajaran, tanpa banyak bergantung kepada guru. Menurut Mohamad Surya (2004:62) Motivasi dapat diartikan sebagi suatu uapaya untuk meninbulkan atau meningkatkan dorongan untuk mewujudkan perilakutertentu yang terarah kepada pencapaian suatu tujuan tertentu. Dalam situasi interaksi belajar-mengajar dalam mencapai tujuan dan hasil belajar. Motivasi mempunyai karakterisitik (1) sebagai hasil dari kebutuhan (2) terarah kepada suatu tujuan (3) menopang perilaku. Menurut Slavin (1994), seperti dikutip Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007:22) Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono ( 2006:80 ) Siswa belajar karena didorong oleh kekuatan mentalnya. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita. Kekuatan mental tersebut dapat tergolong rendah atau tinggi. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi belajar. Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu (i) kebutuhan (ii) dorongan dan (iii) tujuan
Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yangsangat penting. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi bukan disebabkan oleh kemampuannya yang kurang, tetapi dikarenakan tidak adanya motivasi untuk belajar sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya, Wina Sanjaya (2008:28)
Walaupun teori-teori motivasi berbeda-beda, namun dalam praktek pendidikan penerapannya bersamaan. Siswa harus diberi hadiah (reward) berupa pujian, nilai yang baik, rasa keberhasilan atas hasil belajarnya, sehingga ia lebih tertarik oleh pelajaran. Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, menurut M Sobri Sutikno (http:www.bruderfic.or.id) sebagai berikut : (1) Menjelaskan tujuan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siswa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar. (2) Hadiah, berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Kal ini akan memacu semangat mereka untuk bias belajar lebih giat lagi. Disamping itu, siswa yang belum nerprestasi akan termotivasi untuk bias mengejar siswa yang berprestasi. (3) Saingan/kompetisi,guru berusaha mengadakan persaingan diantara siswamya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya. (4) Pujian,sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun. (5) Hukuman, hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahgan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya. (6) Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar. Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik (7) Membentuk kebiasaan belajar yang baik (8) Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok (9) Menggunakan metode yang bervariasi (10) Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan (Sardiman,A.M,2003:73-74)
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik : Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri. Motivasi ekstrinsik : Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperkatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada di sekitarnya kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya. Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Disini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Motivasi diakui sebagai hal yang sangat penting bagi pelajaran di sekolah Hewit (1968) mengemukakan bahwa “attentional set” merupakan perkembangan motivasi yakni yang bersifat sosial, artinya anak itu suka bekerja sama dengan anak-anak lain dan dengan guru, ia mengharapkan penghargaan dari teman-temannya, dan ingin mendapatkan harga dirinya dikalangan teman sekelasnya. Selanjutnya anak itu memperoleh motivasi untuk menguasai pelajaran (mastery) termasuk penguasaan keterampilan intelektual. Menurut Robert J. Songgok dalam(http:www.geocities.com/pengembangan_sekoah/standardguru.html) menjelaskan Motivasi merupakan jantung-nya proses belajar. Oleh karena itu motivasi begitu penting dalam proses pembelajaran, maka tugas guru yang pertama dan terpenting adalah membangkitkan atau membangun motivasi siswa terhadap apa yang akan dipelajari oleh siswa. Motivasi bukan saja menggerakan tingkah laku, tetapi juga mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Siswa yang bermotivasi dalam pembelajaran akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tunggi dalam pelajaran, tanpa banyak bergantung kepada guru. Menurut Mohamad Surya (2004:62) Motivasi dapat diartikan sebagi suatu uapaya untuk meninbulkan atau meningkatkan dorongan untuk mewujudkan perilakutertentu yang terarah kepada pencapaian suatu tujuan tertentu. Dalam situasi interaksi belajar-mengajar dalam mencapai tujuan dan hasil belajar. Motivasi mempunyai karakterisitik (1) sebagai hasil dari kebutuhan (2) terarah kepada suatu tujuan (3) menopang perilaku. Menurut Slavin (1994), seperti dikutip Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007:22) Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono ( 2006:80 ) Siswa belajar karena didorong oleh kekuatan mentalnya. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita. Kekuatan mental tersebut dapat tergolong rendah atau tinggi. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi belajar. Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu (i) kebutuhan (ii) dorongan dan (iii) tujuan
Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yangsangat penting. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi bukan disebabkan oleh kemampuannya yang kurang, tetapi dikarenakan tidak adanya motivasi untuk belajar sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya, Wina Sanjaya (2008:28)
Walaupun teori-teori motivasi berbeda-beda, namun dalam praktek pendidikan penerapannya bersamaan. Siswa harus diberi hadiah (reward) berupa pujian, nilai yang baik, rasa keberhasilan atas hasil belajarnya, sehingga ia lebih tertarik oleh pelajaran. Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, menurut M Sobri Sutikno (http:www.bruderfic.or.id) sebagai berikut : (1) Menjelaskan tujuan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siswa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar. (2) Hadiah, berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Kal ini akan memacu semangat mereka untuk bias belajar lebih giat lagi. Disamping itu, siswa yang belum nerprestasi akan termotivasi untuk bias mengejar siswa yang berprestasi. (3) Saingan/kompetisi,guru berusaha mengadakan persaingan diantara siswamya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya. (4) Pujian,sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun. (5) Hukuman, hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahgan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya. (6) Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar. Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik (7) Membentuk kebiasaan belajar yang baik (8) Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok (9) Menggunakan metode yang bervariasi (10) Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Dalam literatur-literatur kepemimpinan, mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses “membujuk” (inducing) orang-orang lain menuju sasaran bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen yakni bahwa: (1) Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Kepemimpinanhanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka. (2) Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gardner yang telah mengobservasi selama dalam kurun waktu dua tahun (1986-1988), menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin.(3) Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperi menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya.Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengertian pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan pengikut (bawahannya) adalah pemimpin yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu meyakinkan bahwa mereka mempunyai andil dalam mengimplementasikannya. Selanjutnya, menurut fungsinya, kepemimpinan dilaksanakan oleh dua jenis pemimpin yang saling berbeda, yaitu manager dan leader. Manager adalah pemimpin yang mengusahakan agar proses-proses rutin dalam lembaga berjalan lancar. Leader adalah pemimpin yang mengusahakan agar lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya memperbarui dirinya secara terus menerus, agar tidak ketinggalan jaman. Manager lebih banyak berperan sebagai stabilisator dalam suatu lembaga atau masyarakat, sedangkan leader lebih banyak berperan sebagai dinamisator dan inovator. Birokrat pada dasarnya manager, sedangkan teknokrat pada dasarnya leader. Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan yang sangat sulit untuk dirangkum menjadi satu dan bersifat menyeluruh. Dari banyaknya definisi yang ada, Samidjo menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan asumsi dari kepemimpinan, yaitu: (a) suatu fenomena kelompok yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih; dan (b) di dalamnya melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja (intentional influence) digunakan oleh pemimpin terhadap bawahannya. Model kepemimpinan tidak hanya berlaku pada skala yang besar misalnya dalam negara, melainkan dapat ditemukan pada lingkup yang lebih kecil, misalnya dalam sekolah, organisasi sosial bahkan dalam skala individu. Model kepemimpinan seperti tirani, manipulatif, transaksional maupun transformasional sebenarnya dapat kita lihat sehari-hari di berbagai lingkungan sosial, baik formal maupun informal. Khusus dalam konteks kepemimpinan transformasional, model kepemimpinan ini dapat ditemukan dalam lingkungan sosial (baca: termasuk sekolah) dimana seorang pemimpin dalam skala kecil berusaha membimbing bawahan-bawahannya melalui keteladanan (contoh yang baik). Dengan demikian, sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu akan ditemukan tiran besar dan tiran kecil, pemimpin manipulator besar dan manipulator kecil, dan akhirnya terdapat pula pemimpin transformasional besar kelas dunia, negara dan transformasional kecil kelas kepala sekolah, bahkan pada tataran keluarga, bahkan perorangan. Meskipun terdapat empat model kepemimpinan yakni tirani, manipulatif, transaksional, dan transformasional; namun model kepemimpinan terakhirlah yang paling cocok diadopsi dalam pola pengelolaan suatu lembaga pendidikan.
Kepemiminan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.
Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
1. Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.
2. Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
3. Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.
4. Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di sekolahnya.
Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
1. Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Dalam literatur-literatur kepemimpinan, mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses “membujuk” (inducing) orang-orang lain menuju sasaran bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen yakni bahwa: (1) Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Kepemimpinanhanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka. (2) Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gardner yang telah mengobservasi selama dalam kurun waktu dua tahun (1986-1988), menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin.(3) Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperi menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya.Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengertian pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan pengikut (bawahannya) adalah pemimpin yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu meyakinkan bahwa mereka mempunyai andil dalam mengimplementasikannya. Selanjutnya, menurut fungsinya, kepemimpinan dilaksanakan oleh dua jenis pemimpin yang saling berbeda, yaitu manager dan leader. Manager adalah pemimpin yang mengusahakan agar proses-proses rutin dalam lembaga berjalan lancar. Leader adalah pemimpin yang mengusahakan agar lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya memperbarui dirinya secara terus menerus, agar tidak ketinggalan jaman. Manager lebih banyak berperan sebagai stabilisator dalam suatu lembaga atau masyarakat, sedangkan leader lebih banyak berperan sebagai dinamisator dan inovator. Birokrat pada dasarnya manager, sedangkan teknokrat pada dasarnya leader. Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan yang sangat sulit untuk dirangkum menjadi satu dan bersifat menyeluruh. Dari banyaknya definisi yang ada, Samidjo menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan asumsi dari kepemimpinan, yaitu: (a) suatu fenomena kelompok yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih; dan (b) di dalamnya melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja (intentional influence) digunakan oleh pemimpin terhadap bawahannya. Model kepemimpinan tidak hanya berlaku pada skala yang besar misalnya dalam negara, melainkan dapat ditemukan pada lingkup yang lebih kecil, misalnya dalam sekolah, organisasi sosial bahkan dalam skala individu. Model kepemimpinan seperti tirani, manipulatif, transaksional maupun transformasional sebenarnya dapat kita lihat sehari-hari di berbagai lingkungan sosial, baik formal maupun informal. Khusus dalam konteks kepemimpinan transformasional, model kepemimpinan ini dapat ditemukan dalam lingkungan sosial (baca: termasuk sekolah) dimana seorang pemimpin dalam skala kecil berusaha membimbing bawahan-bawahannya melalui keteladanan (contoh yang baik). Dengan demikian, sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu akan ditemukan tiran besar dan tiran kecil, pemimpin manipulator besar dan manipulator kecil, dan akhirnya terdapat pula pemimpin transformasional besar kelas dunia, negara dan transformasional kecil kelas kepala sekolah, bahkan pada tataran keluarga, bahkan perorangan. Meskipun terdapat empat model kepemimpinan yakni tirani, manipulatif, transaksional, dan transformasional; namun model kepemimpinan terakhirlah yang paling cocok diadopsi dalam pola pengelolaan suatu lembaga pendidikan.
Kepemiminan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.
Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
1. Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.
2. Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
3. Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.
4. Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di sekolahnya.
Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
1. Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
WAJAH SEKOLAH ADA PADA KEPALA SEKOLAH
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Biasanya di awal tahun pelajaran baru para orang tua menjadi pusing memikirkan kelanjutan pendidikan putera-puteri mereka., walaupun belum mengetahui apa yang sebenarnya yang ada dan akan terjadi. Ada juga orang tua yang sering mengklarifikasi eksistensi sekolah dan kemajuannya sehingga melihat prospek sekolah sebagai wacana utama sebelum menjatuhkan pilihan. Namun sedemikian urgennya wacana mengenai kemajuan sekolah tidaklah lebih urgen bila orang memberikan atensinya pada kiprah kepala sekolah. Eksplorasi argumen dapat diberikan pada pernyataan ini. Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang terkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah. Peserta didik dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah. Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan. Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah. Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat diukur keberhasilannya. Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari yang tak bisa menjadi bisa. Sedangkan sasaran manajemen perusahaan itu pada kualitas produksi benda-benda mati. Jadi, manajemen sekolah berandil kuat pada pembentukan kualitas manusia yang merupakan generasi penerus bangsa. Atensi masyarakat yang telah teralienasikan akibat propaganda wacana teknologi dalam pembelajaran harus segera diobati dengan mengedepankan wacana kualitas kepala sekolah. Realitas sekolah itu dimanage oleh kepala sekolah bukan pada kata-kata para marketer yang mengejar target siswa demi perolehan bonus. Para ahli manajemen seperti Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert E. Hoslisson (1997,18) melihat bahwa salah satu input strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di sekolah. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah tergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa. Tujuh kegiatan pokok yang harus diemban kepala sekolah yakni merencanakan, mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan/orientasi sasaran, mengkoordinasi, memantau serta menilai/evaluasi. Melalui kegiatan perencanaan terjawablah beberapa pertanyaan: Apa yang akan, apa yang seharusnya dan apa yang sebaiknya? Hal ini tentu berkaitan dengan perencanaan reguler, teknis-opersional dan perencanaan strategis (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang). Kepala sekolah mulai menggarap bidang sasaran yang mungkin sebelumnya sudah dikaji secara bersama-sama. Dalam kegiatan perencanaan, garapan bidang sasaran itu dibagi, dipilah, dikelompokkan serta diprioritaskan. Pusat perhatian dan pemikiran tertuju kepada pertanyaan: Bagaimana membagi, memilah dan mengelompokkan sasaran itu sehingga dapat diselesaikan? Tentu saja atas hasil pertimbangan partisipatif yang menghengkangkan persepsi keliru mengenai "meeting sama dengan pemberitahuan". Pada kegiatan selanjutnya yaitu pengadaan staf, yang dilakukan adalah berpikir tentang siapa yang diperlukan dan dipercayakan dalam bidang garapan itu masing-masingnya setelah dipilah-pilah dan diprioritaskan. Adakah dan siapakah orangnya dan bagaimana mengikutsertakannya? Pertanyaan mengenai kejelasan siapa yang harus mengarahkan dan dari siapa pengarahan/petunjuk itu didapatkan dilakukan pada tahap pengarahan/orientasi sasaran. Apa yang harus diberitahukan? Bagaimana mengerjakannya? Kapan mulai dan kapan selesai? Kemudian dalam tahap pengkoordinasian yang harus dilakukan adalah menjadwalkan waktu pengerjaannya agar masing-masing bagian dapat mulai dan selesai pada waktunya. Di sini ada keharusan bagi yang diserahi tugas menggarap bagian-bagian tertentu kembali mempertanyakan kapan harus mulai dan kapan harus mempertanggungjawabkannya. Mereka harus memperhitungkan secara matang dan tepat mengenai waktu yang harus digunakan selama proses garapan berlangsung. Hal ini bukan berarti kalau terkejar deadline maka pekerjaan harus urak-urakkan. Kepala sekolah dapat mengetahui bagaimana proses pengerjaan itu terlaksana sesuai rencana, cara, hasil dan waktu penyelesaian. Kegiatan ini dapat dipantau agar memperoleh informasi perkembangan yang aktual. Antisipasi pun bisa dilakukan terhadap hal-hal yang tak sesuai dengan rencana. Untuk penilaian atau evaluasi, kepala sekolah dapat memperoleh kesesuaian rencana dengan realitas melalui eksplorasi pertanyaan-pertanyaan. Apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan yang direncanakan? Adakah perbaikan yang dapat dilakukan? Pada tahap ini kepala sekolah dapat memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi dan pembinaan bagi mereka yang gagal atau kurang berprestasi. Sangat lucu kalau supervisi kepala sekolah hanyalah kewajiban dari Diknas dan hasilnya digunakan sebagai alasan pemecatan bagi rekan-rekannya. Seorang manajer sekolah bertanggung jawab dan yakin bahwa kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar lalu mengerjakannya dengan benar pula. Oleh karena itu visi dan misi sekolah harus dipahami terlebih dahulu sebelum menjadi titik tolak prediksi dan sebelum disosialisasikan. Hanya dengan itu kepala sekolah dapat membuat prediksi dan merancang langkah antisipasi yang tepat sasaran. Selain itu diperlukan suatu unjuk profesional yang kelihatan sepele tetapi begitu urgen seperti kemahiran menggunakan filsafat pendidikan, psikologi, ilmu kepemimpinan serta antroplogi dan sosiologi. Penggunaan School Based Management ( Manajemen Berbasis Sekolah ) oleh Pemerintah Indonesia dalam kerangka meminimalisasi sentralisme pendidikan mempunyai implikasi yang signifikan bagi otonomi sekolah. Hal itu berarti sekolah diberikan keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada secara efektif. Oleh karena implikasi itu maka sekali lagi peran kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mengelola manusia-manusia yang ada dalam organisasi sekolah, termasuk memiliki strategi yang tepat untuk mengelola konflik. Kepala sekolah akan berhadapan dengan pribadi-pribadi yang berbeda karakter. Yang penting baginya adalah mempunyai pemahaman yang tangguh akan hakikat manusia. McGregor (1960) berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Urgensitasnya bagi kepala sekolah adalah menerapkan gaya kepemimpinan yang partisipatif demokratik dan memperhatikan perkembangan profesional sebagai salah satu cara untuk memotivasi guru-guru dan para siswa. Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943), kepala sekolah juga disentil dengan persepsi bahwa guru dan siswa berkemungkinan memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Yang pasti mereka akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi yakni interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang. Oleh karena itu, mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras. Kiat kepala sekolah adalah memikirkan fleksibilitas peran dan kesempatan, bukannya otoriter dan "semau gue". Demi kelancaran semua kegiatan itu kepala sekolah harus mengubah gaya pertemuan yang sifatnya pemberitahuan kepada pertemuan yang sesungguhnya yakni mendengarkan apa kata mereka dan bagaimana seharusnya mereka menindaklanjutinya. Dalam hal kekurangberhasilan wajah sekolah mungkin tepat dilekatkan pada kepala sekolah. Bahkan bukan sekedar melekatkan melainkan suatu konsekuensi kiprah regulasi kepala sekolah. Ibarat nahkoda yang menjalankan sebuah kapal mengarungi samudera, kepala sekolah mengatur dan memanajemeni segala sesuatu yang ada di sekolah. Dengan demikian, yang harus bertanggung jawab atas kandasnya sebuah sekolah dan gagalnya peserta didik adalah kepala sekolah. Apabila sekolah menuai keberhasilan maka kinerja kepala sekolah telah terukur. Semakin banyak orang yang menikmati kepuasan batin, yakni dihargai, diberdayakan dan prestatif adalah tanda-tanda kemajuan bagi kepala sekolah. Nahkoda sekolah telah mendekatkan keberhasilan para penumpang pada wilayah tujuan yang ingin diraihnya. Peserta didik merasa enjoy dan betah bila berada di sekolah. Proses pembelajarannya telah menjadikan peserta didik lebih manusiawi dan semakin menemukan diri mereka sendiri. Para guru mempunyai sense of belonging yang tinggi akan sekolah. Kualitas sekolah dirajut dan dipertahankan. Bukan tidak mungkin hal-hal itu secara tidak langsung memikat para pengembara idealis untuk memasukkan anak-anaknya pada sekolah yang bermutu itu. Namun keberhasilan itu bukan semata keberhasilan kepala sekolah melainkan keberhasilan semua orang yang terlibat dalam kegiatan manajemen sekolah. Sebagai satu kesatuan, para penggarap manajemen telah mampu menunjukkan kerja yang kualitatif dan kooperatif. Keberhasilan masing-masingnya adalah juga keberhasilan kepala sekolah. Wajah sekolah ada pada kepala sekolah.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Biasanya di awal tahun pelajaran baru para orang tua menjadi pusing memikirkan kelanjutan pendidikan putera-puteri mereka., walaupun belum mengetahui apa yang sebenarnya yang ada dan akan terjadi. Ada juga orang tua yang sering mengklarifikasi eksistensi sekolah dan kemajuannya sehingga melihat prospek sekolah sebagai wacana utama sebelum menjatuhkan pilihan. Namun sedemikian urgennya wacana mengenai kemajuan sekolah tidaklah lebih urgen bila orang memberikan atensinya pada kiprah kepala sekolah. Eksplorasi argumen dapat diberikan pada pernyataan ini. Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang terkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah. Peserta didik dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah. Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan. Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah. Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat diukur keberhasilannya. Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari yang tak bisa menjadi bisa. Sedangkan sasaran manajemen perusahaan itu pada kualitas produksi benda-benda mati. Jadi, manajemen sekolah berandil kuat pada pembentukan kualitas manusia yang merupakan generasi penerus bangsa. Atensi masyarakat yang telah teralienasikan akibat propaganda wacana teknologi dalam pembelajaran harus segera diobati dengan mengedepankan wacana kualitas kepala sekolah. Realitas sekolah itu dimanage oleh kepala sekolah bukan pada kata-kata para marketer yang mengejar target siswa demi perolehan bonus. Para ahli manajemen seperti Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert E. Hoslisson (1997,18) melihat bahwa salah satu input strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di sekolah. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah tergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa. Tujuh kegiatan pokok yang harus diemban kepala sekolah yakni merencanakan, mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan/orientasi sasaran, mengkoordinasi, memantau serta menilai/evaluasi. Melalui kegiatan perencanaan terjawablah beberapa pertanyaan: Apa yang akan, apa yang seharusnya dan apa yang sebaiknya? Hal ini tentu berkaitan dengan perencanaan reguler, teknis-opersional dan perencanaan strategis (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang). Kepala sekolah mulai menggarap bidang sasaran yang mungkin sebelumnya sudah dikaji secara bersama-sama. Dalam kegiatan perencanaan, garapan bidang sasaran itu dibagi, dipilah, dikelompokkan serta diprioritaskan. Pusat perhatian dan pemikiran tertuju kepada pertanyaan: Bagaimana membagi, memilah dan mengelompokkan sasaran itu sehingga dapat diselesaikan? Tentu saja atas hasil pertimbangan partisipatif yang menghengkangkan persepsi keliru mengenai "meeting sama dengan pemberitahuan". Pada kegiatan selanjutnya yaitu pengadaan staf, yang dilakukan adalah berpikir tentang siapa yang diperlukan dan dipercayakan dalam bidang garapan itu masing-masingnya setelah dipilah-pilah dan diprioritaskan. Adakah dan siapakah orangnya dan bagaimana mengikutsertakannya? Pertanyaan mengenai kejelasan siapa yang harus mengarahkan dan dari siapa pengarahan/petunjuk itu didapatkan dilakukan pada tahap pengarahan/orientasi sasaran. Apa yang harus diberitahukan? Bagaimana mengerjakannya? Kapan mulai dan kapan selesai? Kemudian dalam tahap pengkoordinasian yang harus dilakukan adalah menjadwalkan waktu pengerjaannya agar masing-masing bagian dapat mulai dan selesai pada waktunya. Di sini ada keharusan bagi yang diserahi tugas menggarap bagian-bagian tertentu kembali mempertanyakan kapan harus mulai dan kapan harus mempertanggungjawabkannya. Mereka harus memperhitungkan secara matang dan tepat mengenai waktu yang harus digunakan selama proses garapan berlangsung. Hal ini bukan berarti kalau terkejar deadline maka pekerjaan harus urak-urakkan. Kepala sekolah dapat mengetahui bagaimana proses pengerjaan itu terlaksana sesuai rencana, cara, hasil dan waktu penyelesaian. Kegiatan ini dapat dipantau agar memperoleh informasi perkembangan yang aktual. Antisipasi pun bisa dilakukan terhadap hal-hal yang tak sesuai dengan rencana. Untuk penilaian atau evaluasi, kepala sekolah dapat memperoleh kesesuaian rencana dengan realitas melalui eksplorasi pertanyaan-pertanyaan. Apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan yang direncanakan? Adakah perbaikan yang dapat dilakukan? Pada tahap ini kepala sekolah dapat memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi dan pembinaan bagi mereka yang gagal atau kurang berprestasi. Sangat lucu kalau supervisi kepala sekolah hanyalah kewajiban dari Diknas dan hasilnya digunakan sebagai alasan pemecatan bagi rekan-rekannya. Seorang manajer sekolah bertanggung jawab dan yakin bahwa kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar lalu mengerjakannya dengan benar pula. Oleh karena itu visi dan misi sekolah harus dipahami terlebih dahulu sebelum menjadi titik tolak prediksi dan sebelum disosialisasikan. Hanya dengan itu kepala sekolah dapat membuat prediksi dan merancang langkah antisipasi yang tepat sasaran. Selain itu diperlukan suatu unjuk profesional yang kelihatan sepele tetapi begitu urgen seperti kemahiran menggunakan filsafat pendidikan, psikologi, ilmu kepemimpinan serta antroplogi dan sosiologi. Penggunaan School Based Management ( Manajemen Berbasis Sekolah ) oleh Pemerintah Indonesia dalam kerangka meminimalisasi sentralisme pendidikan mempunyai implikasi yang signifikan bagi otonomi sekolah. Hal itu berarti sekolah diberikan keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada secara efektif. Oleh karena implikasi itu maka sekali lagi peran kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mengelola manusia-manusia yang ada dalam organisasi sekolah, termasuk memiliki strategi yang tepat untuk mengelola konflik. Kepala sekolah akan berhadapan dengan pribadi-pribadi yang berbeda karakter. Yang penting baginya adalah mempunyai pemahaman yang tangguh akan hakikat manusia. McGregor (1960) berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Urgensitasnya bagi kepala sekolah adalah menerapkan gaya kepemimpinan yang partisipatif demokratik dan memperhatikan perkembangan profesional sebagai salah satu cara untuk memotivasi guru-guru dan para siswa. Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943), kepala sekolah juga disentil dengan persepsi bahwa guru dan siswa berkemungkinan memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Yang pasti mereka akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi yakni interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang. Oleh karena itu, mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras. Kiat kepala sekolah adalah memikirkan fleksibilitas peran dan kesempatan, bukannya otoriter dan "semau gue". Demi kelancaran semua kegiatan itu kepala sekolah harus mengubah gaya pertemuan yang sifatnya pemberitahuan kepada pertemuan yang sesungguhnya yakni mendengarkan apa kata mereka dan bagaimana seharusnya mereka menindaklanjutinya. Dalam hal kekurangberhasilan wajah sekolah mungkin tepat dilekatkan pada kepala sekolah. Bahkan bukan sekedar melekatkan melainkan suatu konsekuensi kiprah regulasi kepala sekolah. Ibarat nahkoda yang menjalankan sebuah kapal mengarungi samudera, kepala sekolah mengatur dan memanajemeni segala sesuatu yang ada di sekolah. Dengan demikian, yang harus bertanggung jawab atas kandasnya sebuah sekolah dan gagalnya peserta didik adalah kepala sekolah. Apabila sekolah menuai keberhasilan maka kinerja kepala sekolah telah terukur. Semakin banyak orang yang menikmati kepuasan batin, yakni dihargai, diberdayakan dan prestatif adalah tanda-tanda kemajuan bagi kepala sekolah. Nahkoda sekolah telah mendekatkan keberhasilan para penumpang pada wilayah tujuan yang ingin diraihnya. Peserta didik merasa enjoy dan betah bila berada di sekolah. Proses pembelajarannya telah menjadikan peserta didik lebih manusiawi dan semakin menemukan diri mereka sendiri. Para guru mempunyai sense of belonging yang tinggi akan sekolah. Kualitas sekolah dirajut dan dipertahankan. Bukan tidak mungkin hal-hal itu secara tidak langsung memikat para pengembara idealis untuk memasukkan anak-anaknya pada sekolah yang bermutu itu. Namun keberhasilan itu bukan semata keberhasilan kepala sekolah melainkan keberhasilan semua orang yang terlibat dalam kegiatan manajemen sekolah. Sebagai satu kesatuan, para penggarap manajemen telah mampu menunjukkan kerja yang kualitatif dan kooperatif. Keberhasilan masing-masingnya adalah juga keberhasilan kepala sekolah. Wajah sekolah ada pada kepala sekolah.
KEPALA SEKOLAH ADALAH TOKOH SENTRAL PENDIDIKAN
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Kepala sekolah memiliki peranan yang sangat kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah (Mulyasa, 2005). Manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan karena manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar dan proses pembelajaran. Sekolah efektif dalam perspektif manajemen, manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Darling-Hammond,L (1992) menyatakan dimensi sekolah efektif meliputi : 1) layanan belajar bagi siswa, 2) pengelolaan dan layanan siswa, 3) sarana dan pra sarana sekolah, 4) program dan pembiayaan, 5) partisipasi masyarakat, dan 6) budaya sekolah. Sekolah yang efektif berada dalam lapangan manajemen sekolah yang ciri/karakteristiknya menurut Edmonds (dalam Syafaruddin, 2002) meliputi (a) Kepala sekolah dan guru-guru memiliki komitmen dan perhatian yang tinggi terhadap perbaikan mutu pengajaran, (b) Guru-guru memiliki harapan yang tinggi untuk mendukung pencapaian prestasi siswa, (c) Iklim sekolah yang tidak kaku, sejuk tanpa tekanan dan kondusif dalam seluruh proses pengajaran, (d) Sekolah mempunyai pemahaman yang luas tentang fokus pengajaran dan mengusahakan keefektifan sekolah dengan mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan secara maksimal, (e) Sekolah efektif dapat menjamin kemajuan siswa yang dimonitor secara periodik. Sejalan dengan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kepala sekolah yang memiliki kemampuan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen meliputi sebagai berikut: Dalam perencanaan meliputi (1) Kepala sekolah dapat menetapkan program-program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah, (3) Kepala sekolah dapat menyusun program kerja sekolah, dan (4) Kepala sekolah dapat merumuskan langkah-langkah pelaksanaan program. Dalam pengorganisasian meliputi (1) Kepala sekolah dapat menempatkan guru sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam KBM, (2) Kepala sekolah dapat mengatur penggunaan sarana dan prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan siswa, guru dan personel lain sehingga terjalin kerjasama yang baik, (3) Kepala sekolah dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dan personel sekolah lainnya, (4) Kepala sekolah dapat mengatur kerjasama dengan pihak atau instansi lain untuk menyukseskan program-program sekolah.
Dalam penggerakan meliputi (1) Kepala sekolah dapat memotivasi guru sehingga guru merasa mampu dan yakin untuk melaksanakan program- program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat memimpin dan mengarahkan guru-guru dengan baik, (3) Kepala sekolah dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan profesionalisme sesuai dengan bidangnya, (4) Kepala sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan tujuan untuk pencapaian prestasi. Dalam pengendalian meliputi (1) Kepala sekolah dapat mengevaluasi pelaksanaan program-program sekolah seperti yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan, (2) Kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja guru dan personel sekolah lainnya, (3) Kepala sekolah dapat memberikan penguatan terhadap keberhasilan yang telah dicapai oleh guru, (4) Kepala sekolah dapat memperbaiki kesalahan/kelemahan yang telah dibuat oleh guru dan personel lainnya.
Kemajuan suatu sekolah tidak terlepas dari kompetensi manajerial yang dimainkan dan dimiliki oleh kepala sekolah. Semegah apapun dan secanggih apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah kalau tidak dimanage dan ditangani oleh kepala sekolah beserta dengan aparat birokrasi sekolah yang bersangkutan, maka itu akan sia-sia.
Oleh sebab itu, kemajuan dan perkembangan suatu sekolah sangat ditentukan atensi dan kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah, sehingga kiprah kepala sekolah di dalam menjalankan visi,misi dan strategi sekolah dapat terwujud. Urgensinya dari persoalannya bahwa: Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan, oleh sebab itu kepala sekolah adalah inovator. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme dan kepercayaan orang tua menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada semua komponen persekolahan seperti guru, karyawan dan kepala sekolah. Karena orang tua masih banyak memiliki pandangan bahwa suatu sekolah yang sudah menjadi primadona dan fanatismenya disebabkan oleh popularitas suatu sekolah yang
didukung oleh sarana dan prasarana memadai, komponen birokrasi dan administrasi sekolah yang terbuka, harmonisasi dan interaksi antar semua komponen persekolah saling mendukung dan terbentuk suasana kondunsif, di manapun lokasi sekolah yang bersangkutan akan tetap dikejar. Apalagi masih melekat dari para orang tua yang sudah tertanam didirinya, bahwa bila anak pertamanya dididik di sekolah tertentu, maka untuk anak-anak berikutnya tetap menginginkan sekolah yang bersangkutan. Hal ini tentunya atas pertimbangan yang sudah disebutkan di atas. Siswa dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah, oleh sebab itu seorang kepala sekolah mestilah seorang fasilitator. Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah. Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni sebagai tokoh sentral dan manajer dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan mengatasi aneka krisis yang ada dalam sekolah. Ketiga, mestilah memahami akan fungsi apa yang disebut dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM) Salah satu pola manajemen yang berisi seperangkat prosedur yang digunakan oleh setiap orang/institusi untuk memperbaiki kinerja pembelajaran secara terus menerus. Karena manfaat dari MMT ini antara lain adalah untuk meningkatkan kinerja proses pembelajaran melalui peningkatan produktivitas, efektivitas dan efisiensi. Konsep ini harus dipahami oleh semua unsur birokrasi sekolah, mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, guru BP, petugas laboratorium, pustaka, karyawan, penjaga sekolah, siswa, orang tua dan komite sekolah. Masing-masing bersinergi dan saling menunjukan kinerja, dan masing-masing saling bertanggungjawab dengan tugas dan fungsi yang melekat pada dirinya. Akan terasa pincang jalannya suatu organisasi sekolah, bilama masing-masing komponen tidak saling mendukung, dan lebih celakanya masing-masing komponen melempar tanggungjawab, dan seolah-olah tugas dan fungsi yang melekat pada dirinya bisa dikerjakan oleh orang lain. Oleh sebab itulah, kompetensi seorang kepala sekolah di dalam menjalankan roda organisasi sekolah mesti ada. Kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah di samping yang disebutkan di atas, diantaranya adalah konseptor, negosiator, administrator, motivator. Disamping itu seorang kepala sekolah juga memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, dan ini terkait erat dengan program sertifikasi bagi kepala sekolah. Suatu hal yang harus melekat erat pada seorang kepala sekolah adalah memiliki visioner, punya pandangan dan wawasan, intelektual, dan bertanggungjawab.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Kepala sekolah memiliki peranan yang sangat kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah (Mulyasa, 2005). Manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan karena manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar dan proses pembelajaran. Sekolah efektif dalam perspektif manajemen, manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Darling-Hammond,L (1992) menyatakan dimensi sekolah efektif meliputi : 1) layanan belajar bagi siswa, 2) pengelolaan dan layanan siswa, 3) sarana dan pra sarana sekolah, 4) program dan pembiayaan, 5) partisipasi masyarakat, dan 6) budaya sekolah. Sekolah yang efektif berada dalam lapangan manajemen sekolah yang ciri/karakteristiknya menurut Edmonds (dalam Syafaruddin, 2002) meliputi (a) Kepala sekolah dan guru-guru memiliki komitmen dan perhatian yang tinggi terhadap perbaikan mutu pengajaran, (b) Guru-guru memiliki harapan yang tinggi untuk mendukung pencapaian prestasi siswa, (c) Iklim sekolah yang tidak kaku, sejuk tanpa tekanan dan kondusif dalam seluruh proses pengajaran, (d) Sekolah mempunyai pemahaman yang luas tentang fokus pengajaran dan mengusahakan keefektifan sekolah dengan mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan secara maksimal, (e) Sekolah efektif dapat menjamin kemajuan siswa yang dimonitor secara periodik. Sejalan dengan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kepala sekolah yang memiliki kemampuan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen meliputi sebagai berikut: Dalam perencanaan meliputi (1) Kepala sekolah dapat menetapkan program-program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah, (3) Kepala sekolah dapat menyusun program kerja sekolah, dan (4) Kepala sekolah dapat merumuskan langkah-langkah pelaksanaan program. Dalam pengorganisasian meliputi (1) Kepala sekolah dapat menempatkan guru sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam KBM, (2) Kepala sekolah dapat mengatur penggunaan sarana dan prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan siswa, guru dan personel lain sehingga terjalin kerjasama yang baik, (3) Kepala sekolah dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dan personel sekolah lainnya, (4) Kepala sekolah dapat mengatur kerjasama dengan pihak atau instansi lain untuk menyukseskan program-program sekolah.
Dalam penggerakan meliputi (1) Kepala sekolah dapat memotivasi guru sehingga guru merasa mampu dan yakin untuk melaksanakan program- program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat memimpin dan mengarahkan guru-guru dengan baik, (3) Kepala sekolah dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan profesionalisme sesuai dengan bidangnya, (4) Kepala sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan tujuan untuk pencapaian prestasi. Dalam pengendalian meliputi (1) Kepala sekolah dapat mengevaluasi pelaksanaan program-program sekolah seperti yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan, (2) Kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja guru dan personel sekolah lainnya, (3) Kepala sekolah dapat memberikan penguatan terhadap keberhasilan yang telah dicapai oleh guru, (4) Kepala sekolah dapat memperbaiki kesalahan/kelemahan yang telah dibuat oleh guru dan personel lainnya.
Kemajuan suatu sekolah tidak terlepas dari kompetensi manajerial yang dimainkan dan dimiliki oleh kepala sekolah. Semegah apapun dan secanggih apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah kalau tidak dimanage dan ditangani oleh kepala sekolah beserta dengan aparat birokrasi sekolah yang bersangkutan, maka itu akan sia-sia.
Oleh sebab itu, kemajuan dan perkembangan suatu sekolah sangat ditentukan atensi dan kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah, sehingga kiprah kepala sekolah di dalam menjalankan visi,misi dan strategi sekolah dapat terwujud. Urgensinya dari persoalannya bahwa: Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan, oleh sebab itu kepala sekolah adalah inovator. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme dan kepercayaan orang tua menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada semua komponen persekolahan seperti guru, karyawan dan kepala sekolah. Karena orang tua masih banyak memiliki pandangan bahwa suatu sekolah yang sudah menjadi primadona dan fanatismenya disebabkan oleh popularitas suatu sekolah yang
didukung oleh sarana dan prasarana memadai, komponen birokrasi dan administrasi sekolah yang terbuka, harmonisasi dan interaksi antar semua komponen persekolah saling mendukung dan terbentuk suasana kondunsif, di manapun lokasi sekolah yang bersangkutan akan tetap dikejar. Apalagi masih melekat dari para orang tua yang sudah tertanam didirinya, bahwa bila anak pertamanya dididik di sekolah tertentu, maka untuk anak-anak berikutnya tetap menginginkan sekolah yang bersangkutan. Hal ini tentunya atas pertimbangan yang sudah disebutkan di atas. Siswa dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah, oleh sebab itu seorang kepala sekolah mestilah seorang fasilitator. Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah. Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni sebagai tokoh sentral dan manajer dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan mengatasi aneka krisis yang ada dalam sekolah. Ketiga, mestilah memahami akan fungsi apa yang disebut dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM) Salah satu pola manajemen yang berisi seperangkat prosedur yang digunakan oleh setiap orang/institusi untuk memperbaiki kinerja pembelajaran secara terus menerus. Karena manfaat dari MMT ini antara lain adalah untuk meningkatkan kinerja proses pembelajaran melalui peningkatan produktivitas, efektivitas dan efisiensi. Konsep ini harus dipahami oleh semua unsur birokrasi sekolah, mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, guru BP, petugas laboratorium, pustaka, karyawan, penjaga sekolah, siswa, orang tua dan komite sekolah. Masing-masing bersinergi dan saling menunjukan kinerja, dan masing-masing saling bertanggungjawab dengan tugas dan fungsi yang melekat pada dirinya. Akan terasa pincang jalannya suatu organisasi sekolah, bilama masing-masing komponen tidak saling mendukung, dan lebih celakanya masing-masing komponen melempar tanggungjawab, dan seolah-olah tugas dan fungsi yang melekat pada dirinya bisa dikerjakan oleh orang lain. Oleh sebab itulah, kompetensi seorang kepala sekolah di dalam menjalankan roda organisasi sekolah mesti ada. Kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah di samping yang disebutkan di atas, diantaranya adalah konseptor, negosiator, administrator, motivator. Disamping itu seorang kepala sekolah juga memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, dan ini terkait erat dengan program sertifikasi bagi kepala sekolah. Suatu hal yang harus melekat erat pada seorang kepala sekolah adalah memiliki visioner, punya pandangan dan wawasan, intelektual, dan bertanggungjawab.
PERAN MBS DALAM PENINGKATAN MUTU TERPADU
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Manajemen berbasis sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relative otonom. Dengan tidak merduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan. Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para professional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada system pendidikan bangsa kita.
Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.
Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi secara maksimal dan optimal. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual, konstektual dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif.
Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun legislatif ketika mereka menganggap perlu.
Kepala sekolah merupakan bagian dari komponen sekolah yang berperan utama sebagai penggerak komponen sekolah lainnya untuk mencapai tujuan sekolah yang telah dirumuskan. Selain sebagai penggerak, kepala sekolah berperan sebagai penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan pula ke arah mana tujuan sekolah akan direalisasikan.
Di era desentralisasi sekarang dimana otonomi daerah berlaku maka kecenderungan sekolah memiliki pola MBS. Dengan adanya MBS, maka kinerja kepemimpinan kepala sekolah yang berkaitan dengan MBS adalah segala usaha yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan mengimplementasikan MBS untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Kriteria kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengupayakan kinerja guru-guru seoptimal mungkin dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
2. Tepat waktu dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan.
3. Bekerja sama dan menjalin hubungan baik dengan masyarakat luar sekolah.
4. Prinsip kepemimpinan yang dipilih oleh kepala sekolah sesuai dengan guru dan pegawai sekolah lainnya.
5. Adanya tim manajemen.
6. Tujuan sekolah dapat tercapai sesuai ketentuan yang ditetapkan.
Selain kriteria diatas, kepala sekolah diharapkan dapat melakukan kegiatan-kegiatan berikut :
1. Belajar dari cara kerja komponen sekolah lain misaldari guru dan pegawai sekolah lain.
2. Melaksanakan observasi kegiatan manajemen secara terencana.
3. Berpikir ke arah masa depan.
4. Memanfaatkan hasil penelitian orang lain demi kemajuan sekolah yang dipimpinnya.
5. Mampu mengaitkan berbagai hal dengan kegiatan yang sedang berlangsung.
6. Merumuskan ide-ide baru dan dapat diujicobakan demi kemajuan sekolah.
Dan hal yang terpenting adalah seorang kepala sekolah harus bertindak sebagai pemimpin yang memperhatikan kepentingan orang yang dipimpinnya dengan sehingga tujuan sekolah untuk membentuk pribadi-pribadi yang berkualitas dapat dilaksanakan.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Manajemen berbasis sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relative otonom. Dengan tidak merduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan. Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para professional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada system pendidikan bangsa kita.
Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.
Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi secara maksimal dan optimal. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual, konstektual dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif.
Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun legislatif ketika mereka menganggap perlu.
Kepala sekolah merupakan bagian dari komponen sekolah yang berperan utama sebagai penggerak komponen sekolah lainnya untuk mencapai tujuan sekolah yang telah dirumuskan. Selain sebagai penggerak, kepala sekolah berperan sebagai penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan pula ke arah mana tujuan sekolah akan direalisasikan.
Di era desentralisasi sekarang dimana otonomi daerah berlaku maka kecenderungan sekolah memiliki pola MBS. Dengan adanya MBS, maka kinerja kepemimpinan kepala sekolah yang berkaitan dengan MBS adalah segala usaha yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan mengimplementasikan MBS untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Kriteria kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengupayakan kinerja guru-guru seoptimal mungkin dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
2. Tepat waktu dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan.
3. Bekerja sama dan menjalin hubungan baik dengan masyarakat luar sekolah.
4. Prinsip kepemimpinan yang dipilih oleh kepala sekolah sesuai dengan guru dan pegawai sekolah lainnya.
5. Adanya tim manajemen.
6. Tujuan sekolah dapat tercapai sesuai ketentuan yang ditetapkan.
Selain kriteria diatas, kepala sekolah diharapkan dapat melakukan kegiatan-kegiatan berikut :
1. Belajar dari cara kerja komponen sekolah lain misaldari guru dan pegawai sekolah lain.
2. Melaksanakan observasi kegiatan manajemen secara terencana.
3. Berpikir ke arah masa depan.
4. Memanfaatkan hasil penelitian orang lain demi kemajuan sekolah yang dipimpinnya.
5. Mampu mengaitkan berbagai hal dengan kegiatan yang sedang berlangsung.
6. Merumuskan ide-ide baru dan dapat diujicobakan demi kemajuan sekolah.
Dan hal yang terpenting adalah seorang kepala sekolah harus bertindak sebagai pemimpin yang memperhatikan kepentingan orang yang dipimpinnya dengan sehingga tujuan sekolah untuk membentuk pribadi-pribadi yang berkualitas dapat dilaksanakan.
Senin, 01 Februari 2010
PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Banyak ahli yang mengemukakan tentang mutu seperti oleh Edward Sallis (2006:33), mutu adalah sebuah filosofis dan metodologis yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Sudarwan Danim (2007:53) mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja baik berupa barang dan jasa, sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:677) menyatakan mutu adalah (ukuran), baik buruk suatu benda; kadar; taraf; atau derajat (kepandaian, kecerdasan dsb ); kualitas. Selanjutnya lalu Sumayang (2003:322) menyatakan quality (mutu) adalah tingkat dimana rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan penggunaannya , disamping itu quality adalah tingkat dimana sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan spesifikasinya.
Berdasar pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu (quality) adalah sebuah filosofis dan metodologis tentang (ukuran) dan tingkat baik buruk suatu benda, yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan penggunaannya agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Dalam pandangan Zamroni ( 2007:2) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.
Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait, dalam peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut. teori Manajemen mutu terpadu Total quality Management (TQM) pertama kali dikemukakan oleh Nancy Warren, seorang behavioral scientist di United States Navy ( Walton dalam Binds, et, al, 1994), istilah ini mengandung makna; every proces, every job dan every person (Lewis & Smith,1994).Pengertian TQM dapat dibedakan menjadi dua aspek ( Goetsch & Davis, 1994), aspek pertama menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya saing melalui penyempurnaan secara utuh. Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan 10 karekteristik TQM yang terdiri atas (1) fokus pada pelanggan (internal & eksternal), (2) berorientasi pada kualitas, (3) menggunakan pendekatan ilmiah, (4) memiliki komitmen jangka panjang, (5) kerja sama tim, (6) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (7) pendidikan dan pelatihan, (8) menerapkan kebebasan yang terkendali, (9) mimiliki kesatuan tujuan, (10) melibatkan dan memberdayakan karyawan, (Ety Rochaety dkk,2005:97). Dalam pendidikan filosofi TQM berarti bahwa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan maka budaya kerja yang mantap harus terbina dan berkembang dengan baik dengan diri seluruh karyawan yang terlibat dalam pendidikan motivasi, sikap, kemauan dan dedikasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan adalah bagian terpenting dari budaya kerja itu (Permadi,1998:9).
KOnsep TQM dalam pendidikan memandang bahwa lembaga pendidikan merupakan industri jasa dan bukan sebagai proses produksi, TQM dalam hal ini tidak membicarakan permasalahan masukan (peserta didik) dan keluaran (lulusan), tetapi mengenai pelanggan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa TQM memandang produk usaha pendidikan sebagai jasa dalam bentuk pelayanan yang diberikan oleh pengelola pendidikan beserta seluruh karyawan kepada para pelanggan sesuai dengan standar mutu tertentu. Dengan demikian pendidikan yang bermutu tidak dapat hanya dilihat dari kualitas lulusannya, tetapi juga mencakup bagaimana lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan standar mutu yang berlaku, pelanggan dalam hal ini adalah pelanggan internal (tenaga kependidikan) serta pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat dan pemakai lulusan) Edward sallis (2006:73) menyatakan bahwa Total quality Management (TQM), pendidikan adalah sebuah filosofis tentang perbaikan secara terus menerus yang dapat memberikan seperangkat alat praktis hepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan para pelanggan saat ini dan untuk masa yang akan datang. Di sisi lain Zamroni memandang bahwa peningkatan mutu gengan TQM, dimana sekolah menekankan pada peran kultur sekolah dalam kerangka model The Total Quality Management (TQM), teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah mencakup tiga kemampuan: akdemik, sosial dan moral (Zamroni,2007:6).
Menurut teori ini, mutu sekolah ditentukan oleh tiga variabel, yakni; kultur sekolah merupakan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, slogan-slogan dan berbagai perilaku yang telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya baik secara sadar maupun tidak sadar. Kultur ini diyakini mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah, yaitu; guru, kepala sekolah, staf administrasi, siswa juga orang tua siswa, kultur yang kondusif bagi peningkatan mutu bisa mendorong perilaku warga sekolah ke arah peningkatan mutu sekolah, sebaliknya kultur yang tidak kondusif bisa menghambat upaya menuju peningkatan warga sekolah itu. Untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim (2007:58), yaitu dengan melibatkan 5 faktor yang dominan (1) Kepemimpinan kepala Sekolah, kepala Sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikan layanan yang optimal dan punya disiplin kerja yang kuat, (2) Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah "anak sebagai pusat" sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali, sehingga sekolah dapat menginvertarisir kekuatan yang ada pada siswa, (3) Guru; perlibatan guru secara maksimal, dengan meningkatkan kompetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya, pelatuhan, adapun hasil dari kegiatan tersebut diterapkan di sekolah, (4) Kurikulum; adanya kurikulum yang ajeg/ tetap tetapi dinamis, dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara maksimal, (5) Jaringan Kerja Sama; jaringan kerja sama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat), tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan/ instansi sehingga out put dari sekolah dapat terserap di dalam dunia kerja.
Berdasarkan pendapat di atas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan, sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu di lingkungan kerja khususnya di lingkugan kerja pendidikan, pimpinan dan karyawan harus menjadi tim yang utuh (team work) yang saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals) bisa tercipta dengan baik. Kepemimpinan Kepala Sekolah dan kreatifitas guru yang profesional, inovatif, kreatif merupakan salah satu tolok ukur dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena kedua elemen ini merupakan figur yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran, kedua elemen ini merupakan figur sentral yang dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat (orang tua siswa), kepuasan masyarakat bisa terlihat dari output dan out come yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang baik itu terwujud kepada masyarakat maka mereka secara sadar dan secara otomatis akan membantu segala kebutuhan yang diinginkan pihak sekolah, sehingga dengan demikian maka tidak sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Banyak ahli yang mengemukakan tentang mutu seperti oleh Edward Sallis (2006:33), mutu adalah sebuah filosofis dan metodologis yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Sudarwan Danim (2007:53) mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja baik berupa barang dan jasa, sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:677) menyatakan mutu adalah (ukuran), baik buruk suatu benda; kadar; taraf; atau derajat (kepandaian, kecerdasan dsb ); kualitas. Selanjutnya lalu Sumayang (2003:322) menyatakan quality (mutu) adalah tingkat dimana rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan penggunaannya , disamping itu quality adalah tingkat dimana sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan spesifikasinya.
Berdasar pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu (quality) adalah sebuah filosofis dan metodologis tentang (ukuran) dan tingkat baik buruk suatu benda, yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan penggunaannya agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Dalam pandangan Zamroni ( 2007:2) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.
Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait, dalam peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut. teori Manajemen mutu terpadu Total quality Management (TQM) pertama kali dikemukakan oleh Nancy Warren, seorang behavioral scientist di United States Navy ( Walton dalam Binds, et, al, 1994), istilah ini mengandung makna; every proces, every job dan every person (Lewis & Smith,1994).Pengertian TQM dapat dibedakan menjadi dua aspek ( Goetsch & Davis, 1994), aspek pertama menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya saing melalui penyempurnaan secara utuh. Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan 10 karekteristik TQM yang terdiri atas (1) fokus pada pelanggan (internal & eksternal), (2) berorientasi pada kualitas, (3) menggunakan pendekatan ilmiah, (4) memiliki komitmen jangka panjang, (5) kerja sama tim, (6) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (7) pendidikan dan pelatihan, (8) menerapkan kebebasan yang terkendali, (9) mimiliki kesatuan tujuan, (10) melibatkan dan memberdayakan karyawan, (Ety Rochaety dkk,2005:97). Dalam pendidikan filosofi TQM berarti bahwa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan maka budaya kerja yang mantap harus terbina dan berkembang dengan baik dengan diri seluruh karyawan yang terlibat dalam pendidikan motivasi, sikap, kemauan dan dedikasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan adalah bagian terpenting dari budaya kerja itu (Permadi,1998:9).
KOnsep TQM dalam pendidikan memandang bahwa lembaga pendidikan merupakan industri jasa dan bukan sebagai proses produksi, TQM dalam hal ini tidak membicarakan permasalahan masukan (peserta didik) dan keluaran (lulusan), tetapi mengenai pelanggan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa TQM memandang produk usaha pendidikan sebagai jasa dalam bentuk pelayanan yang diberikan oleh pengelola pendidikan beserta seluruh karyawan kepada para pelanggan sesuai dengan standar mutu tertentu. Dengan demikian pendidikan yang bermutu tidak dapat hanya dilihat dari kualitas lulusannya, tetapi juga mencakup bagaimana lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan standar mutu yang berlaku, pelanggan dalam hal ini adalah pelanggan internal (tenaga kependidikan) serta pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat dan pemakai lulusan) Edward sallis (2006:73) menyatakan bahwa Total quality Management (TQM), pendidikan adalah sebuah filosofis tentang perbaikan secara terus menerus yang dapat memberikan seperangkat alat praktis hepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan para pelanggan saat ini dan untuk masa yang akan datang. Di sisi lain Zamroni memandang bahwa peningkatan mutu gengan TQM, dimana sekolah menekankan pada peran kultur sekolah dalam kerangka model The Total Quality Management (TQM), teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah mencakup tiga kemampuan: akdemik, sosial dan moral (Zamroni,2007:6).
Menurut teori ini, mutu sekolah ditentukan oleh tiga variabel, yakni; kultur sekolah merupakan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, slogan-slogan dan berbagai perilaku yang telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya baik secara sadar maupun tidak sadar. Kultur ini diyakini mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah, yaitu; guru, kepala sekolah, staf administrasi, siswa juga orang tua siswa, kultur yang kondusif bagi peningkatan mutu bisa mendorong perilaku warga sekolah ke arah peningkatan mutu sekolah, sebaliknya kultur yang tidak kondusif bisa menghambat upaya menuju peningkatan warga sekolah itu. Untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim (2007:58), yaitu dengan melibatkan 5 faktor yang dominan (1) Kepemimpinan kepala Sekolah, kepala Sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikan layanan yang optimal dan punya disiplin kerja yang kuat, (2) Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah "anak sebagai pusat" sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali, sehingga sekolah dapat menginvertarisir kekuatan yang ada pada siswa, (3) Guru; perlibatan guru secara maksimal, dengan meningkatkan kompetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya, pelatuhan, adapun hasil dari kegiatan tersebut diterapkan di sekolah, (4) Kurikulum; adanya kurikulum yang ajeg/ tetap tetapi dinamis, dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara maksimal, (5) Jaringan Kerja Sama; jaringan kerja sama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat), tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan/ instansi sehingga out put dari sekolah dapat terserap di dalam dunia kerja.
Berdasarkan pendapat di atas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan, sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu di lingkungan kerja khususnya di lingkugan kerja pendidikan, pimpinan dan karyawan harus menjadi tim yang utuh (team work) yang saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals) bisa tercipta dengan baik. Kepemimpinan Kepala Sekolah dan kreatifitas guru yang profesional, inovatif, kreatif merupakan salah satu tolok ukur dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena kedua elemen ini merupakan figur yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran, kedua elemen ini merupakan figur sentral yang dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat (orang tua siswa), kepuasan masyarakat bisa terlihat dari output dan out come yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang baik itu terwujud kepada masyarakat maka mereka secara sadar dan secara otomatis akan membantu segala kebutuhan yang diinginkan pihak sekolah, sehingga dengan demikian maka tidak sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.
Langganan:
Postingan (Atom)