Rabu, 26 Januari 2011

MENGUKUR MUTU SEKOLAH (1)

Oleh : Subagio,M.Pd *)

Depdiknas mengemukakan paradigma mutu dalam konteks pendidikan, mencakup input, proses, dan output pendidikan.(Depdiknas, 2001). Lebih jauh dijelaskan bahwa input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses, yang dimaksud sesuatu adalah berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi keberlangsungan proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya manusia (sepertI kepala sekolah, guru, peserta didik) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang bahan-bahan, dan sebagainya). Sedangkan input perangkat meliputi: struktur organisasi, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dan lain sebagainya. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input, makin tinggi kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Proses pendidikan merupakan proses berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.


Berdasarkan pendapat di atas dapat didefinisikan bahwa mutu adalah perpaduan sifat-sifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan bahkan melebihi harapan pelanggan, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Mengikuti keberhasilan TQM (Total Quality Management) di dunia bisnis, akhirnya konsep-konsepnya diterapkan pula di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di jalur sekolah, setelah melalui proses adaptasi dan modifikasi seperlunya. Sebenarnya banyak sekali aspek yang turut menentukan terhadap mutu pendidikan di sekolah. Edward Sallis mengemukakan bahwa yang menentukan terhadap mutu pendidikan mencakup aspek-aspek berikut: Well-maintained buildings, outstanding teacher, high moral values, excellent examination results, specialization, the support of parents, business and local community, plentiful resources, the application of the latest technology, strong and purposeful leadership, the care and concern for pupils and students, a well-balanced curriculum, or some combination of these factors. (Sallis, Edward, 1993)

Ukuran mutu pendidikan di sekolah mengacu pada derajat keunggulan setiap komponennya, bersifat relatif, dan selalu ada dalam perbandingan. Ukuran sekolah yang baik bukan semata-mata dilihat dari kesempurnaan komponennya dan kekuatan/kelebihan yang dimilikinya, melainkan diukur pula dari kemampuan sekolah tersebut mengantisipasi perubahan, konflik, serta kekurangan atau kelemahan yang ada dalam dirinya.

Menurut PP No. 28/1990 dan dipertegas oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa penilaian keberhasilan pendidikan di sekolah mencakup empat komponen. Komponen pertama yang diukur ialah kegiatan dan kemajuan belajar siswa. Tujuannya terutama untuk: mengetahui bagaimana proses pembelajaran berlangsung, mengetahui proses pembimbingan dan pembinaan kepada siswa, mengukur efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, serta mengukur kemajuan dan perkembangan hasil belajar siswa. Komponen kedua berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum. Tujuannya untuk mengetahui: kesesuaian kurikulum dengan dinamika tuntutan kebutuhan masyarakat, pencapaian kemampuan siswa berdasarkan standar budaya sekolah yang telah ditetapkan, ketersediaan sumber belajar yang relevan dengan tuntutan kurikulum, cakupan materi muatan lokal sesuai dengan kebutuhan daerah setempat, serta kelancaran pelaksanaan kurikulum sekolah secara keseluruhan. Komponen ketiga, guru dan tenaga kependidikan lainnya. Maksudnya untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuan dan kewenangan profesional masing-masing personil (baca: tenaga kependidikan) dapat ditampilkan dalam pekerjaan sehari-hari. Komponen keempat adalah kinerja satuan pendidikan sebagai satu keseluruhan. Penilaiannya mencakup: kelembagaan, kurikulum, siswa, guru dan non guru, sarana/prasarana, administrasi, serta keadaan umum satuan pendidikan tersebut. Penilaian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana mutu pendidikan yang bisa dicapai di sekolah itu, dan bagaimana posisinya jika dibandingkan dengan sekolah lain yang ada di sekitarnya maupun secara nasional. Jadi secara keseluruhan, penilaian pada komponen keempat ini berfungsi sebagai alat kontrol bagi perbaikan dan pengembangan mutu pendidikan selanjutnya.

Mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 053/U/2001, setiap lembaga penyelenggara pendidikan dituntut untuk senantiasa melaksanakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Hal ini dijalankan dengan tetap berorientasi pada visi, misi, dan target peningkatan mutu secara berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh para stakeholders.

Penilaian formal terhadap komponen-komponen di atas dilakukan secara berjenjang sesuai dengan batas kewenangan masing-masing penilai, seperti: guru, kepala sekolah, penilik/pengawas, dan aparat struktural maupun fungsional yang terkait.

Hasil penilaian di atas akan menentukan seberapa jauh mutu pendidikan yang bisa dicapai oleh suatu sekolah. Sehubungan dengan hal itu, apabila kita berbicara tentang manajemen mutu pendidikan, maka tidak akan terlepas dari permasalahan tentang manajemen pendidikan itu sendiri.

Manajemen mutu pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mencari perubahan fokus sekolah, dari kelayakan jangka pendek menuju ke arah perbaikan mutu jangka panjang, serta dampaknya terhadap perubahan nilai-nilai budaya sekolah. Edward Sallis berpendapat bahwa “manajemen mutu merupakan lingkaran perbaikan yang berkelanjutan dan sangat menekankan pada improvement and change”,

Selanjutnya, dalam realita yang dialami ternyata implementasi manajemen mutu pendidikan tidak selamanya berjalan mulus dan lancar, seringkali malah muncul berbagai kendala. Deming (dalam Tjutju Yuniarsih, 1997) mengelompokkan faktor penyebab kegagalan mutu pendidikan ke dalam dua kriteria, yaitu: umum dan khusus. Penyebab umum kegagalan pendidikan berkenaan dengan rendahnya desain kurikulum, gedung tidak memadai, lingkungan kerja tidak menunjang, sistem dan prosedur kerja tidak cocok, pengaturan waktu tidak mencukupi, kurangnya sumber, dan pengembangan staff tidak memadai. Sedangkan penyebab khusus kegagalan tersebut muncul karena prosedur dan peraturan tidak dipatuhi; staff tidak memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap kerja sebagaimana mestinya; kurangnya motivasi; kegagalan komunikasi; serta perlengkapan yang tidak memadai.

Untuk mengatasi kendala dalam implementasi manajemen mutu seperti diuraikan di atas, harus dilandasi oleh perubahan sikap dan cara bekerja semua personil. Pemimpin harus memotivasi stafnya agar bekerja lebih baik, misalnya dengan jalan menciptakan iklim kerja yang menyenangkan, menyediakan sarana yang memadai (baik secara kuantitas maupun kualitasnya), menetapkan sistem dan prosedur kerja yang sederhana (dalam arti tidak berbelit-belit), serta memberi penghargaan atas keberhasilan dan prestasi staff. Hal ini memang bukan pekerjaan mudah, karena menuntut kerja keras, disiplin tinggi, dan pengorbanan semua pihak, terutama dengan merubah mindset dan paradigma kerja, yang semula lebih berorientasi pada segi kuantitas dalam pelaksanaan tugas menjadi lebih berorientasi pada mutu pelaksanaan tugas. Dengan demikian kebutuhan akan kehadiran pimpinan dan staff yang profesional menjadi sedemikian penting, karena dari merekalah diharapkan tercapainya output dan outcome yang betul-betul memiliki mutu competitive.

Paling tidak ada empat kategori sekolah apabila dilihat dari mutu dan proses pendidikannya, yaitu: bad school (sekolah yang buruk) , good school, (sekolah yang baik) effective school (sekolah yang efektif) dan excellence school (sekolah unggul). Bad school adalah sekolah yang memiliki in put yang baik atau sangat baik tetapi proses pendidikannya tidak baik dan menghasilkan out put yang tidak bermutu. Good school adalah sekolah yang memiliki in put yang baik, proses baik dan hasilnya (out put-nya) baik. effective school adalah sekolah yang memiliki in put baik/kurang baik, proses pendidikannya sangat baik dan menghasilkan out put baik/sangat baik. Sedang excellence school adalah sekolah yang in put nya sangat baik, prosesnya sangan baik dan menghasilkan lulusan (out put) yang sangat baik.

Sekolah yang efektif (effective school), adalah sebuah istilah untuk menggambarkan sekolah yang ideal. Istilah ini (effective school) antara lain dikemukakan oleh Margaret Preedy dalam bukunya “Managing the Effective” (1993), Davis and Thomas dalam bukunya “Effective School and Effective Teacher“, (1989), Frymier dkk,dalam bukunya “One Hundred Good Schools, (1984) dan Townsend dalam bukunya “Effective Schooling for The Community” (1994). Istilah-istilah lain yang berarti sekolah ideal seperti: sekolah yang baik (good school atau better schools) dikemukakan oleh John T. Lowel and Kimbal Wiles, dalam “Supervision for Better Schools” ( 1983) sekolah favorit (favorite school), sekolah unggulan (excellence school), sekolah yang sukses (successful school), sekolah bermutu (quality school), sekolah percontohan, sekolah model, sekolah elite, sekolah pujaan, sekolah mahal, sekolah harapan dan lain sebagainya. Berikut ini dikemukakan pendapat para ahli tentang sekolah yang efektif.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sekolah dikatakan baik apabila memiliki delapan kriteria: (1) siswa yang masuk terseleksi dengan ketat dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prestasi akademik, psikotes dan tes fisik; (2) sarana dan prasarana pendidikan terpenuhi dan kondusif bagi proses pembelajaran, (3) iklim dan suasana mendukung untuk kegiatan belajar, (4) guru dan tenaga kependidikan memiliki profesionalisme yang tinggi dan tingkat kesejahteraan yang memadai, (5) melakukan improvisasi kurikulum sehingga memenuhi kebutuhan siswa yang pada umumnya memiliki motivasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan siswa seusianya, (6) jam belajar siswa umumnya lebih lama karena tuntutan kurikulum dan kebutuhan belajar siswa, (7) proses pembelajaran lebih berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa maupun wali siswa, dan (8) sekolah unggul bermanfaat bagi lingkungannya (Depdikbud, Pengembangan Sekolah Unggul, 1994).

Sejalan dengan kriteria Depdiknas di atas, menurut Lipsitz dalam bukunya “Successful Schools for Young Adolescent” mengemukakan, sekolah dikatakan baik apabila memiliki kriteria kebaikan (goodness) yang banyak: (1) Aspek murid; kualitas lulusan diakui institusi lain yang dengan indikasi: skor tes murid di atas rata-rata kelompok murid lain yang sejenjang; guru dan muridnya sama-sama bekerja keras untuk sukses; para murid puas dengan sekolahnya; para murid yang dirujuk untuk layanan kesehatan mental rendah bahkan dibanding dengan sekolah lain; para murid memenangkan lomba-lomba olah raga dan kegiatan ekstra lainnya; banyak murid yang menstudi bahasa asing, seni dan fisik. (2) Aspek guru: para guru merencanakan pelajaran secara memadai: anggota guru cukup memadai bagi murid; anggota guru bekerjasama, membagi ide, dan saling membantu di antara mereka; pergantian guru rendah; konflik guru rendah. (3) Aktivitas kelembagaan: sekolah mempunyai program perayaan hari besar nasional dan keagamaan; program ekstrakurikuler yang menarik bagi murid; moral lembaga tinggi. (4) Orangtua menerima hasil studi anaknya secara baik; para orangtua mempunyai pilihan untuk mengirimkan anaknya pada sekolah favorit dibanding sekolah lain (J. Lipsitz, 1983).

Fantini dalam “Regaining Excellence in Education” mengemukakan untuk menilai kualitas pendidikan, paling tidak ada empat dimensi yang harus diperhatikan: aspek individu murid, kurikulum, guru dan lulusan dari suatu proses pendidikan (M. Fantini, 1986). Sementara itu Davis dan Thomas dalam bukunya “Effective Schools and Effective Teacher” setelah mengutip pendapat para pakar dan berdasarkan hasil berbagai penelitian menyimpulkan lima karateristik sekolah yang efektif: (1) praktek pengelolaan kelas yang baik; (2) kemampuan akademik yang tinggi; (3) monitoring kemajuan siswa; (4) peningkatan kualitas pengajaran menjadi prioritas sekolah; (5) kejelasan arah dan tujuan (Gary A. Davis & Margaret A. Thomas, 1989).

Dari berbagai pendapat tersebut, penulis membedakan antara sekolah yang efektif (effective school) dan sekolah unggul. Sekolah yang efektif menggambarkan adanya keefektifan dalam proses pendidikan sehingga hasilnya maksimal. Sebagai gambaran, walaupun keadaan input siswa, guru dan fasilitas tidak nomor satu akan tetapi menghasilkan lulusan nomor satu atau hasil rata-ratanya sangat signifikan. Sementara itu yang disebut sekolah unggul adalah sekolah yang memang unggul dalam berbagai hal: siswa dan guru pilihan, bangunan fisik megah dan fasilitas lengkap, dan unggul pula dalam biaya pendidikannya. Apakah sekolah unggul ini pasti efektif ? Jawabannya belum tentu dan tidak ada jaminan. Namun demikian, dengan keunggulannya itu tentunya memiliki peluang lebih besar untuk menjadi sekolah yang efekif atau sekolah yang baik.

*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan

1 komentar: