Rabu, 15 Desember 2010

MEMBANGUN SEKOLAH YANG BERKUALITAS

Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)
Bukan semata sebuah keluhan, namun membangun sekolah yang berkualitas bukanlah pekerjaan ringan. Fenomena perwajahan pendidikan tanah air yang dihujani kritik serta protes bertubi-tubi dari tahun ke tahun menjadi petanda bahwa perjalanan untuk membangun sekolah yang berkualitas adalah sebuah perjalanan yang berat.
Semua elemen bangsa ini tentu saja menyepakati bahwa pendidikan kita memang pantas untuk ditingkatkan kualitasnya secara holistik. Gambaran kualitas secara hakekat tentu tidak hanya tercermin dari hasil Ujian Nasional (UN), jumlah siswa, infrastruktur pendidikan, sertifikasi guru, bahkan kemegahan gedung bangunan sekolah tersebut. Tetapi, kualitas lembaga pendidikan juga diukur dari bagaimana sekolah tersebut dikelola secara holistik
Dalam pengelolaan sekolah, kepala sekolah memegang peran yang dominan. Tanggung jawab yang berat ini menuntut adanya sinergitas multilini dengan jajarannya, serta dukungan komprehensif dari masyarakat, sehingga sebelum kegiatan belajar mengajar (KBM) untuk satu tahun pelajaran digelar seyogyanya perencanaan pembelajaran telah melewati perumusan yang matang, dimana dengan melibatkan tim pengembang kurikulum.
Sekarang ini, seiring dengan kemajuan dunia informasi dan teknologi masyarakat kita kian cerdas dalam menyikapi anggaran yang menjadi kebutuhan sekolah demi menciptakan sebuah pendidikan yang berkualitas untuk dinikmati putra-putrinya memang membutuhkan pengorbanan, baik moril, spiritual, maupun materiil.
Tanpa mengecilkan makna pendidikan gratis yang dihembuskan pemerintah pada tahapan inilah tujuan semua elemen bangsa ini untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas secara holistik adalah sebuah pekerjaan yang tidak ringan, serta tidak harus menjadi keluhan sebagaimana di awal tulisan ini.
Lima Kriteria Sekolah Berkualitas

Seperti telah sering kita baca dalam beberapa artikel di rubrik pendidikan terakhir, kondisi pendidikan atau situasi persekolahan saat ini mengalami banyak sekali tekanan dari berbagai pihak, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, sekolah belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi kelemahan mendasar seperti efektivitas manajemen dan relasi sekolah-masyarakat. Sedangkan secara eksternal, meskipun telah memiliki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam praktiknya masih terdapat kesalahan mendasar dalam menafsir masalah otonomi pendidikan, sistem pengujian hingga kebijakan pengembangan kurikulum yang selalu membuat pelaksana pendidikan bertambah bingung. Padahal menurut penelitian Elmore dan Fuhrman (2001), sebuah proses pendidikan akan baik dan berkualitas jika masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab internal sekolah mendapatkan prioritas terlebih dahulu untuk diselesaikan.

Belakangan ini, sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus dihadapi lembaga pendidikan, muncul sejumlah usaha untuk memperbarui konsep atau gagasan tentang apa yang disebut sebagai sekolah berkualitas. Salah satu konsep terkemuka dalam hal ini adalah lima prinsip pendidikan yang ditawarkan Peter Senge dalam The School That’s Learn (2003). Dirumuskan dalam rangka mengimbangi arus globalisasi yang meluas di bidang pendidikan, lima prinsip pendidikan ini menekankan pentingnya melihat sekolah dan atau proses pembelajaran sebagai suatu institusi pendidikan semacam perusahaan yang memerlukan kerja kelompok dan menuntut keahlian tertentu.
Secara ringkas kelima disiplin kolektif tersebut sebagai berikut. Pertama, penguasaan diri (personal mastery), merupakan praktik mengartikulasikan gambaran koheren dari pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah, hasil yang paling ingin kita dapatkan dalam hidup, di samping pengamatan nyata dari kehidupan sehari-hari. Ketika terakumulasi, ini bisa menghasilkan keinginan alami yang dapat meningkatkan kapasitas dalam membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dan menerima hasil lebih dari yang dipilih secara berkelompok. Setiap pengelola sekolah harus berlaku jujur dalam mengemukakan kelemahan dan kelebihan situasi terkini sekolahnya dan mendukung setiap aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari anak didik. Kedua, keberanian setiap pengelola sekolah untuk berbagi pandangan (shared vision), sebuah disiplin kolektif yang menekankan perhatian pada tujuan bersama. Sekelompok orang dengan tujuan yang sama dapat belajar untuk mempertahankan komitmen dalam suatu kelompok atau organisasi dengan mengembangkan pandangan yang sama tentang masa depan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip serta guiding practices yang mereka ciptakan bersama. Ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge adalah pembentukan mental (mental models), sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan dan persepsi, baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya. Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan terkini. Karena pembentukan mental dalam pendidikan sering kali tidak dapat didiskusikan, dan tersembunyi, maka kritik yang harus diperhatikan oleh sekolah yang belajar adalah bagaimana kita mampu mengembangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman. Selain itu, pengelola sekolah juga harus senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa. Keempat, bentuklah kelompok belajar (team learning), sebuah disiplin dalam interaksi kelompok. Melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion, sekelompok kecil orang dapat mentransformasikan pikiran kolektif mereka, belajar memobilisasi energi dan kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian dan kemampuan mereka lebih besar ketimbang jika bakat anggota kelompok digabungkan. Kelompok belajar dapat dikembangkan dalam kelas, antara guru dan orang tua murid, antaranggota komunitas, dan dalam kelompok utama yang mengejar perubahan sukses dalam sekolah. Kelima adalah disiplin kolektif tentang sistem berpikir (systems thinking). Dalam disiplin ini kita belajar memahami ketergantungan dan perubahan, sehingga kita dapat menghadapi dengan lebih aktif tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan dan teknik yang digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow, dan berbagai simulasi yang membantu siswa untuk memahami lebih dalam dari apa yang dipelajari.
Dengan dasar kelima disiplin kolektif di atas, setiap sekolah berkesempatan melakukan sebuah ‘uji-coba’ terapan terhadap lima prinsip dasar di atas bagi sebuah pengembangan institusi pendidikan (sekolah) yang mengutamakan pengembangan dan penjaminan mutu (quality assurance).
Enam syarat sekolah berkualitas
Pernahkan Anda membayangkan, apakah didalam benak siswa benar-benar ingin berprestasi atau sebaliknya? Apakah mereka datang ke sekolah dengan rasa senang atau sebaliknya? Tentu tidak gampang menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat. Tetapi mungkin ada cara untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat indikator-indikatornya. Kecenderungan tidak berkembangnya prestasi siswa di sekolah kita sangat penting untuk dicari penyebabnya. Apakah tidak mungkin justru sekolah yang menjadi penyebab siswa kurang berprestasi karena ‘budaya’ sekolah yang tidak kondusif?

Sekolah yang berkualitas tidak lahir dengan sendirinya. Juga tidak lahir semata-mata karena fasilitas yang lengkap. Sekolah yang berkualitas harus dibentuk dan direncanakan dengan baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Komitmen warga sekolah, stake holder, adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari terlahirnya sebuah sekolah yang berkualitas.
Glasser, dalam bukunya yang kedua, The Quality School Teacher memberi pesan kepada kita bahwa sedikitnya ada enam syarat yang harus dipenuhi sebuah sekolah agar menjadi sekolah berkualitas. Keenam syarat tersebut adalah:

1. Harus ada lingkungan kelas yang hangat dan mendukung.
Tanpa adanya jalinan yang akrab antara semua warga sekolah (guru, siswa, staf, dan karyawan lain) tidak bias dihasilkan tugas-tugas sekolah yang berkualitas, dan lebih dari semua itu harus terbangun saling percaya/kepercayaan.

2. Siswa harus selalu diminta (hanya) untuk melakukan hal-hal yang berguna.
Tidak boleh ada siswa yang diminta untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti mengingat atau menghafal (secara berlebihan). Apa pun yang mereka kerjakan, harus ada manfaatnya – secara praktis, estetis, intelektual, atau pun sosial.

3. Siswa selalu diminta untuk mengerjakannya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Ini berarti siswa harus diberi kesempatan yang memadai untuk dapat mengerjakan tugas-tugasnya agar pekerjaannya berkualitas. Mereka sebenarnya sudah biasa diberi tugas, tetapi bukan belajar, dan hampir tidak pernah berusaha melakukan pekerjaan yang berkualitas.

4. Siswa diajari dan diberi kesempatan mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri, kemudian diminta untuk meningkatkannya.
Mengevaluasi sendiri adalah hal yang paling sulit diterapkan, tetapi penting dilakukan untuk mencapai perbaikan yang konstan dalam usaha siswa menghasilkan pekerjaan berkualitas.

5. Pekerjaan yang berkualitas selalu terasa menyenangkan.
Sungguh menyedihkan melihat sangat sedikit siswa yang merasa nyaman dalam pelajaran-pelajaran mereka sekarang. Bukan hanya sisw a yang merasa senang jika mereka berhasil mengerjakan sesuatu dengan berkualitas, guru dan orangtua pun merasa senang memerhatikan prose situ.

6. Pekerjaan berkualitas tidak pernah bersifat merusak.
Tidak berkualitas namanya, jika meraih perasaan senang dengan cara memakai obat adiktif atau merugikan orang lain, makhluk hidup, benda milik orang lain, atau lingkungan.
Menjadi Kepala Sekolah Berkualitas
Banyak kepala sekolah yang hanya sekadar kepala sekolah. Namun, banyak pula kepala sekolah yang sangat bagus. Bagaimanakah ciri kepala sekolah yang sangat bagus? Ciri-ciri kepala sekolah yang memiliki kemampuan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen dengan sangat bagus sebagai berikut.

Dalam perencanaan meliputi (1) Kepala sekolah dapat menetapkan program-program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah, (3) Kepala sekolah dapat menyusun program kerja sekolah, dan (4) Kepala sekolah dapat merumuskan langkah-langkah pelaksanaan program.

Dalam pengorganisasian meliputi (1) Kepala sekolah dapat menempatkan guru sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam KBM, (2) Kepala sekolah dapat mengatur penggunaan sarana dan prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan siswa, guru dan personel lain sehingga terjalin kerjasama yang baik, (3) Kepala sekolah dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dan personel sekolah lainnya, (4) Kepala sekolah dapat mengatur kerjasama dengan pihak atau instansi lain untuk menyukseskan program-program sekolah.

Dalam penggerakan meliputi (1) Kepala sekolah dapat memotivasi guru sehingga guru merasa mampu dan yakin untuk melaksanakan program- program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat memimpin dan mengarahkan guru-guru dengan baik, (3) Kepala sekolah dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan profesionalisme sesuai dengan bidangnya, (4) Kepala sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan tujuan untuk pencapaian prestasi.

Dalam pengendalian meliputi (1)Kepala sekolah dapat mengevaluasi pelaksanaan program-program sekolah seperti yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan, (2) Kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja guru dan personel sekolah lainnya, (3) Kepala sekolah dapat memberikan penguatan terhadap keberhasilan yang telah dicapai oleh guru, (4) Kepala sekolah dapat memperbaiki kesalahan/kelemahan yang telah dibuat oleh guru dan personel lainnya.

Kepala sekolah memiliki peranan yang sangat kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan karena manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar dan proses pembelajaran.

Sekolah efektif dalam perspektif manajemen, manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Darling-Hammond, L (1992) menyatakan dimensi sekolah efektif meliputi : 1) layanan belajar bagi siswa, 2) pengelolaan dan layanan siswa, 3) sarana dan pra sarana sekolah, 4) program dan pembiayaan, 5) partisipasi masyarakat, dan 6) budaya sekolah.

Sekolah yang efektif berada dalam lapangan manajemen sekolah yang ciri/karakteristiknya menurut Edmonds (dalam Syafaruddin, 2002) meliputi (a) Kepala sekolah dan guru-guru memiliki komitmen dan perhatian yang tinggi terhadap perbaikan mutu pengajaran, (b) Guru-guru memiliki harapan yang tinggi untuk mendukung pencapaian prestasi siswa, (c) Iklim sekolah yang tidak kaku, sejuk tanpa tekanan dan kondusif dalam seluruh proses pengajaran, (d) Sekolah mempunyai pemahaman yang luas tentang fokus pengajaran dan mengusahakan keefektifan sekolah dengan mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan secara maksimal, (e) Sekolah efektif dapat menjamin kemajuan siswa yang dimonitor secara periodik.

6 komentar:

  1. pak mohon izin postingannya di link ke MTs-Tanjungsari.blogspot.com
    terima kasih atas pengertiannya.
    artikelnya bagus2

    BalasHapus
  2. Pak mohon ijin untuk upload postingan ini

    BalasHapus
  3. Artikelnya bagus. Mohon ijin share ya pak.

    BalasHapus