Selasa, 23 Maret 2010

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN

Oleh : Subagio,M,Pd.

Paradigma metodologi pembelajaran saat ini disadarai atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviorisme ke konstruktivisme yang menuntut guru di lapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah : “ Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata (Depdiknas,2003 : 11)
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak guru saat ini cenderung pada pencapaian target kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.
Selain itu pelaksanaan pembelajaran lebih cenderung disampaikan secara konvensional, pembelajaran hanya berpusat pada guru, siswa dalam kondisi ini hanya bersifat pasif dan tidak terlibat secara aktif sehingga tidak mendorong siwa dalam mengembangkan keterampilan berpikir. Menurut Syaiful Sagala (2003 : 201) pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran klasik, guru memberi ceramah (ekspository), sedangkan siswa mendengar, mencatat, setelah itu menghafal.
Dalam pembelajaran konvensional selama belajar mengajar tampak bahwa siswa kurang aktif dalam kegiatan tersebut. Siswa lebih banyak mendengarkan dan menuis apa yang diterangkan atau ditulis oleh guru di papan tulis. Berdasarkan hasil penelitian pusat kurikulum (PUSKUR), ternyata metode ceramah dengan guru menulis di papan tulis merupakan metode yang paling sering digunakan Kaswan (2004). Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993:24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah (telling method) dan kurang membantu aktivitas nurid.
Berdasarkan PP no 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pengembangan kurikulum sekolah tingkat satuan pendidikan (KTSP), Kurikulum ini sangat menuntut peserta didik mempunyai kompetensi dan keterampilan dalam berbagai bidang yang nantinya sangat berguna dalam kehidupan yang akan datang ketika mereka terjun dalam kehidupan bermasyarakat.
Penulis yakin pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan di lapangan kita masih banyak menjumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar baginya yang penting bagaimana sebuah pembelajaran dapat berlangsung baik di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Interaksi di bidang pendidikan dapat diwujudkan melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan masyarakat, guru dengan guru, guru dengan masyarakat di sekitar lingkungannya.
Proses interaksi siswa dapat dibina dan merupakan proses pembelajaran, seperti yang dikemukakan oleh Corey (1986) dalam Syaiful Sagala (2003:61) dikatakan bahwa : “pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu” Selanjutnya Syaiful Sagala menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu : “Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses berpikir, Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri” (Syaiful Sagala,2003,63).
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning).
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam teori ini, penekanan diberikan kepada siswa lebih dari pada guru. Hal ini karena siswalah yang berinteraksi dengan bahan dan peristiwa dan memperoleh kepahaman tentang bahan dan peristiwa tersebut. Mc Brien & Brandt (dalam Isjoni,2007) menyebutkan konstruktivisme adalah satu pendekatan pengajaran berdasarkan pada penyidikan tentang bagaimana manusia belajar.
Tobin dan Timmons dalam Remsey, (1996) menegaskan bahwa pembelajaran yang berlandaskan pandangan konstruktivisme harus memperhatikan empat hal yaitu (1) berkaitan dengan awal pengetahuan awal siswa (prior knowledge), (2) belajar melalui pengalaman (experiences), (3) melibatkan interaksi sosial (social interaction), (4) kepemahaman (sense making).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, Von Glasersfeld dalam sardiman,A.M. (2007 : 37) menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan yang ada, tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Kebanyakan akhli berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan dari orang lain. Teori ini berkembang dari teori Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori kognitif yang lain seperti teori Bruner, Slavin dalam Trianto,(2007).
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Jean Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif kearah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidak seimbangan (disequlibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan pengubahan secara konseptual (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007:117).
Menurut Piaget (dalam Suparno:2000), pengetahuan terbentuk berdasarkan kektifan orang itu sendiri dalam berhadapan dengan permasalahan, bahan, atau lingkungan yang baru. Hal ini berarti dalam membentuk pengetahuannya, orang itu sendiri yang membentuknya, sedangkan proses terbentuknya pengetahuan baru menurut Piaget adalah melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan terbentuknya struktur pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, sedangkan akomodasi adalah proses menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan lama sehingga terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Untuk mencapai keseimbangan, struktur pengetahuan lama dimodifikasi untuk menampung serta menyesuaikan dengan pengalaman yang baru muncul tersebut. Terjadinya keseimbangan ini menunjukkan adanya terjadi peningkatan intelektualnya.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Strategi pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) merupakan strategi pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para akhli pendidikan untuk digunakan Slavin dalam Wina Sanjaya, (2008:242) mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan.***

1 komentar:

  1. Dear Mr.Subagio...

    saya ucapkan terima kasih atas makalah yang sangat menarik ini... dan saya sangat sependpat dengan bapak.
    tetapi saya justru heran ketika seorang guru besar berkomentar bahwa "konstruktivisme pada kooperatif, CTL, PBM, dll....itu memang ada".

    saya heran... karena yang kita ketahui bahwa konstruktivisme merupakan sebuah filosopi bukan strategi...

    benar kan pak ???

    BalasHapus